Aku terbangun di saat langit masih gelap. Jam kotak di atas nakas menunjukkan pukul empat. Awalan yang bagus karena aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama.
Ngantuk, gontai, muka bantal, oh whatever! Pilihanku cuma dua, ngerjakan tugas atau dengar Steve ngomel. Omelan Steve sudah pasti tidak menyenangkan, anti basa-basi kalau lagi nyembur. Kemarin aku sudah hampir nangis gara-gara omongan Steve.
Sudah berapa kali aku diteriaki stupid, bad, lazy. Mana muka sama telinga Steve sampai merah semua semalam waktu tahu kemejanya berlubang. Marah beneran tuh Om bule.
Ok, saatnya bikin sarapan. Bikin Om bule senang. Roti bakar keju, susu, dan jus jeruk, favorit Steve di waktu pagi selain nasi goreng.
Kudengar langkah kaki menuju pantry. Sudah bangun nih Om bule. Nyoba nyapa ah, enggak enak saling diam seperti semalam.
"Guten morgen," sapaku ramah.*
Om bule menoleh, tersenyum lalu meminum segelas air putih. Just it! Tanpa membalas sapaku, boro-boro ciuman selamat pagi. Aku pun diam tak ingin bereaksi lebih.
Om bule sudah berlalu dari hadapanku. Ia memilih menghabiskan waktu di balkon melatih gerakan beladiri. Ketika matahari sudah muncul Om bule membaca buku, tak ada keinginan untuk masuk ke dalam, bercanda denganku seperti biasa.
Kubawakan segelas jus jeruk dan sebotol air mineral. Niatnya sih ingin berbaikan sama Om bule. Enggak tahu nanti Om bule menanggapi seperti apa.
"Es tut mir leid," kataku sambil meletakkan jus dan air mineral.**
Steve mengalihkan pandangan dari buku, mendengar permintaan maaf dariku. Namun masih diam, hanya memandangku, di wajahnya terdapat sebuah senyum tapi seperti senyum yang dipaksakan.
"Di dalam masih ada roti bakar keju buat sarapan," kataku. Kutinggalkan Steve yang masih diam.
Aku mandi lalu merapikan tempat tidur. Curang banget tuh Om bule bangun tidur belakangan enggak mau bersihin tempat tidur. Steve masuk, menoleh sebentar. Pandangan kita sempat bersirobok tapi Steve diam langsung masuk ke pantry, setelah itu mandi.
Enough! Ngapain juga aku di sini? Steve enggak butuh aku! Dia lebih cocok hidup berdampingan sama egonya. Kuambil secarik kertas, menulis pesan dan tak lupa mengembalikan cincin dari Steve. Minggat.
***
Sambil menyetir mobil, aku menangis sepuasnya. Nyesek musuhan sama Om-om egois. Padahal aku sudah minta maaf dan respon Steve masih sedingin es. Nista durjana!
Sesampai di basement, aku sibuk memperbaiki make-up yang rusak karena menangis.
Jendela mobilku diketuk. Maya berdiri di luar.
"Kania, are you ok?" tanya Maya.
Aku mengangguk tanpa menatap Maya.
"No Kania. You're not ok. Butuh teman bicara? Don't worry, Bang Dion sudah masuk gedung duluan. Aman, enggak ada tukang gosip," kata Maya.
Aku menghambur ke pelukan Maya dan menangis. Rasanya capek banget dimusuhin Om bule, disuruh-suruh, kalau enggak beres disalahin, diomelin pakai kata-kata favorit Steve yang nyelekit di hati. Giliran Steve yang bikin salah enggak mau ngaku.
Maya menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.
"Menangislah Kania, kalau itu membuatmu lega," bisik Maya.
Sialnya Beck baru datang dan melihatku menangis di pelukan Maya.
"Kania, kenapa? Berantem sama si Bergmann?" tanya Beck.
"Sst .., gih sana masuk. Urusan perempuan ini," kata Maya.
