Sepasang tangan merengkuhku dalam pelukannya.
"Sst ... Honey, let's us pray for Dani. Mereka menunggu di meja makan. Jangan membuat Mereka menunggu terlalu lama," bisik Steve.
Aku menurut, susah payah menghentikan tangis, membasuh muka lalu kembali ke meja makan. Ikut berdoa bersama untuk kelancaran operasi Dani besok.
'Semua akan baik-baik saja, Dani. Kamu harus pulang, Love, untukku, untuk semua di sini,' kataku dalam hati.
***
Dani masih sempat mengirim foto, video, dan pesan beberapa menit sebelum memasuki ruang operasi.
[Kania Schatz, Love, apa pun yang terjadi setelah aku keluar dari ruang operasi tidak akan mengubah rasa cintaku. Ingatlah, aku selalu mencintaimu dan akan tetap begitu hingga ku menutup mata.]
Ketika ku telepon Dani, gawai sudah berada di tangan Ibu. Dani sedang menjalani persiapan operasi. Bahkan untuk memberi semangat pada Dani pun, aku terlambat.
Berkali-kali ku putar video dari Dani. Ia tersenyum didampingi para perawat. Mengirimkan ciuman untukku, tangan kanannya memegang kertas seukuran folio bertuliskan ich liebe dich, Kania.
Bukan hanya aku, Steve juga menangis melihat video yang dikirim Dani pagi itu. Dengan bibir bergetar Steve berkata, "Ist es falsch dich zu lieben? Warum fühle ich mich schlecht mit Dani?"
"Fühle mich nicht so, salahkan saja aku, pembuat kekacauan dari semua ini," jawabku.
***
Pukul dua siang waktu Tokyo, Dani keluar dari kamar operasi. Sebuah foto yang dikirimkan Ibu membuatku merasa tak ingin memercayai bahwa Dani sedang terbaring di sana. Kabel, selang, dan peralatan medis terpasang di tubuhnya. Sementara matanya masih terpejam.
Tiga jam kemudian, kondisi Dani menurun. Jantungnya sempat berhenti berdetak. Seandainya Tokyo itu dekat, sudah pasti aku akan kesana, mendampingi Dani dalam tiap proses apa pun yang terjadi.
Aku hanya dapat melihat Dani melalui video yang dikirimkan Ibu. Tanpa bisa menyentuh, membelai, atau berbisik di telinganya. Teringat masa-masa di Dortmund, Dani suka tidur-tiduran, meletakkan kepala di atas pangkuanku dan Kita bercerita tentang sibuknya hari.
'Kamu pasti bisa melalui masa sulit ini Dani. Aku tahu, Kamu pasti bisa,' kataku dalam hati.
***
Ini adalah hari ke-6 dan Dani masih belum sadar. Detik, menit, jam yang kulewati terasa lebih berat. Kondisi Dani yang masih naik turun seperti meruntuhkan pertahanan. Apalagi ketika dokter berkata keluarga harus siap untuk kemungkinan terburuk akibat jantung Dani dua kali berhenti berdetak.
Video yang dikirimkan Ibu menampilkan wajah tampan Dani yang pucat. Bukan hanya aku dan Steve tapi Dion, Beck, dan Maya juga tak dapat menahan air mata.
Maya menyerahkan berkas yang harus ditandatangani. Pelimpahan wewenang. Perasaanku bercampur aduk ketika harus menandatanganinya.
'Pulanglah Dani, temani aku di sini. Tanggung jawab perusahaan ini terlalu besar. Jangan pergi terlalu lama, aku repot, enggak sanggup tanpa kamu, Love. Aku butuh kamu, Dani,' kataku dalam hati.
Kupandangi foto Dani sebelum mulai meeting.
***
Beberapa hari setelah mentalku diuji oleh keadaan Dani, hari ke-8 datanglah kabar baik, Ia membuka matanya. Seperti keajaiban, begitu para tim dokter berkata. Ya, Daniku kembali walau kehilangan memori yang bersifat sementara.
