Chereads / Cinta Om Bule / Chapter 38 - We Love Bos Dani

Chapter 38 - We Love Bos Dani

Bukan anak kantor namanya kalau enggak ribut. Iya, ribut ngerjain aku dan Dani. Bahkan sekarang anak kantor punya julukan kesayangan buat aku dan Dani. Mama Kania dan papa Dani. Dasar!

"Papa Dani jangan kelamaan di Jepang, ada yang merana di kantor," goda Beck sambil melirikku.

Dani menanggapi dengan senyum, "Mama Kania sudah punya daddy Steve. Istri orang tuh."

Tawa anak kantor meledak.

"Ah, tapi masih cinta kan?" tanya Dion.

"Woh iya jelas dong. Cinta mati," balas Dani.

Anak kantor makin heboh mendengar jawaban Dani. Aku nyengir, salah tingkah. 

"Kania mukanya merah," ledek Maya.

"Ish .., sudah dong nggodanya," kataku sambil menata piring, memastikan jumlahnya cukup untuk makan bersama.

Setelah semua beres, kuajak mereka makan bersama. Kebetulan suasana mendukung. Hujan-hujan begini paling enak makan yang hangat-hangat. Menu malam ini adalah soto, lengkap dengan perkedel, tempe goreng. Bikin lidah bergoyang. Anak satu divisi bergantian menyerbu meja makan. 

Kita duduk lesehan karena kursi makan tak cukup menampung. Awalnya Maya duduk di sebelah kiriku, sebelah kananku sopir kantor. Melihat itu, Beck kembali berkata, "Geser dong salah satu dari Kalian. Itu tempatnya Papa Dani. Gimana sih, enggak pengertian banget deh!"

Serta merta sopir dan Maya menyingkir. Dani yang baru saja ambil makanan, langsung duduk di sampingku. Padahal Dani asal ambil posisi duduk karena melihat di sebelahku kosong. Anak kantor kembali heboh.

"Nah gitu, baru bener tuh," goda Beck.

Malam itu, aku dan Dani bak selebriti, jadi pusat perhatian. Aku pasrah, hatiku terus berdesir. Terlebih ketika menyadari, Dani menatapku tiap ada kesempatan. Entah kapan aku bisa melepas Dani. Bohong jika kubilang berhasil melepas Dani seratus persen.

"Guys, pulang yuk. Biarin Mama Papa kita nerusin acara mereka sendiri abis ini," kata Beck.

"Weis .., acara apa tuh?" tanya Maya sambil mengedipkan mata.

"Nyuci piring dong ah!" sahut Dion.

Aku memukul Beck, Maya, dan Dion dengan bantal.

"Cie .., Mama salting. Yuk pulang ah, makin malem nih. Mama Papa sibuk abis ini. Anak manis gak boleh ganggu," goda Beck.

Gara-gara celetukkan Beck, anak satu divisi berpamitan pulang. Keadaan rumah berbeda. Kini rumah sepi, Ibu sudah berada di kamar untuk beristirahat. 

Aku naik ke kamar, ganti pakaian lalu kembali ke pantry. Piring, gelas, dan panci kotor sudah menunggu sentuhan tangan seorang Kania.

Ternyata Dani sudah ada di sana, mencuci piring. Bagian bawah kaosnya basah terpercik air cucian piring.

"Love, biar aku yang cuci. Kamu minum obat dan istirahat di kamar," pintaku.

"Aku sudah minum obat," jawab Dani tersenyum ke arahku. 

Tangannya cekatan membawa gelas dan piring ke rak. Aku membantu Dani sambil terus membujuknya untuk istirahat. Hingga tanpa terasa pekerjaan mencuci gelas dan piring selesai.

Kupikir Dani sudah masuk ke kamar dan istirahat saat aku membuang sampah yang menumpuk di pantry. Ternyata Dani sibuk menyapu dan mengepel lantai agar tak ada bekas makanan yang tercecer. Semua dilakukan dengan diam, tanpa mengeluh. Membuatku salut, angkat jempol tetangga deh buat Dani yang super duper rajin.

Terpaksa kurebut pel yang ada di tangan Dani. Harus kuhentikan agar Dani istirahat, kadang aku harus sedikit galak padanya.

"Love please .., ini dikit lagi selesai," rajuk Dani.

Jariku menunjuk kamar tidur Dani tanpa bicara. Mulut Dani mencebik kesal tapi Ia patuh. Cuci tangan, kaki, menyikat gigi, berganti baju tidur lalu Ia menghampiriku.

"Boleh minta temenin tidur? Aku malas tidur sendiri," kata Dani.

"Enggak," jawabku pendek sambil membereskan peralatan mengepel.

Dani seperti anak kecil, bibirnya maju beberapa senti, duduk di sofabed ruang tamu, melirik sebal ke arahku. Aku membiarkannya walau harus menahan tawa. Masih banyak yang harus kulakukan. 