"Berantem sama Bergmann itu enggak usah pakai hati. Bisa mati berdiri. Bergmann kan emang gitu, kalau nyembur omongannya pedes tapi hatinya itu baik loh. Ya aku ngerti sih, pasti Kamu shock abis pacaran sama Dani yang lembut, dewasa eh dapet Steve tukang teriak, hobi nyembur kayak naga," kata Beck.
"Ih, apaan sih Beck kok malah ngebandingin. Udah sana masuk," kata Maya.
Aku mulai bisa senyum mendengar Beck.
"Nah, gitu dong senyum. Sedikit bocoran, mau tahu kenapa Steve lama nyatain cinta ke Kania?" tanya Beck.
"Apa dong?" tanya Maya sambil membantuku membersihkan maskara yang luntur.
"Bergmann mikir berulang-ulang tentang culture shock yang bakal dihadapi Kania kalau hidup bareng. Enggak pengen lihat Kania terluka. Percaya deh, Bergmann itu sebenernya cinta banget sama Kania. Worth it lah putus dari Dani, dapetnya Bergmann. Mantap," ucap Beck.
Saat itu kulihat mobil Steve melintas di basement. Beck dan Maya buru-buru pergi, seolah memberi ruang untukku dan Steve.
Steve turun dan menghampiriku setelah memarkir mobilnya.
"Kania, verlass mich nicht. Ich liebe dich über alles. Geh nicht wieder, ich werde elend sterben. Es tut mir leid schatz," bisik Steve sambil memeluk dan mencium kepalaku.***
Aku mengangguk dalam pelukan Om bule. Merasakan hangat dan wangi tubuhnya. Emh .., nyaman. Kurasakan benda melingkar di jari manisku. Om bule memasangkan cincin yang tadi kutinggalkan.
"Ich muss gehen," kata Steve sambil melirik Swiss Army yang melingkar di tangannya. Steve kembali mencium kepalaku sebelum berlari ke mobilnya.****
"Hati-hati di jalan. Cari uang yang banyak ya. Love you, Steve!" teriakku.
"Love you Kania!" Teriak Steve dari mobilnya.
Duh, emang bawaan bayi nih Steve, hobi teriak dan aku mulai tertular virus teriak Steve.
***
Aku masih sibuk di ruang meeting bersama tamu perusahaan, Beck, dan Dion. Selama meeting, Dion dan Beck bergantian keluar masuk ruangan. Mondar-mandir. Enggak sopan deh, padahal biasanya Mereka bisa duduk dengan tenang.
Ah, biarin saja. Nanti selesai meeting baru kuselidiki. Toh meeting sebentar lagi selesai.
Tepat jam tiga meeting selesai. Tamu juga sudah pulang. Nah, saatnya bertanya. Namun, baru mau buka mulut, Dion segera mengajak ke ruanganku.
Di sana sudah ada Beck, Maya. Steve terbaring di sofa bed dengan wajahnya yang pucat.
"Tuh, pujaan hatimu sakit, Kania," kata Dion.
"Makannya jadi suami itu jangan galak-galak. Ditinggal pergi sebentar sama Kania, jadi sakit kan?! Itu namanya kualat," kata Beck sambil tertawa.
Bibir tipis Om bule tersenyum.
"Jadi dari tadi mondar-mandir gara-gara ini?" tanyaku pada Beck dan Dion.
"Iya," jawab Beck dan Dion kompak.
"Steve itu rewel minta ampun kalau lagi sakit. Kamu siap-siap Kania, yang sabar," kata Beck.
"Sebentar lagi dokter Eben sampai, Kania," kata Maya.
"Makasih ya Guys. Kalian the best lah," kataku.
"Sini peluk," kata Beck, matanya melirik Steve.
"Don't you dare!" teriak Steve, tangannya mengepal sambil tertawa. Kami semua tergelak.
Berdasarkan pemeriksaan dokter Eben sore ini, Steve stres, yang menyebabkan asam lambung naik. Harus istirahat, enggak boleh emosi, teriak, apalagi ngajak berantem.
Beck dan Dion pun langsung menggoda Steve ketika makan bersama malam itu.
"Ah elah Bergmann, kirain Kamu cowok yang super kuat. Eh baru berantem sebentar sama Kania jadi sakit deh," kata Beck.