Berkali-kali aku tersenyum melihat video yang dikirimkan Ibu. Melihat mata indahnya kembali terbuka. Kabar terbaik yang kuterima sebelum memulai pekerjaan di kantor.
'Kamu harus pulang Dani. Harus,' kataku dalam hati.
***
Hari yang kutunggu, Dani dan Ibu pulang ke rumah. Kata pertama yang terucap dari Dani ketika melihatku dan Steve, "Bu, siapa mereka?"
"Kania dan calon suaminya," jawab Ibu lembut.
Hal yang sama terjadi saat teman kantor datang menjenguk. Dari atas kursi roda, Dani memandangi teman-teman kantor satu-persatu seolah sedang berhadapan dengan makhluk asing.
Dani tidak mungkin bekerja dengan kondisi seperti ini. Ingatannya masih belum memungkinkan untuk bekerja. Kantor memberi waktu enam bulan untuk pemulihan. Jika dalam waktu enam bulan, ingatan Dani belum kembali, Ia akan diberhentikan.
Satu minggu setelah Dani pulang, Ia kuajak mengunjungi kantor. Reaksinya sama, merasa asing.
"Kenapa Kamu ada di sini, Kania? Kenapa Kamu ada di mana-mana? Bahkan sedang tidur sekalipun, aku melihatmu dalam mimpi," kata Dani ketika melihat frame foto di atas meja kerjanya.
Aku tersenyum mendengar ucapan Dani. Saat ini Dani hanya mengenaliku sebagai adik yang hidup dalam satu rumah. Kubuka laptop lalu menunjukkan beberapa foto yang tersimpan di sana. Reaksi Dani masih tetap diam, seperti orang yang tidak tertarik.
Jari tangannya membuka buku di atas meja.
"Kania, boleh aku numpang baca di sini?" Dani bertanya padaku.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
Mungkin Dani kehilangan memorinya tapi tidak kehilangan dirinya. Dani itu hobi membaca. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam jika sudah berhadapan dengan buku.
Sudah hampir jam makan siang. Dani masih asyik dengan buku yang dipegangnya. Kudekati lalu kusentuh pundaknya perlahan.
"Dani mau makan siang di mana?" tanyaku lembut.
Dani menoleh, "Terserah. Makan siangnya bareng sama Love?"
Aku terkejut, tak percaya dengan apa yang baru saja Dani ucapkan.
"Barusan Dani panggil aku apa?" tanyaku sambil tersenyum.
"Love. Enggak tahu kenapa aku suka pakai kata itu. Cocok untuk kamu yang cantik, adikku sayang," jawab Dani.
***
Aku, Dani, dan teman-teman makan siang di kantin. Seperti biasa Kami ngobrol, bercanda, tertawa. Dani sudah bisa tertawa.
"Eh Ion, persiapan nikah sudah beres kan?" tanya Beck.
"Bereslah. Nikah tinggal dua hari lagi masak enggak beres sih. Kalian dateng ya, awas aja kalau ada yang absen," jawab Dion.
"Siap," aku dan Dani kompak menjawab yang menyebabkan mata Beck, Dion, dan Maya memandangi kami berdua.
"Eh Guys, nanya dong tapi Kalian harus jawab yang bener ya, jangan ngerjain. Aku beneran lupa soalnya," tanya Dani tiba-tiba.
"Apa?" tanya Beck sambil nyengir.
"Aku itu sebenernya punya pacar enggak sih? Kalian ngerti enggak? Aku lagi sakit kok enggak ditengokin. Ya minimal setor muka kek," kata Dani.
Krik .., krik .., suasana mendadak hening. Beck, Dion, Maya, dan aku saling berpandangan.
"Punya sih tapi sudah putus sebelum berangkat ke Jepang. Namanya Sylvia," jawab Beck.
Aku menarik napas lega, aman ... aman sudah diselamatkan Beck. Namun, ternyata pertanyaan Dani tak berhenti sampai di situ. Masih ada kelanjutannya.
"Oh sudah putus? Cantikan mana sama adikku ini?" tanya Dani sambil menunjuk diriku.
