Apa yang sedang dihadapi Steve? Kenapa tak membaginya denganku? Bukankah tidak ada lagi rahasia antara aku dan Steve? Pikiranku terlalu sibuk bermain, hingga tak memerhatikan lajur yang diambil Dani.
"Aduh!" teriak Dani.
"Enggak apa-apa, nanti putar balik saja," jawabku tenang.
"Maaf, salah ambil lajur," kata Dani.
"Santai saja, Love," jawabku sambil berusaha tersenyum menutupi kegundahan hati.
"Love, ingat Steve ya?" tanya Dani.
Aku tersenyum. Bukan hanya ingat, rasa kangen di hati sudah menjerit-jerit. Beberapa hari di Singapura, lalu dua hari di Jogja. Bertemu Steve hanya dalam hitungan menit. Siapa yang enggak kangen? Sejujurnya, aku tersiksa. Kangen dibelai Om bule dan tentu saja aku kangen meringkuk di dekat tubuhnya. Mendengar tarikan napas yang teratur, aroma tubuhnya, bahkan kangen mendengar Om bule berteriak memanggil namaku.
Aku harus mendapatkan penjelasan atas semua ini. Steve tak boleh menanggung beban ini sendirian. Ada aku. Jika memang harus menderita, kenapa enggak dibagi berdua?! Alasan apa itu, tidak ingin menempatkan diriku dalam bahaya, lalu Om bule bisa menjauh dan menghilang seenaknya. Aku tak bisa menerima.
Tangan Dani membelai kepala dan rambutku.
"Aku tahu, tak akan pernah bisa mengganti posisi Steve. Kalau Love butuh pelukan dan tempat menangis, aku bisa sediakan. Dada dan bahuku cukup kuat untuk tempat bersandar, tempat menangis," kata Dani.
Kualihkan pandangan ke jendela. Gila! Semakin Dani bucin, semakin aku merasa bersalah. Air mataku turun, kangen Om bule. Enggak berani menghadap ke arah Dani. Takut semakin dalam menyakiti Dani. Namun, apa yang terjadi .., tangan Dani mengulurkan sekotak tisu. Adegan di mobil pagi itu, Dani sibuk menyetir, aku sibuk menangisi tunanganku.
Mobil sudah berada di basement, terparkir dengan sempurna. Dani tak segera turun, Ia memelukku.
"Menangislah sepuasmu, Love. Aku di sini. Setidaknya kedua tanganku masih sanggup menghapus air matamu walau aku enggak akan pernah bisa berubah jadi Steve, tunanganmu itu," kata Dani lembut.
"Hua ...!" jerit tangisku menggema dalam mobil. Air mataku membasahi kemeja mahal milik Dani. Rasanya kacau lama enggak lihat Om bule.
Ya ampun, adilkah aku? Giliran susah, nangis, mewek, eh sama Dani. Giliran pacaran sama Om bule, Dani ditinggal. Ya memang aku enggak bisa adil sih. Lagi pula aku juga enggak pernah punya niat mendua. Semua ini terjadi begitu saja. Siapa sangka Dani menyusulku, membuktikan ucapannya sebagai pria dewasa yang memiliki cinta sejati. Sayangnya, aku sudah klik sama Om bule. Dani terlambat.
Akhirnya, tangisku reda. Kulirik kemeja Dani.
"Dani, kemeja Kamu jadi basah dan kotor. Maaf, Dani. Nanti aku belikan baru deh di toko sebelah. Em .., tapi enggak bisa semahal punya kamu," kataku merasa tak enak pada Dani.
"Aku bawa kemeja ganti kok, Love," kata Dani tersenyum.
Dani keluar dari mobil, membuka bagasi, lalu melepas kemeja kotornya. Aku mendekati Dani karena kupikir Ia pasti membutuhkanku untuk mengikat dasi, seperti kebiasaan saat di Dortmund.
"Love, tolong bantu dong," pinta Dani.
Aku tersenyum sambil membuat simpul dasi di leher Dani.
"Ehm .., pacaran teros! Hajar saja, selama Bergmann enggak ada. Aman!" teriak Dion lalu tertawa renyah bak kacang.
Aku dan Dani menoleh.
"Kok sudah masuk, Kamu kan harusnya masih cuti," kata Dani.
"Ah, libur kelamaan enggak enak. Toh Kalian pada repot kan gara-gara aku enggak masuk," kata Dion.
"Enggak mau bulan madu dulu gitu?" tanyaku.