"Perasaan dulu enggak gitu kan. Waktu sama Talinda, gebetan lainnya juga. Berantem sama Mereka nyantai. Kenapa sekarang giliran sama Kania jadi sakit sih?" tanya Dion.
Kami semua tergelak. Saat itu gawaiku bergetar, nama Dani terlihat di layar.
"Udah, angkat saja. Siapa tahu penting loh," kata Dion.
"Tuh di sana ada ruang, kalau Kania butuh privasi bisa ke sana," kata Beck.
Aku menatap Steve, Ia mengangguk.
Kulangkahkan kaki ke balkon belakang. Wajah Dani muncul di layar. Latar belakang sebuah kamar rumah sakit. Dani duduk di atas tempat tidur, memakai piyama pemberianku.
Hatiku perih saat melihat Dani seperti kelelahan, masih berusaha tersenyum.
"Love, besok pagi aku operasi. Doakan aku ya," kata Dani.
Aku mengangguk tak sanggup berkata-kata. Menata hati agar terlihat kuat di depan Dani. Menahan air mata agar tak jatuh. Berusaha meyakinkan Dani semua baik-baik saja.
"Love, aku kangen. Rasanya pengen seperti waktu di Dortmund. Masih ingat waktu Kita bersepeda ke Westfalenpark?" tanya Dani.
"Iya, inget. Kita pacaran. Ujung-ujungnya aku kecapekan sendiri. Pulang pergi naik sepeda, jalan-jalan di taman, sampai di rumah kakiku dikompres air hangat sama Kamu," jawabku.
Kita berdua tergelak.
Banyak cerita tentang nostalgia di Dortmund bersama Dani. Susah, senang, menangis, tertawa apa pun itu bersama Dani. Karir belum sehebat sekarang bahkan aku pun masih kuliah. Merasakan punya hutang, kesulitan uang. Menghadapi masa suram bersama, saling menguatkan.
"Love, jika aku masih punya umur. Aku ingin membuatmu bahagia. Aku tahu, Bergmann punya segalanya. Kamu enggak akan pernah kekurangan. Yang aku punya mungkin enggak seberapa tapi semoga bisa membuatmu bahagia. Kamu tahu, aku masih cinta dan selalu cinta sama kamu, Kania," kata Dani.
Aku menggigit bibir menahan air mata. Bagaimana bisa Dani masih bicara begitu padahal besok setelah operasi nasibnya belum jelas.
"Pulang dan bahagiakanlah aku, semampumu, Love," jawabku sambil menangis. Aku tak tahan lagi.
"Aku rela jadi cinta keduamu, Kania. Terserah apa pendapatmu. Nyatanya, aku enggak pernah bisa lupa sama kamu, Love. Sudah sana masuk, temui Bergmann dan anak kantor. Salam buat mereka. Doakan aku. Aku mencintaimu, Kania dan akan selalu begitu," kata Dani. Senyum menghiasi wajahnya yang tampan.
"Semua akan baik-baik saja, Love. Pulang dan jemput aku pengantin kecilmu ini, Love. Pulang untukku, Dani sayang. Jangan pergi terlalu lama. Aku enggak pernah sempurna tanpa kamu, Love," kataku dalam tangis.
Sambungan terputus, kaki ini tak sanggup menopang tubuh. Aku luruh, terduduk di lantai, menangis. Kedua tanganku menutupi wajah.
Rasa bersalah pada Dani kembali muncul. Kenapa .., kenapa jadi begini? Apa keputusanku menikah dengan Steve salah? Apa seharusnya aku mendengarkan nasihat Ibu untuk memilih Dani? Oh ya ampun .., aku menyakiti Dani dan Steve bersamaan. Bagaimana ini?
***
Catatan :
* guten morgen : selamat pagi
**Es tut mir leid : maafkan aku
*** Kania, verlass mich nicht. Ich liebe dich über alles. Geh nicht wieder, ich werde elend sterben. Es tut mir leid schatz.
Kania, jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu di atas segalanya. Jangan pergi lagi, aku akan mati merana. Maafkan aku sayang.