Uhuk!
Diriku sukses tersedak. Makanan berhamburan keluar dari mulutku. Refleks Dani mengambil tisu dan membersihkan kotoran di meja dan pakaianku. Tanpa ku dengar omelan, teriakan. Hanya tangan Dani yang bekerja. Sontak semua mata langsung tertuju ke arahku dan Dani.
"Cantikan adikmu yang tercinta," kata Dion lalu tertawa. Sementara Beck dan Maya mengacungkan dua ibu jari.
"Guys, ngerti enggak waktu aku koma di Jepang, aku mimpi lagi berenang di laut. Aku kembali ke daratan ya gara-gara dipanggil sama Kania. Ah kalau tahu Dia adikku, lebih baik aku nyelam sekalian, siapa tahu ketemu putri duyung yang mau aku pacarin. Aku tuh belum rela kalau Kania jadi adikku. Cantiknya kebangetan," kata Dani sambil tertawa.
Beck, Dion, Maya, dan aku saling berpandangan. Aku ikut tertawa, agar Dani enggak ketawa sendirian. Akhirnya yang lain ikut tertawa.
"Bubar yuk, jam istirahat mau habis nih," kata Beck.
***
Kerjaan hari ini lumayan sibuk. Rupanya Dani memerhatikanku. Ia mendekat dan berkata, "Aku bisa bantu apa nih? Kasihan lihat Kania sibuk sendiri."
"Nih, pelajari ini. Satu jam lagi tolong ceritain ke aku apa isinya," kataku sambil tersenyum. Di tanganku ada sebuah dokumen yang biasanya dipelajari para pemula di kantor.
Ting!
Pesan cepat dari Om bule masuk.
[Kania, have you had your lunch? How about Dani?]
Ah Steve, di sela-sela kerjaan masih menyempatkan kirim pesan cepat. Love you full pokoknya.
[Udah kenyang dong ya. Dani juga sudah makan. Sekarang lagi belajar dokumen. Siapa tahu ingatannya balik. By the way, kapan pulang ke Jakarta?]
[Sunday.]
Ih sebel, berarti nanti aku ke nikahan Dion sama Maya tanpa gandengan.
[Lah, aku sendirian dong datang ke nikahan Dion dan Maya. Sebel deh enggak ada Honey.]
[I will be there but maybe late. Love you, Honey.]
"Kirim pesan sama siapa?" tanya Dani mengagetkanku.
"Steve. Kenapa? Mau kirim salam?" tanyaku.
Dani menggeleng. Ia berdiri dari kursi menghampiri segelas air untuk mendorong obat yang baru saja masuk ke mulutnya.
Dani menghempas napas kasar. Kembali duduk di sofabed. Lalu menyingkirkan dokumen di hadapannya.
Mataku kembali menatap layar monitor. Tenggelam dalam pekerjaan. Tanpa sadar Dani sudah ada di sampingku.
"Mau tahu kalau ingatanku kembali, aku bakal minta apa?" tanya Dani. Dicondongkan wajahnya yang tampan ke arahku.
Deg! Hatiku berdesir. Wajahnya dekat sekali. Hangat napasnya terasa di kulit wajahku.
"M-mau minta a-apa?" tanyaku gugup.
"Kamu bukan adikku. Aku belum bisa terima kenyataan. Why Kania ... why harus kamu yang jadi adikku?" tanya Dani dengan gaya kocak. Kita berdua tergelak.
Dion masuk menyerahkan berkas tapi mulutnya berkata, "Duh papa Dani dan mama Kania lagi sibuk apa?"
Aduh! Kenapa juga Dion pakai sebut papa Dani dan mama Kania bisa panjang urusannya ini. Parah ... parah ... parah.
***
*)Ist es falsch dich zu lieben? Warum fühle Ich mich schlecht mit Dani?
Apakah salah mencintaimu? Mengapa saya merasa tidak enak dengan Dani?
*)Fühle mich nicht so.
Jangan merasa seperti itu.