Kakiku menaiki tangga. Dani mengekor. Sesampai di kamar, aku sibuk membersihkan wajah, gosok gigi, dan ganti kimono tidur di kamar mandi karena Dani tidak mau kuusir dari kamar.

Aku kehabisan akal. Terserahlah dia mau apa di kamar. Aku tidur di sofabed ruang tamu. Kubawa bantal, guling, dan selimut untuk tidur di sofabed. Lagi-lagi Dani mengekor. Ia menyusup ke dalam selimutku. Untung selimut yang kupakai cukup lebar. Aku dan Dani tidur di atas sofabed berdua, dalam satu selimut. 

***

Selama perjalanan menuju ke bandara, Dani tak melepaskan tanganku. Pelukan, ciuman di kening, dan caranya menggandeng tangan seolah menguatkan bahwa Dani masih sangat mencintaiku. 

Pagi itu, Ibu meminta untuk mempertimbangkan ulang keputusanku menikah dengan Steve. Seperti hari kemarin, aku menolaknya. Aku mencintai Steve walau tak menampik jika masih ada rasa yang tertinggal untuk Dani.

Ibu menggeleng, mencubit lenganku. Beliau berkata, "Hush ngawur Kamu Nduk. Menikah itu ya milih salah satu. Ndak boleh ada laki-laki lain."

Aku nyengir, menjawab Ibu setengah berbisik, "Lha yang jadi saingan calon suamiku cakep minta ampun, Bu. Masak ada barang bagus didiemin?"

"Cah gendheng! Kan Ibu sudah bilang kalau Kamu itu harusnya milih Dani," kata Ibu. Apalagi Ibu selama ini berharap Dani yang menjadi menantunya, walau kenyataannya aku lebih memilih Om bule.

"Enggak ah, Bu. Dani terlalu dewasa, kadang aku kadang enggak bisa mengikuti pola pikirnya. Kalau Steve kan santai meskipun dia galak tapi baik, aku merasa match sama Steve. Mana suka becanda, lucu, banyak duit," jawabku.

"Halah alesan. Dani itu kan juga banyak duit, anaknya baik, sopan. Wis kana sak karepmu lah Nduk! Yang penting jangan sakiti hati Dani. Ibu enggak mau liat Dani sedih," jawab Ibu yang tetap bersikeras berpihak pada Dani.

Kalau sudah begini lebih baik aku diam, daripada nanti dikutuk jadi batu. Gawat dong ya.

***

Ternyata anak-anak kantor sudah berkumpul di depan pintu bandara. Beberapa dari mereka membawa kertas dengan aneka macam tulisan. Aku merasa melihat para pendemo. Namun yang ini demo cinta dan baper.

Beck membawa kertas bertuliskan, 'Cepat sembuh Papa Dani. Jangan lama-lama Mama Kania kangen. We love you.'

Dion nyengir dan mengangkat kertas bertuliskan, 'Semangat Bos Dani! Lekas sembuh. Ingat segera pulang, jangan kecantol geisha Jepang. Mama Kania lebih aduhai!'

Aku, Dani, dan Ibu tergelak membaca tulisan di kertas Dion.

Sopir kantor juga membawa kertas dan bertuliskan, 'Lekas sembuh Bos! Ingat segera pulang, calon istri menunggu di ruangan sebelah.'

Wah kacau! Anak kantor pengkhianat nih. Mereka satu nada, kompak pagi ini, membuat aku dan Dani baper. 

Dani memeluk mereka satu per satu, pamit.

"Guys, aku nitip Kania ya. Tolong jaga Kania kalau aku enggak bisa balik. Jangan lupa, Kania istri orang, nanti Bergmann murka loh," kata Dani sesaat sebelum masuk bandara.

Anak kantor kembali riuh. Dani nyengir mendengar celotehan mereka. Saat Dani mendekat, hatiku seolah loncat.

"I love you, Kania," ucap Dani. Tangan berotot itu menarik pinggangku. Membawaku mendekat pada wajahnya yang tampan. Tiba-tiba Dani mencuri ciuman dari bibirku. Beck seketika bersorak, "Yes!" Anak lainnya tak kalah heboh.

Dani nyengir, aku menggeleng menyaksikan tingkah anak kantor.

"We love you Mr. Dani Wibisono!" teriak anak-anak satu divisi mengiringi langkah kaki Dani dan Ibu saat menuju pintu masuk bandara.

Dani memang baru sebentar bergabung di divisi ini. Namun, sepertinya Dani pintar merebut hati anak-anak di kantor. Aku jadi terharu melihat segala bentuk perhatian mereka untuk Dani.

"Kania ..," kata Beck.

Aku terkesiap. Kuhapus lelehan air mata di pipi. Sementara tangan Beck sudah mengulurkan tisu.

"Aku anter ke gate. Kamu mau ke Bali kan?" tanya Beck.

Aku mengangguk.

"Makasih Beck," jawabku.