**** Ich muss gehen : aku harus pergi.
Aku terbangun di saat langit masih gelap. Jam kotak di atas nakas menunjukkan pukul empat. Awalan yang bagus karena aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama.
Ngantuk, gontai, muka bantal, oh whatever! Pilihanku cuma dua, ngerjakan tugas atau dengar Steve ngomel. Omelan Steve sudah pasti tidak menyenangkan, anti basa-basi kalau lagi nyembur. Kemarin aku sudah hampir nangis gara-gara omongan Steve.
Sudah berapa kali aku diteriaki stupid, bad, lazy. Mana muka sama telinga Steve sampai merah semua semalam waktu tahu kemejanya berlubang. Marah beneran tuh Om bule.
Ok, saatnya bikin sarapan. Bikin Om bule senang. Roti bakar keju, susu, dan jus jeruk, favorit Steve di waktu pagi selain nasi goreng.
Kudengar langkah kaki menuju pantry. Sudah bangun nih Om bule. Nyoba nyapa ah, enggak enak saling diam seperti semalam.
"Guten morgen," sapaku ramah.*
Om bule menoleh, tersenyum lalu meminum segelas air putih. Just it! Tanpa membalas sapaku, boro-boro ciuman selamat pagi. Aku pun diam tak ingin bereaksi lebih.
Om bule sudah berlalu dari hadapanku. Ia memilih menghabiskan waktu di balkon melatih gerakan beladiri. Ketika matahari sudah muncul Om bule membaca buku, tak ada keinginan untuk masuk ke dalam, bercanda denganku seperti biasa.
Kubawakan segelas jus jeruk dan sebotol air mineral. Niatnya sih ingin berbaikan sama Om bule. Enggak tahu nanti Om bule menanggapi seperti apa.
"Es tut mir leid," kataku sambil meletakkan jus dan air mineral.**
Steve mengalihkan pandangan dari buku, mendengar permintaan maaf dariku. Namun masih diam, hanya memandangku, di wajahnya terdapat sebuah senyum tapi seperti senyum yang dipaksakan.
"Di dalam masih ada roti bakar keju buat sarapan," kataku. Kutinggalkan Steve yang masih diam.
Aku mandi lalu merapikan tempat tidur. Curang banget tuh Om bule bangun tidur belakangan enggak mau bersihin tempat tidur. Steve masuk, menoleh sebentar. Pandangan kita sempat bersirobok tapi Steve diam langsung masuk ke pantry, setelah itu mandi.
Enough! Ngapain juga aku di sini? Steve enggak butuh aku! Dia lebih cocok hidup berdampingan sama egonya. Kuambil secarik kertas, menulis pesan dan tak lupa mengembalikan cincin dari Steve. Minggat.
***
Sambil menyetir mobil, aku menangis sepuasnya. Nyesek musuhan sama Om-om egois. Padahal aku sudah minta maaf dan respon Steve masih sedingin es. Nista durjana!
Sesampai di basement, aku sibuk memperbaiki make-up yang rusak karena menangis.
Jendela mobilku diketuk. Maya berdiri di luar.
"Kania, are you ok?" tanya Maya.
Aku mengangguk tanpa menatap Maya.
"No Kania. You're not ok. Butuh teman bicara? Don't worry, Bang Dion sudah masuk gedung duluan. Aman, enggak ada tukang gosip," kata Maya.
Aku menghambur ke pelukan Maya dan menangis. Rasanya capek banget dimusuhin Om bule, disuruh-suruh, kalau enggak beres disalahin, diomelin pakai kata-kata favorit Steve yang nyelekit di hati. Giliran Steve yang bikin salah enggak mau ngaku.
Maya menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.
"Menangislah Kania, kalau itu membuatmu lega," bisik Maya.
Sialnya Beck baru datang dan melihatku menangis di pelukan Maya.
"Kania, kenapa? Berantem sama si Bergmann?" tanya Beck.
"Sst .., gih sana masuk. Urusan perempuan ini," kata Maya.
