Chereads / Cinta Om Bule / Chapter 37 - Sebelum Dani Pergi

Chapter 37 - Sebelum Dani Pergi

Aku sudah sampai di kantor, lalu mengintip ruangan Dani, ternyata masih sepi. Beberapa map teronggok di atas meja. Aku mendekat untuk mengambil lalu mempelajarinya. Namun, ada sesuatu yang menyita perhatian di atas meja kerja Dani.

'Bukankah frame foto ini seharusnya ada di Dortmund?' tanyaku dalam hati.

Oh, ternyata Dani membawanya. Ada tiga buah foto. Aku dan Dani tersenyum gembira saat merayakan ulang tahunnya yang ke-26. Kue itu Kami buat berdua. Lucu juga ya, Dani ikut membuat kue, padahal Dia yang ulang tahun. Dani memasak semua makanan, aku hanya membantu hal-hal remeh. Ah, indahnya saat lempar tepung di dapur. Kenapa tanganku jadi ingin melempar tepung ke wajah seseorang ya? 

Ok, sudah cukup melamunnya. Sekarang waktunya buka map di atas meja, pelajari isinya. Aku duduk di kursi Dani. Wow, empuk! Nyaman duduk di sini. Pantas saja Steve dan Dani betah duduk. Kursinya enak. Aku tenggelam dalam pekerjaan di ruangan Dani hingga tak menyadari kedatangannya.

"Bos Kania sibuk?" tanya Dani menggodaku.

Aku yang sedang konsentrasi, terkejut.

"Dani, jangan ngagetin dong ah! Aku jadi lupa mau menekan tombol apa di keyboard," kataku sewot.

Dani tersenyum. Ia memerhatikan tampilan layar.

"Duduk, Dan. Kalau berdiri capek," kataku.

"Cowok berdiri itu sudah biasa," sahut Dani.

Aih cowok berdiri?! Hmm .., berdiri dalam arti yang sesungguhnya kan? Bukan tanda kutip. Fix, ternyata otak korslet itu menular.

Dani memberi arahan padaku tentang apa yang harus kulakukan saat Ia berada di Jepang. Do and dont's. Ada hal yang menyebalkan, jika bisa aku ingin menghapusnya dari schedule Dani. I hate meeting. Aku bicara di depan banyak orang. Ugh, sial! Mana jadwal meetingnya ada dua. Aku demam panggung.

"Aku percaya Kamu sanggup, Love," kata Dani mengakhiri arahannya.

Dani merogoh tas, sebuah buku agenda kini tergeletak di hadapanku. Jari tangannya membuka lembar demi lembar mencari sebuah halaman, lalu berhenti di sebuah lembar yang penuh dengan angka, Dani memintaku untuk mencatatnya.

"Kalau aku mati nanti, Kamu sudah tahu nomor pin kartu-kartu di dompetku," kata Dani sambil tersenyum.

"Aku enggak butuh itu, Dan. Aku ingin Kamu pulang, Kita bersama seperti sekarang," jawabku.

Dani tersenyum. Mata indahnya memandangiku, seolah merekamku dalam ingatannya.

"Steve akan menjagamu dengan baik, Love. Tugasku sudah selesai," kata Dani dengan suara bergetar.

Saat itu, terdengar suara ketukan di pintu.

"Masuk," kata Dani.

Seulas senyum dari bibir tipis Steve. Mereka berdua berpelukan dan mengobrol dalam bahasa Jerman. Sementara, aku bersiap-siap, membenahi laptop dan buku-buku, map yang bertebaran di meja kerja Dani. Aku harus mengantar Steve ke bandara. Besok Amanda berulang tahun. Sementara aku akan menyusul Steve besok setelah melepas Dani dan Ibu berangkat ke Jepang.

"Steve ...," kata Dani.

Aku dan Steve menatap Dani.

"Tolong jaga Kania ya. Titip Kania. Tugasku sudah selesai. Aku percaya Kania bahagia sama Kamu," kata Dani.

Dani berusaha keras untuk tak menangis tapi aku melihat matanya berair. Tangan Dani menepuk-nepuk bahu Steve. Sedangkan Steve tak dapat menahan tangisnya, Ia memeluk Dani.

"No, Kamu pasti sembuh, Dani. Kita jaga Kania bersama. No Dani, aku sepi. Tak ada teman bertengkar kalau Kamu pergi. So Kamu harus pulang. Aku butuh teman ribut. You know?!" balas Steve dengan suara bergetar.

Dani tersenyum mendengar jawaban Steve yang beraksen aneh.

"Malam ini aku tidur di rumah ibu, Kania. Nanti kita ketemu ya," balas Dani sebelum meninggalkan ruangan.

***

Di halaman parkir bandara, tengah hari.

