Aku dan Om bule, dua orang manusia yang dibesarkan dengan cara berbeda. Sudah pasti ketika bersama akan ada riak-riak yang muncul. Ternyata hidup barsama Steve repotnya minta ampun.
Steve itu jenis manusia yang hidup dengan keteraturan. Hampir mirip dengan Dani. Bedanya kalau Dani marah enggak pakai teriak tapi butuh berhari-hari untuk bisa berdamai. Ia tidak akan marah untuk hal-hal kecil. Lebih dewasa dan sangat rajin. Semua yang sanggup dikerjakan sendiri, pasti ditangani sendiri.
Nah kalau Steve, mulutnya bak dilengkapi mikrofon dari lahir. Jadi sekali teriak terdengar sampai di bawah kolong tempat tidur sekalipun. Tak peduli besar kecil masalah, Om bule pasti teriak. Cuma bisa langsung damai, enggak butuh waktu lama. Setelah puas marah, kembali seperti biasa.
Gawatnya, Om bule suka mendelegasikan tugas alias nyuruh. Memang sih pekerjaan rumah sudah dibagi. Semua yang dianggap berat dan butuh waktu lama, itu porsi Steve. Aku dapat tugas yang biasa dikerjakan para wanita pada umumnya. Bagi Om bule, aku adalah teman satu tim. Ya enggak salah juga sih dengan anggapan Steve.Yang salah adalah Steve enggak tahu kemampuanku yang payah ketika mengerjakan tugas rumah.
Nah ketika tinggal bersama, semua kebiasaan dan kemampuanku dari tingkat terpuji sampai tercela, mahir hingga aib terungkap. Mulai dari susah bangun pagi, malas olahraga, enggak becus mengerjakan tugas rumah, menumpuk pakaian dalam yang kotor, ngemil makanan di atas kasur, enggak bisa masak, dan masih banyak lainnya yang membuat Steve teriak bak rocker nyasar.
Empat belas hari yang tak terbayangkan dalam hidupku, mendengar teriakan Steve. Aku bahkan hafal, teriakan andalan Steve jika mendapati sesuatu tak seperti ekspektasinya. Stupid! Hih, kenyang aku diteriakin sama Om bule.
Hari pertama, aku bangun kesiangan. Steve sedang memasak omelet saat aku menuju kamar mandi. Wajahnya datar, Ia hanya melirikku tapi aku tahu sebentar lagi gunung berapi meletus. Duar!
Harusnya memasak makanan itu tugasku karena aku belum bangun, Steve yang mengerjakannya.
Aku terburu-buru sehingga lupa tugas memutar tombol pada mesin cuci. Jadilah pakaian-pakaian kotor itu belum tercuci di dalam mesin. Saat aku keluar kamar mandi baru ingat belum memutar tombol, terlambat! Steve sudah berdiri di depan mesin cuci, memutar tombol.
"Kenapa Kamu lupa, Kania? Tidak ingat ada baju kotor?!" tanya Om bule ngegas.
"Aku keburu-buru, Steve. Iya maaf," jawabku.
Steve diam setelah aku minta maaf. Kita sarapan seperti biasa. Semua aman. Namun pada saat aku belum pakai sepatu, sementara Steve sudah siap berangkat, wah ngamuk deh.
"Kenapa Kamu lambat, Kania? Kamu seperti siput!" teriak Steve dan bla ... bla ... bla sampai di parkiran apartemen omelan belum berhenti.
Seperti biasa, aku diam. Ternyata di jalan pun Steve masih ngomel. Tadinya aku sabar, lama-lama aku nyeletuk juga karena tak tahan.
"Bisa enggak sih berhenti nyalahin aku? Semalem siapa yang minta duluan? Kamu kan?! Wajar dong aku kesiangan, badanku capek," balasku.
Steve diam, aku diam. Hening. Bahkan ketika aku turun dari mobil Steve.
"Love you, Honey," kata Steve tanpa melihat wajahku.
"Love you," balasku sambil merasa kesal.
Steve segera memacu mobilnya tanpa melihat ke arahku.
***
Hari pertama kerja menggantikan tugas Dani. Email bertebaran, menunggu respon. Deringan telepon. Kesibukan kantor yang menuntut, membuatku lupa pertengkaran dengan Om bule. Ditambah lagi meeting sampai sore. Capek deh! Tenaga dan pikiran terkuras.
***
Aku dan Om bule dalam perjalanan pulang dari kantor. Kita sudah bisa bercanda, tertawa bahkan Om bule manja ke aku seperti biasa.
"Honey, sekalian beli makan malam yuk," pintaku.
"Why don't we just cook, Honey? Itu lebih romantis," kata Steve sambil tersenyum.
"Mau masak apa sih? Kan Honey tahu aku enggak bisa masak," kataku.
"Ebi furai," kata Steve.
"Aku enggak bisa masak. Terserah kalau nanti hasilnya kacau," ucapku.
"I'll do it for you," kata Om bule sambil mengacak rambut di kepalaku.
"Cie .., mau dong dimasakin calon suami," jawabku manja.
Yes! Aku bebas tugas memasak malam ini.
***
Steve memasak, aku menyetrika pakaian. Di tengah proses memasak, gawai Steve berbunyi. Om bule menjawab teleponnya, otomatis harus menjauh dari gas. Beberapa menit kemudian, tercium bau hangus dari pantry.