"Berantem sama Bergmann itu enggak usah pakai hati. Bisa mati berdiri. Bergmann kan emang gitu, kalau nyembur omongannya pedes tapi hatinya itu baik loh. Ya aku ngerti sih, pasti Kamu shock abis pacaran sama Dani yang lembut, dewasa eh dapet Steve tukang teriak, hobi nyembur kayak naga," kata Beck.
"Ih, apaan sih Beck kok malah ngebandingin. Udah sana masuk," kata Maya.
Aku mulai bisa senyum mendengar Beck.
"Nah, gitu dong senyum. Sedikit bocoran, mau tahu kenapa Steve lama nyatain cinta ke Kania?" tanya Beck.
"Apa dong?" tanya Maya sambil membantuku membersihkan maskara yang luntur.
"Bergmann mikir berulang-ulang tentang culture shock yang bakal dihadapi Kania kalau hidup bareng. Enggak pengen lihat Kania terluka. Percaya deh, Bergmann itu sebenernya cinta banget sama Kania. Worth it lah putus dari Dani, dapetnya Bergmann. Mantap," ucap Beck.
Saat itu kulihat mobil Steve melintas di basement. Beck dan Maya buru-buru pergi, seolah memberi ruang untukku dan Steve.
Steve turun dan menghampiriku setelah memarkir mobilnya.
"Kania, verlass mich nicht. Ich liebe dich über alles. Geh nicht wieder, ich werde elend sterben. Es tut mir leid schatz," bisik Steve sambil memeluk dan mencium kepalaku.***
Aku mengangguk dalam pelukan Om bule. Merasakan hangat dan wangi tubuhnya. Emh .., nyaman. Kurasakan benda melingkar di jari manisku. Om bule memasangkan cincin yang tadi kutinggalkan.
"Ich muss gehen," kata Steve sambil melirik Swiss Army yang melingkar di tangannya. Steve kembali mencium kepalaku sebelum berlari ke mobilnya.****
"Hati-hati di jalan. Cari uang yang banyak ya. Love you, Steve!" teriakku.
"Love you Kania!" Teriak Steve dari mobilnya.
Duh, emang bawaan bayi nih Steve, hobi teriak dan aku mulai tertular virus teriak Steve.
***
Aku masih sibuk di ruang meeting bersama tamu perusahaan, Beck, dan Dion. Selama meeting, Dion dan Beck bergantian keluar masuk ruangan. Mondar-mandir. Enggak sopan deh, padahal biasanya Mereka bisa duduk dengan tenang.
Ah, biarin saja. Nanti selesai meeting baru kuselidiki. Toh meeting sebentar lagi selesai.
Tepat jam tiga meeting selesai. Tamu juga sudah pulang. Nah, saatnya bertanya. Namun, baru mau buka mulut, Dion segera mengajak ke ruanganku.
Di sana sudah ada Beck, Maya. Steve terbaring di sofa bed dengan wajahnya yang pucat.
"Tuh, pujaan hatimu sakit, Kania," kata Dion.
"Makannya jadi suami itu jangan galak-galak. Ditinggal pergi sebentar sama Kania, jadi sakit kan?! Itu namanya kualat," kata Beck sambil tertawa.
Bibir tipis Om bule tersenyum.
"Jadi dari tadi mondar-mandir gara-gara ini?" tanyaku pada Beck dan Dion.
"Iya," jawab Beck dan Dion kompak.
"Steve itu rewel minta ampun kalau lagi sakit. Kamu siap-siap Kania, yang sabar," kata Beck.
"Sebentar lagi dokter Eben sampai, Kania," kata Maya.
"Makasih ya Guys. Kalian the best lah," kataku.
"Sini peluk," kata Beck, matanya melirik Steve.
"Don't you dare!" teriak Steve, tangannya mengepal sambil tertawa. Kami semua tergelak.
Berdasarkan pemeriksaan dokter Eben sore ini, Steve stres, yang menyebabkan asam lambung naik. Harus istirahat, enggak boleh emosi, teriak, apalagi ngajak berantem.
Beck dan Dion pun langsung menggoda Steve ketika makan bersama malam itu.
"Ah elah Bergmann, kirain Kamu cowok yang super kuat. Eh baru berantem sebentar sama Kania jadi sakit deh," kata Beck.