"Telat! Sudah nabung juga pakai tanya bulan madu. Aku masuk duluan ya, biar enggak ganggu Mama Papa," kata Dion sambil nyengir.
Asli jahil tuh si Dion. Eh, tapi Dion itu setia kawan. Paling pengertian kalau ada teman susah. Ya biarpun mulutnya itu tukang gosip sejati.
"Selesai," kataku sambil tersenyum.
"Thank's, Love," kata Dani. Tangannya menutup pintu bagasi.
"Dani, nanti sore kayaknya aku pulang sendiri deh. Mau mampir ke dokter," kataku.
Dani kembali mendekat. Tangannya menjulur ke kening, memeriksa suhu tubuhku.
"Dokter kandungan, Dani," kataku lirih sambil menunduk.
"Aku ikut. Anggap saja ini tebusan yang dulu. Saat Love mengandung Jojo dan aku enggak bisa jadi suami yang baik," kata Dani.
Aku menghela napas, ada rasa lega dan hangat menjalari hati. Dani, pria tampan berhati lembut, sikapnya yang dewasa bak pelindung di saat aku sedang susah.
"Kenapa Love masih baik sama aku? Padahal kondisiku seperti ini. Aku hamil dan ini bukan darah dagingmu," kataku lirih.
"Simpel, Love. Aku mencintaimu, apa pun kondisimu. Untuk perempuan yang sudah rela hidup sengsara bersamaku," jawab Dani.
"Love bisa cari perempuan lain yang lebih pantas. Jangan kasihani aku," kataku, tanpa berani mengangkat kepala dan memandang Dani.
"Ya, bisa kalau hanya sekadar mencari. Sayangnya aku jatuh cinta pada seorang Kania. Asal bisa bersama, asal bisa di sampingnya, aku cukup senang. Tak peduli sebagai apa. Itu sudah enggak penting, Love. Aku sudah memutuskan untuk ada di sampingmu, apa pun yang terjadi."
Jlebh!
Saat itu seperti ada tusukan di dadaku. Nyeri sih tapi enggak berdarah. Refleks aku memeluk pria tampan yang ada di hadapanku. Sumpah demi apa pun, aku belum pernah melihat pria setulus Dani.
"Maafkan aku, Love," bisikku lirih.
"Jalani saja, Love. Memang ini yang harus Kita lewati," balas Dani di telingaku.
Momen romantis ini rusak ketika tukang komen kantor lewat, siapa lagi kalau bukan Beck yang bawel.
"Bos, kira-kira dong kalau mau pacaran. Ah elah, masih pagi ini. Main hajar saja," kata Beck dengan tawa berderai.
"Iri bilang, Bos," balas Dani tergelak.
***
Tanpa banyak bicara, sikap Dani membuatku mabuk. Ia mengambil tanggung jawab layaknya seorang suami. Bahkan ketika sedang berkonsultasi dengan dokter kandungan sekalipun, justru Dani yang aktif bertanya ini dan itu seputar kehamilan.
Aku dan Dani saling berpandangan, lalu akhirnya sama-sama tersenyum ketika dokter kandungan berkata, "Aduh Ibu beruntung sekali suaminya tampan dan perhatian. Saya jadi baper loh."
Aih, dokter yang baru beberapa menit ketemu bisa jadi baper. Berarti bukan salah aku dong kalau klepek-klepek mabuk menerima perhatian Dani selama ini.
***
Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua pagi. Kuturuni tangga lalu menuju ke pantry, membuka pintu kulkas. Aku lapar sekali. Ingin makan sesuatu yang pedas, berkuah hingga berkeringat. Sepertinya itu asyik.
Dari semua bahan yang kutemukan di kulkas, sepertinya cocok untuk membuat bakso kuah. Apalagi di luar sedang hujan lebat. Kuambil ponsel lalu jariku berselancar, mencari resep bakso kuah.
Setengah jam aku berkutat di dapur. Ternyata memasak membutuhkan kesabaran ekstra. Tanpa sengaja tutup panci terjatuh. Bunyinya yang bising membuat Ibu keluar kamar dan melihat ke arahku, lalu kembali masuk ke dalam kamar setelah tahu putri tunggalnya kelaparan dan ingin makan bakso kuah.
Dani terbangun, membantuku memasak. Tidak .., lebih tepatnya mengambil alih apa yang sedang kukerjakan. Dalam sekejap, bakso kuah yang nikmat buatan Dani terhidang. Kami makan semangkuk berdua.
"Boleh aku mencium anak kita, Kania?" tanya Dani, berbisik tepat di depanku.
