Chereads / Cinta Om Bule / Chapter 35 - Tur Keliling Rumah

Chapter 35 - Tur Keliling Rumah

21+

Tanganku mengulurkan beberapa lembar foto Jojo yang tersimpan di agenda. Dani menerima dengan mata yang berkabut. Satu tangan Dani menarik tuas untuk menegakkan sandaran kursi di mobil.

Butir bening merangkak turun di pipi Dani tatkala melihat foto yang diambil beberapa jam sebelum Jojo meninggal.

"Boleh kusimpan foto Jagoan kecilku, Love?" tanya Dani.

Aku mengangguk. Foto-foto itu memang sengaja kuberikan untuk Dani.

"Dia tampan, Love. Matanya seperti milikmu tapi bentuk wajah, hidung, dan bibirnya seperti aku," kata Dani.

"Dia tampan, seperti ayahnya," ucapku.

"Kau dan aku .., Kita adalah orang tua Jojo, Kania. Rasanya ajaib di sini. Aku punya seorang anak laki-laki," kata Dani sambil menunjuk dada. Lalu matanya memandang ke luar seperti menerawang jauh.

Kuberanikan diri menggenggam tangan Dani. Ia menoleh ke arahku, perlahan tubuhnya beringsut memelukku.

"Maaf, aku membiarkanmu melewati hari-hari berat sendirian," ucap Dani.

"Enggak. Itu bukan kesalahanmu, Love. Aku yang enggak cerita tentang kehamilanku," jawabku.

Dani melepaskan pelukan. Kedua tangannya membelai wajahku lembut. Menghapus lelehan air mata di pipi.

"Jangan menangis, Love. Jojo pasti sedih jika melihat ibunya yang cantik sedang menangis," bisik Dani.

Aku mengangguk, menggenggam kedua tangan Dani. Ingin saling menguatkan bersama ayahnya Jojo.

"Love, aku antar pulang ke apartemen ya," kataku.

Dani mengangguk dan tersenyum.

***

Aku memeluk Ibu. Bercerita tentang Dani dan menangis dalam pelukan Beliau. Kami menangis bersama.

"Kania, boleh Ibu telepon Dani?" tanya Ibu.

Aku mengangguk dan menyerahkan gawai pada Ibu.

Mereka berbicara di telepon. Ibuku akan menemani Dani selama berada di Jepang. Aku terkejut tapi sekaligus senang. Setelah menutup telepon, aku memeluk Ibu dan mengucapkan terima kasih.

Ting!

Pesan cepat dari Om bule masuk.

[Where are you, Honey?]

[At home. Kenapa sih? Mau kasih surprise yang kemarin?]

Aku bertanya setengah menggoda Om bule.

Sepi, tak ada balasan. Tanda centang di pesan cepat belum berubah warna.

Aku membantu Ibu di kamar. Kulihat sebuah tas kopor besar sedang diisi pakaian. Dokumen sudah masuk ke dalam tas jinjing. Hanya tinggal menunggu tiket pesawat yang sedang diproses Dani.

Aku memeluk ibuku sekali lagi dan mengucapkan terima kasih. Ibu membalasnya dengan anggukan anggun. Paras ayunya seakan sedih mendengar cerita tentang Dani, kesayangan ibuku. Tak heran jika Beliau rela jauh-jauh menemani Dani berobat ke Jepang,  memakai uang tabungannya untuk membayar tiket pesawat pulang-pergi.

Dani sudah menolak uang dari ibuku tapi Beliau memaksa, alasannya kasihan jika Dani terus-terusan memakai uangnya padahal Ia butuh untuk biaya berobat.

Bel berbunyi, dengan malas aku menuju pintu, membukanya. Om bule muncul di hadapanku.

"Kania, I want to show you something," kata Om bule.

"Yuk masuk dulu, mau izin sama Ibu," kataku pada Om bule.

Steve menurut, menunggu di ruang tamu.

Aku masuk ke kamar Ibu, meminta izin.

"Bu, Steve mengajakku jalan-jalan. Mungkin aku pulang larut malam," kataku.

"Kania, Ibu boleh minta tolong enggak?" tanya Ibu.