Aku segera berlari menghampiri udang di dalam wajan. Tiga ekor udang gosong. Segera kubereskan. Tiga ekor udang tak bisa diselamatkan. Tak lama kemudian, aku mencium bau hangus yang lain. Malam itu, aku membuat sebuah lubang besar di kemeja Steve. Duh tamat, pasti ngomel nih Om bule.
Steve kembali ke dapur.
"Oh my gosh, it's schorched!" teriak Steve.
Aku sengaja memamerkan udang gosong di piring yang telah disediakan Steve. Sementara udang yang tidak gosong sudah kusembunyikan dalam lemari. Steve meneruskan menggoreng sisa udang dalam adonan.
"Kenapa Kamu enggak angkat udangnya, Markonah?" tanya Steve.
"Ugh .., Bambang, Kamu sekarang pintar banget sih nyalahin orang. Kenapa juga apinya enggak dikecilin?!" balasku.
Steve diam, aku diam. Kami saling diam. Bahkan makan malam kali ini dilakukan dengan mode mute. Sepi, hanya bunyi sendok dan garpu beradu di piring Om bule. Sedangkan aku memilih makan tanpa sendok dan garpu, lebih nikmat langsung dengan jari-jari tangan.
Selesai makan, tugasku mencuci piring. Steve menata pakaian di lemari. Tiba-tiba bibir tipis itu berteriak, "Markonah, kenapa kemeja aku ada lubang?!"
Tak lama kemudian, Om bule menghampiriku di pantry, meminta penjelasan.
"Itu gara-gara aku mencium bau gosong di pantry, Bambang," jawabku mengawali penjelasan kronologis terbakarnya sebuah kemeja milik calon suami yang bawel.
"Ya Tuhan, aduh Kania, why you so stupid?! Ini pekerjaan sehari-hari. It's easy. Harusnya Kamu bisa!" teriak Steve.
Sumpah, nyebelin banget Steve malem ini. Dih, aku enggak terima diginiin!
"Hello ...! Easy dari Hongkong?! Kalau gampang, harusnya enggak ada cerita udang gosong dong ya. Kamu pikir aku ini wonder woman, semua bisa aku kerjakan?! Kan Kamu tahu, aku enggak suka kerjaan rumah. Kalau Kamu mengharapkan istri wonder woman, ngaca dong Kamu sudah bisa jadi suami superman belum?!" balasku dengan kata-kata yang tajam.
Dengan sebal kutata piring yang masih basah di tepi kitchen sink. Bodo amat, terserah mau diseruduk tikus atau kucing jika nanti malam mereka main kejar-kejaran.
Aku duduk di sofabed sambil memeluk bantal sofa. Betul kata Ibu Steve, semakin mendekati hari pernikahan, semakin banyak godaan. Ya godaan buat ribut sama Om bule ini.
Nyesek rasanya di dada. Aku tahu, Steve memang kadang resek. Hari ini, enggak cuma resek yang kurasakan. Perpaduan dari galak, bawel, banyak mau, enggak sabaran, tukang nyalahin orang. Steve versi complicated alias ribet. Kugigit bibir bawah untuk menahan tangis.
Kubutuh hiburan untuk mengalihkan emosi. Dengan satu jari kutekan remote televisi.
'Nyari film romantis ah,' kataku dalam hati.
Setelah menekan beberapa saluran, akhirnya kutemukan sebuah film.
Jleg!
Pantat Steve mendarat di sofabed, duduk di sampingku. Ikut menonton film tanpa protes hingga selesai. Duduk bersebelahan tak ada sapa. Padahal filmnya romantis, ceritanya seperti nyindir, happy ending sih, tetap saja Steve diam. Jangankan baikan, inisiatif buat komentar aja enggak ada. Sepi!
Begitu juga saat tidur. Terulang lagi kejadian di Singapura. Steve hadap kanan, aku hadap kiri. Tanpa pelukan hangat dari tangan berbulu. Aku hanya dapat memandangi punggungnya yang pucat. Rasanya rindu menyusup dalam pelukan Steve. Menyandarkan kepala di dadanya, lalu jariku memainkan bulu-bulu macho. Saling berbagi cerita sebelum tidur, menangis, tertawa. Kampret, makin susah tidur nih aku ingat hal romantis macam itu. Nista durjana!
Steve sudah mendengkur. Perlahan aku beringsut mengintip wajahnya dari balik punggung. Sebenarnya Om bule memiliki wajah yang enggak jutek. Enak dilihat walaupun enggak cakep seperti Dani atau Rich. Sayangnya, Steve enggak bisa menghilangkan kebiasaan buruknya, teriak. Dih, saingan sama cewek yang lagi pms!
"Met tidur, Honey. I love you," bisikku di telinga Om bule.
Aku kembali ke posisi tidur semula. Enggak bisa bobok. Mencoba menikmati suasana ini walau tak enak. Berjuang memejamkan mata agar esok tak bangun kesiangan. Tak mengulang kesalahan yang sama.
'Satu kambing, dua kambing, ...,' kataku, berhitung dalam hati.
Blek!
Tangan berbulu Om bule memeluk pinggangku. Dengan mata terpejam Om bule mengigau, "Kania .., my only home." Setelah itu kembali mendengkur sambil mengeluarkan air liur.
****