Aku terperangah. Kenapa Dani menyebutnya anak kita? Bukan masalah tak boleh mencium tapi yang sedang meringkuk di rahimku ini anak Steve, sahabat baiknya. Kenapa Dani jadi halu begini? Ah sudahlah biarkan saja, mungkin Dani ingat sama Jojo. Kasihan sekali si Dani. Akhirnya aku mengangguk.
Dani mencium perutku sambil berkata, "Sehat-sehat ya jagoan kecil, Ayah."
"Kan belum tentu laki-laki. Kalau perempuan gimana?" tanyaku.
"Semoga laki-laki, biar bisa bantu aku jaga ibunya yang cantik dan Amanda, kakaknya," kata Dani.
Wait a minute! Tadi Dani bilang apa? Darimana Dani tahu setelah aku dan Steve menikah, Amanda akan tinggal di Jakarta, bersamaku dan Steve. Aku jadi semakin yakin Steve dan Dani sudah membicarakan banyak hal. Akankah Dani menggantikan posisi Steve sebagai pengantin laki-laki? Kenapa Steve tak memberitahuku tentang hal ini?
Steve dan Dani mungkin Mereka sudah punya rencana ke depan. Bukankah ada aku? Mereka enggak bisa hanya bermain berdua. Harusnya Mereka melibatkan aku dalam permainan ini.
Ting!
Gawaiku bergetar, sebuah pesan cepat masuk.
[Please open your door, Kania.]
Uwow, jam setengah empat pagi Steve bertamu ke rumah sambil membawa tas koper besar.
"We have to talk, Honey," kata Om bule sambil memeluk dan mencium kepalaku.
"Yes, We have to," balasku. Ini saatnya kuungkap semua pertanyaan yang lalu lalang di kepalaku.
"Aku ada di kamar jika Kalian membutuhkan bantuanku jangan sungkan mengetuk," kata Dani dengan nada sopan.
Dani sudah menghilang di balik tembok kamar. Hanya ada aku dan Steve.
"Honey ...," kataku sambil mengusap perut.
"I am gonna be a dad," kata Steve.
Om bule tersenyum, menciumi perutku, butiran bening merangkak menuruni kulit wajahnya yang pucat.
"Perkiraan dokter dua minggu," kataku.
"Hello Jordan Bergmann. What are you doing there?" tanya Steve di depan perutku. Tangan pucat Om bule masih mengusap perutku.
"Are you sure Jordan? What about Sarah Bergmann?" tanyaku menggoda.
"No problem at all, Sarah or Jordan," jawab Om bule.
"Honey .., talk to me. Please. No secret between Us," kataku, mengingatkan. Mata ini menatap Steve dengan lembut.
Mengalirlah cerita dari bibir tipis Steve. Sebuah jalan yang menempatkan Steve pada pilihan yang sulit. Sebenarnya, mudah saja bagi Steve untuk menarik diri dan tidak meneruskan semuanya. Namun, bukan Steve namanya, jika Ia tak keras membela prinsipnya sekalipun itu mengundang bahaya.
Aku jadi pendengar yang baik, berusaha memahami bahwa jalur yang dipilih Steve dan Dani aman untukku dan anak-anak kelak walau harus ku bayar dengan mahal, perasaanku dan Steve.
Bukan saat yang tepat untuk memikirkan perasaanku. Tanggung jawab yang akan ku pikul lebih besar dari sekadar memperjuangkan perasaan. Risiko yang akan ku hadapai ketika menyandang status Nyonya Bergmann.
Matahari muncul malu-malu. Sinarnya masih ramah ketika Steve pamit menuju bandara. Ia akan lebih dulu tiba di Denpasar mempersiapkan segalanya, termasuk mempersiapkan hati seorang Ibu yang menunggunya di sana.
"Kania, do you trust me?" tanya Steve.
Aku menatapnya dengan segenap perasaan.
"Yes, I do. No doubt, Honey," jawabku.
"Thank's, see you in Denpasar, My Bride," balas Steve sambil mencium bibirku.
Kupeluk Steve dengan perasaan bercampur aduk dan sudah pasti remuk. Namun aku bisa apa?!
Sebuah sedan berwarna silver membawa Om bule ke bandara. Lama ku bersandar di pintu gerbang, menghempas napas dengan mata terpejam. Menata hati sebelum kembali masuk ke ruang tamu.
Kurasakan dua tangan lembut menarikku dalam pelukannya. Dani sudah berdiri di sampingku.
"Menangislah Kania, luapkan saja semua, berbagilah denganku," bisik Dani lembut di telinga.