"Perasaan dulu enggak gitu kan. Waktu sama Talinda, gebetan lainnya juga. Berantem sama Mereka nyantai. Kenapa sekarang giliran sama Kania jadi sakit sih?" tanya Dion.
Kami semua tergelak. Saat itu gawaiku bergetar, nama Dani terlihat di layar.
"Udah, angkat saja. Siapa tahu penting loh," kata Dion.
"Tuh di sana ada ruang, kalau Kania butuh privasi bisa ke sana," kata Beck.
Aku menatap Steve, Ia mengangguk.
Kulangkahkan kaki ke balkon belakang. Wajah Dani muncul di layar. Latar belakang sebuah kamar rumah sakit. Dani duduk di atas tempat tidur, memakai piyama pemberianku.
Hatiku perih saat melihat Dani seperti kelelahan, masih berusaha tersenyum.
"Love, besok pagi aku operasi. Doakan aku ya," kata Dani.
Aku mengangguk tak sanggup berkata-kata. Menata hati agar terlihat kuat di depan Dani. Menahan air mata agar tak jatuh. Berusaha meyakinkan Dani semua baik-baik saja.
"Love, aku kangen. Rasanya pengen seperti waktu di Dortmund. Masih ingat waktu Kita bersepeda ke Westfalenpark?" tanya Dani.
"Iya, inget. Kita pacaran. Ujung-ujungnya aku kecapekan sendiri. Pulang pergi naik sepeda, jalan-jalan di taman, sampai di rumah kakiku dikompres air hangat sama Kamu," jawabku.
Kita berdua tergelak.
Banyak cerita tentang nostalgia di Dortmund bersama Dani. Susah, senang, menangis, tertawa apa pun itu bersama Dani. Karir belum sehebat sekarang bahkan aku pun masih kuliah. Merasakan punya hutang, kesulitan uang. Menghadapi masa suram bersama, saling menguatkan.
"Love, jika aku masih punya umur. Aku ingin membuatmu bahagia. Aku tahu, Bergmann punya segalanya. Kamu enggak akan pernah kekurangan. Yang aku punya mungkin enggak seberapa tapi semoga bisa membuatmu bahagia. Kamu tahu, aku masih cinta dan selalu cinta sama kamu, Kania," kata Dani.
Aku menggigit bibir menahan air mata. Bagaimana bisa Dani masih bicara begitu padahal besok setelah operasi nasibnya belum jelas.
"Pulang dan bahagiakanlah aku, semampumu, Love," jawabku sambil menangis. Aku tak tahan lagi.
"Aku rela jadi cinta keduamu, Kania. Terserah apa pendapatmu. Nyatanya, aku enggak pernah bisa lupa sama kamu, Love. Sudah sana masuk, temui Bergmann dan anak kantor. Salam buat mereka. Doakan aku. Aku mencintaimu, Kania dan akan selalu begitu," kata Dani. Senyum menghiasi wajahnya yang tampan.
"Semua akan baik-baik saja, Love. Pulang dan jemput aku pengantin kecilmu ini, Love. Pulang untukku, Dani sayang. Jangan pergi terlalu lama. Aku enggak pernah sempurna tanpa kamu, Love," kataku dalam tangis.
Sambungan terputus, kaki ini tak sanggup menopang tubuh. Aku luruh, terduduk di lantai, menangis. Kedua tanganku menutupi wajah.
Rasa bersalah pada Dani kembali muncul. Kenapa .., kenapa jadi begini? Apa keputusanku menikah dengan Steve salah? Apa seharusnya aku mendengarkan nasihat Ibu untuk memilih Dani? Oh ya ampun .., aku menyakiti Dani dan Steve bersamaan. Bagaimana ini?
***
Catatan :
* guten morgen : selamat pagi
**Es tut mir leid : maafkan aku
*** Kania, verlass mich nicht. Ich liebe dich über alles. Geh nicht wieder, ich werde elend sterben. Es tut mir leid schatz.
Kania, jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu di atas segalanya. Jangan pergi lagi, aku akan mati merana. Maafkan aku sayang.
**** Ich muss gehen : aku harus pergi.