"Please take this, Honey," kata Steve.

Dahiku berkerut saat tangan Om bule mengeluarkan amplop cokelat.

"Ini apa, Steve?" tanyaku bingung.

"Money, living cost selama Ibu di Jepang," kata Steve.

Aku memandangi Steve, rasanya terharu, Ia memberikan bantuan sebelum aku meminta. 

"Steve, jangan. Simpan saja uangmu. Aku dan Dani bisa pakai uang tabungan.

Namun, Steve menarik tanganku agar menerima uang dari genggamannya. Tanda-tanda Om bule tak ingin ditolak.

"No, we are family! I'm your husband, Kania. Kita jalani semua bersama," kata Steve mulai sedikit keras suaranya.

"O-ok .., makasih, Honey," jawabku sambil menerima amplop pemberian Steve daripada nanti ada bule teriak dan marah di parkir mobil bandara.

Kita berjalan beriringan menuju pintu bandara. 

"See you in Bali, Honey, love you," kata Steve sesampai di depan gerbang. Tangan berbulu itu memeluk pinggangku, bibir tipis Steve mencium kepalaku.

"Love you, Steve. My home, my everything," balasku.

Steve tersenyum, melangkah masuk lalu menghilang di balik tembok bandara.

***

Dani masih tidur ketika aku pulang dari bandara. 

"Kania, tolong bangunkan Dani, belum minum obat," pinta Ibu.

'Lah, kenapa harus aku? Bukankah Ibu bisa membangunkan Dani?' tanyaku dalam hati. Namun, aku mengalah, menuruti permintaan Ibu. Kakiku menuju ke kamar tamu, tempat di mana Dani tidur.

Kuamati wajah tampan Dani. Mata yang terpejam, wajah yang tenang. Begitu pulas Ia tertidur hingga lupa minum obat. Perlahan kuguncang bahunya.

"Dan .., Dani .., bangun. Minum obat," bisikku.

Tiga kali guncangan, mata Dani mengerjap. Sejenak, Ia mengamati sekelilingnya lalu melihatku.

"Eh Love .., sudah pulang?" tanya Dani.

"Barusan sampai rumah, Love. Minum obat dulu yuk. Untuk siang obatnya yang mana ya?" tanyaku.

Tanganku membuka tas obat milik Dani. Dani duduk dan bersandar di kepala tempat tidur, membantuku memilih obat yang harus Ia minum. Lebih dari tiga butir. Aih .., banyak juga. 

Dani menelan obat-obat itu dengan wajah datar.

"Ini Dan, air putihnya," kataku sambil memberikan segelas air.

Dani meneguknya sampai habis tak bersisa.

"Love, capek enggak?" tanya Dani.

"Enggak, kenapa? Mau ajak aku?" tanyaku.

Dani mengangguk. Mata teduhnya seperti memohon. Ah .., aku tak tega melihatnya.

"Antar aku ketemu Jojo, ingin pamitan sebelum  berangkat ke Jepang lagipula aku kangen sama anak kita, Love," kata Dani.

Deg! Hatiku seperti dipukul. Sesaat aku termangu. Sedih mendengar Dani bicara begitu tapi aku bisa apa selain mengangguk. Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.

***

Seikat bunga mawar putih segar diletakkan Dani di vas, menggantikan bunga yang kubeli kemarin. Lalu sejenak Kami berdua menunduk, berdoa untuk Jojo.

"Ini Ayah, Nak. Rindu sama Jojo. Jojo lagi apa di surga?" tanya Dani. Tangannya membersihkan nisan Jojo, lalu menciumnya.

"Jojo, maafin Ayah ya, enggak pernah nengok Jojo waktu di rumah sakit. Ayah enggak tahu kalau ada Jojo. Ayah sayang sama Jojo," ucap Dani. Air matanya sudah menganak sungai.

Kusentuh pundak Dani dan berbisik, "Love .., Jojo enggak suka lihat ayahnya yang ganteng menangis. Jangan buat anak Kita sedih ya."

Kami berdua sama-sama terdiam di makam Jojo. Hingga dering di gawai Dani memecah keheningan.

Aku masih duduk di tepi makam Jojo, menunggu Dani menjawab teleponnya. Mulutku mendendangkan lagu, ketika untuk pertama dan terakhir aku menggendong anak lelakiku. Lagu tidur sekaligus perpisahan karena setelah itu, Jojo terbaring di peti jenazah.

"Anak kantor mau ke rumah. Kita pulang yuk, temui Mereka," kata Dani.

Aku mengangguk.

"Jojo, Ayah dan Ibu pulang dulu ya Nak. Jadi anak manis di Surga, kebanggaan Ibu dan Ayah," ucap Dani sebelum berlalu dari makam Jojo yang membuat air mataku menetes.