Haruskah aku mengekor mobil Steve? Ah percuma, kaca mobil Steve terlalu gelap, tak bisa melihat gesture Mereka berdua. Sudahlah, biar saja Mereka berdua bicara. Steve memang suka berteriak tapi Dia bukan jenis orang yang jahat. Dani pasti baik-baik saja.
Lebih baik aku duluan deh, tancap gas! Kebetulan mobil milik Dani super duper enak diajak lari. Sambil menekan tuter dua kali kudahului mobil Om bule. Wuzz .., bye-bye pria-pria terkasih!
Ting!
Sebuah pesan cepat masuk ke gawai. Aku baru sempat baca saat mampir ke apotek. Pesan dari Om bule.
[Awas jangan ngebut. Mobil Dani bisa kena masalah.]
Kujawab dengan emotikon nyengir karena pikiranku masih melayang pada Steve dan Dani.
Kenapa aku jadi kepo begini ya? Berbagai macam kemungkinan lalu lalang di kepalaku. Akankah Steve mundur teratur lalu menyerah pada Dani? Kayaknya enggak mungkin deh. Sepenting apa sih masalahnya? Kenapa Steve dan Dani sampai butuh bicara berdua saja.
Eh, tapi memang hari ini Steve kelihatan agak berbeda. Biasanya suka teriak kalau aku dekat dengan Dani. Lah tadi dansa, tangan Dani ada di pinggangku, sama sekali tak ada teriakan. Jangan-jangan perasaan Om bule berubah. Siapa tahu sepulang dari Singapura rasa cintanya terbang entah ke mana. Ih, amit-amit .., jangan dong! Aku sudah merasa klik sama Om bule.
Senja menjelang malam, Dani dan Steve belum juga pulang. Jariku sudah gatal mengirim pesan untuk Steve atau Dani. Punya rasa ingin tahu yang berlebihan kadang menyiksa.
'Duh, harus cari pengalih perhatian nih,' kataku dalam hati. Kuraih remote, memilih saluran dengan jari, menonton film hingga terlelap.
"Love," suara itu membuatku membuka mata. Jemari Dani mengelus pipiku.
"Ah, sudah pulang?" tanyaku sambil mengerjapkan mata. Pria tampan di hadapanku mengangguk.
Aku mematung beberapa saat, mengumpulkan kesadaran. Kulirik jam di dinding, jarum pendek berada di angka sepuluh. Aih lama sekali perginya.
"Love, tadi bicara apa sama Steve? Kenapa lama sekali?" tanyaku.
Dani tersenyum, jemarinya kembali menyentuh lembut wajahku. Sepertinya Dani tak ingin menjawab pertanyaanku.
"Tidurlah, Kania. Aku akan menunggu di sini hingga matamu terpejam," kata Dani.
Ia duduk di samping tempat tidur, memijat kaki dan tanganku. Aku yang masih setengah sadar, begitu mudah terbujuk oleh pijatan tangan Dani. Tak lama kemudian, aku kembali bermimpi.
***
Hari masih gelap saat aku terbangun. Duduk sebentar di atas kasur sambil mencari sesuatu di dalam tas. Eh, di mana ya? Sepertinya kemarin sudah masuk ke dalam tas.
Nihil, aku tidak menemukan apa pun di dalam tas. Duh, aku letakkan di mana ya? Aku sudah enggak tahan lagi ini. Ah, masa bodohlah! Terserah! Aku segera melesat ke kamar mandi.
Mataku menangkap sesuatu yang kucari-cari. Ternyata sudah ada di meja wastafel kamar mandi. Mungkin aku lupa. Wait ... wait, benarkah aku lupa? Lalu dari mana asal gelas kecil ini? Kenapa ada gelas kecil di sini, siapa yang meletakkannya?
Sambil menunggu reaksi tes, otakku terus mencari jawaban. Perbuatan siapa ini. Mungkinkah Dani? Bukankah semalam Ia naik ke kamarku? Oh astaga, itu artinya Dani tahu.
Deg!
Mataku membeliak melihat hasil reaksi tes. Seketika tanganku menyambar gawai, menekan tombol kamera lalu mengirim hasilnya pada Steve. Setelah itu, semua alat tes berakhir dalam sebuah plastik hitam yang sengaja kupersiapkan. Aku harus membuangnya di tempat lain.
***
Jarum jam masih menunjukkan pukul sepuluh tapi perutku sudah sangat lapar. Ingin semangkuk bubur ayam yang hangat. Lengkap dengan kerupuk, sambal, siraman kecap hingga kuahnya berwarna cokelat dan manis.
Sayangnya pekerjaanku masih banyak. Belum lagi ditambah pekerjaan Dion dan Maya yang ku bagi bersama tim. Terpaksa ku panggil OB kantor, minta tolong dibelikan.
Tak butuh waktu lama, bubur ayam yang kunantikan sudah datang dan terhidang di mangkuk. Sambil menatap monitor, mulutku sibuk menikmati kelezatannya.
***
Haruskah aku bersabar pada Steve? Tak bolehkah aku merasa kesal? Halo ...! Siapa yang tak kesal jika tanggapan dari seseorang yang dianggap penting hanya berupa emotikon? Ya, hasil tes tadi pagi ditanggapi Om bule dengan satu emotikon berbentuk hati.
Sampai sore ini, belum ku terima pesan cepat atau telepon dari Om bule. Ini sudah jam pulang kantor, bukankah tak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Jogja? Kenapa aku merasa Steve sengaja menjauh? Tak bisakah menyisihkan waktu lima menit saja untuk meneleponku?
"Dani, apa Steve akan meninggalkanku?" tanyaku, memecah keheningan di mobil.
Dani yang sedang menyetir, tak menoleh sedikit pun. Matanya terus melihat jalanan yang ramai.
"Apa yang Kalian bicarakan kemarin? Kalau Steve sudah bosan, harusnya bilang secara langsung dong. Enggak menjauh seperti ini," omelku pada Dani.
Krik ... krik .., sepi sunyi tak ada respon dari Dani. Wah, aku semakin yakin Dani dan Steve menyembunyikan sesuatu.
"Oke, fine! Kalian berdua mulai main rahasia-rahasiaan. Tolong dong mobilnya minggir," kataku.
"Kania, please," kata Dani.
"Kiri!" teriakku, mirip orang naik angkot yang minta berhenti pada sang sopir.
Mobil Dani menepi, aku segera turun dan membanting pintu mobil dengan kesal. Jariku sibuk memesan taksi online. Sambil menunggu, kulirik Dani yang tak kunjung pergi meninggalkanku.
[Tunggu apalagi?! Sana pergi!]
Kukirim pesan cepat untuk mengusir Dani.
Tak ada balasan. Dani belum juga pergi. Hih, apa sih maunya pria-pria ini?! Steve dan Dani sama-sama membuatku pusing.
Taksi online membawaku ke sebuah mall. Mungkin dengan berbelanja, suasana hatiku jadi lebih enak. Mobil Dani mengekor di belakang taksi online.
***
Bukan Dani namanya kalau enggak bucin. Segalak apa pun aku, Dani tetap mengikutiku putar-putar di mall. Bahkan ketika aku memilih pakaian dalam, Dani setia berdiri di belakangku bak bodyguard.
Saat hendak pulang, aku melewati sebuah toko yang menjual perlengkapan bayi. Bibirku tersenyum saat melihat sepatu mungil berwarna krem. Terbayang kaki bayi yang gemuk dan menggemaskan, mengenakan sepatu itu.
"Itu bagus, Love," kata Dani.
Dengan cekatan ku ambil sepatu itu. Senyumku semakin lebar tatkala Dani ikut membelikan beberapa baju mungil, boneka satwa, dan beberapa pernik lainnya.
Di dalam mobil, aku membuka boneka satwa yang dibeli Dani. Pikiranku berkelana, membayangkan saat menjelang tidur, aku, Steve, Amanda, dan si Kecil berkumpul mendengarkan dongeng dari Steve. Aku tersenyum membayangkannya.
"Anak kita pasti suka, Love," kata Dani sambil menyetir.
Hah?! Anak kita? Dari Hongkong?! Lah bibitnya saja beda kok, bisa bilang anak kita.
"Undangannya tertulis Kania dan Steve. Bukan Kania dan Dani," kataku.
"I know, kan aku cinta kedua. Kalau Steve lagi enggak ada biar aku yang jaga Kania dan anak-anak," kata Dani sambil tersenyum.
Deg!
Aneh! Apa maksud ucapan Dani barusan?
"Emh .., meskipun Mereka bukan anak kandungmu. Kamu rela? Yakin mau?" tanyaku setengah memancing.
Dani tersenyum, mengangguk.
"Kalau gitu nanti anak-anakku manggil Love dengan sebutan apa?" tanyaku, masih dalam rangka memancing isi kepala Dani.
"Ayah Dani. Aku ingin dipanggil seperti itu," jawab Dani.
Aku tersenyum semanis mungkin di depan Dani agar Ia tak curiga kalau aku sedang mencari informasi perubahan sikap Steve.
'Aih, kenapa aku enggak berpura-pura tidur saja ya?' kataku dalam hati.
Mataku terpejam. Setelah beberapa saat, kurasakan tangan Dani membelai rambutku.
"Aku akan menikahimu dengan sepenuh hati, Kania. Walau saat itu, mungkin Kau sedang berduka," kata Dani.
Astaga, apa maksudnya ini? Apakah Steve tidak akan menikahiku? Berduka? Berduka untuk apa, apa seorang Steve Bergmann akan mati dengan cara yang bodoh? No way! Steve bukan orang seperti itu.
Beberapa meter kemudian, Dani bicara lagi.
"Ada kekuatan besar yang memaksa Steve melakukan semua ini. He loves you, Kania. Trust me, he loves you. Steve pria yang hebat, Ia tak mau menyeretmu dan anak-anak ke dalam bahaya. Jika aku berada di posisi Steve, aku akan melakukan hal yang sama," kata Dani.
Apa yang sebenarnya sedang dihadapi Steve? Siapa kekuatan besar itu, oh ya ampun, siapa Mereka?
"Maafkan Steve, Kania. Ia hanya ingin Kau dan anak-anak memiliki hidup yang normal," kata Dani.
Jadi itu sebabnya perlahan-lahan Steve menjauhiku dan memilih memikul semua beban sendirian.
Tak lama kemudian, mesin mobil mati. Tangan Dani mulai mengguncang lembut tubuhku. Aktingku harus meyakinkan kalau aku baru saja bangun tidur. Sambil mengucek mata, aku berjalan gontai memasuki rumah. Pura-pura tersandung anak tangga.
Blam!
Pintu kamar tertutup. Mataku kembali melebar, memikirkan kata-kata Dani hingga aku lelah dan tertidur.
****