"Antarkan Ibu ke apartemen Dani. Biar Ibu jaga Dani malam ini. Ibu enggak tega sama Dani," pinta Ibu dengan mata berkaca-kaca.

Aku mengangguk.

***

Mobil Steve memasuki sebuah halaman rumah yang luas. Kami turun dan berjalan ke pintu masuk. Steve menempelkan ibu jari pada alat pemindai. Pintu terbuka.

Sebuah rumah dengan sentuhan industrial. Dindingnya dibiarkan tanpa sentuhan cat, hanya semen berwarna abu-abu. Beberapa lampu sorot di sudut ruangan dengan arah yang dapat berubah dengan sentuhan jari di layar monitor.

Kesan macho terdapat pada tangga tanpa undakan untuk memudahkan Amanda naik dan turun dengan kursi roda. Tangga didesain landai agar aman bagi Amanda. Di sisi kanan dan kirinya dilengkapi dengan pegangan besi agar Amanda bisa berlatih berjalan. Cat warna hitam dan coklat mendominasi ornamen tangga.

Empat buah kamar di lantai atas, sebuah ruang keluarga beserta balkon menghadap taman belakang dan kolam renang.

Master bedroom di lantai satu, ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga, dapur dan mini bar menyatu menghadap kolam renang.

Sebuah lukisan abstrak berukuran nyaris sama dengan pintu didominasi warna merah, hitam, kuning menjadi center point di ruang tamu.

Aku berdiri sejenak di depan lukisan itu. Menikmati lekukakan, sapuan warna, dan waw ... baru kusadari, lukisan ini seperti identitas Steve.

"What do you think?" bisik Steve di telingaku.

Tangan berbulu Steve melingkar di pinggang. Bibir tipis Om bule langsung menggigit telingaku, seperti kebiasaan.

"Aku suka lukisannya, Honey. Selera kamu banget ini sih. Butuh berapa lama bikin lukisan segede ini?" tanyaku.

Steve tersenyum, "Satu setengah tahun," jawabnya dengan aksen.

Tur keliling rumah belum berakhir. Steve membopongku ke master bedroom. Jari pucatnya menekan satu tombol, papan kayu bergeser ke samping. Sebuah ruangan muncul di bagian kanan dan kiri terdapat koleksi dewasa. Uwow! Ingin rasanya aku berubah menjadi seorang model majalah dewasa lalu mencoba satu per satu koleksi Steve, dengan mengajak pemiliknya bermain.

Sebuah lukisan bertema erotika ada di bagian tengah ruangan.

Eh, ada meja besi. Aih .., sebuah ide hinggap di kepalaku. Kuambil sebuah borgol dengan kuncinya. Kulirik Om bule, hmm .., lagi sibuk memeriksa pendingin ruangan. Perlahan kuhampiri lalu kuborgol tangannya.

"Hey ...!" teriak Steve kaget sambil tertawa.

Aku terkikik senang.

"Maaf ... tapi aku sedang ingin bermain. Aku butuh teman, mau?" bisikku menggoda Om bule.

Steve mengangguk. Aku tersenyum.

"Good," bisikku.

Dengan beberapa gerakan kubuat Steve melayang dan memohon jangan berhenti. Napasnya mulai naik turun. Namun tiba-tiba .., lampu mati. Gelap! Kampret, nista durjana! Kenapa harus mati lampu di saat aku mau eksekusi?!

Aku dan Steve tertawa bersama. Enggak jadi praktek biologi. Bubar!

"Where is the key, Kania?" tanya Steve lembut.

Nah loh, gawat! Aku lupa tadi kuncinya di mana.

"Honey ... em, aku lupa kuncinya di mana," jawabku.

"Are you kidding me, Kania?" tanya Steve. Masih bisa tertawa.

Aku panik, beneran lupa. Mana sekarang mati lampu. Bisa ngomel nih Om bule. Dia belum pakai celana, gara-gara tangannya masih diborgol.

"Mana kuncinya, Kania?" tanya Om bule.

"Steve, kayaknya kuncinya hilang deh. Ma-maaf," kataku terbata.

"Kania, please. This is not funny!" Steve setengah marah.

Kunyalakan lampu flash dari gawai mencari keberadaan kunci. Dari mulai kolong, sofa, kasur, duh .., tetap nihil.

"Why are you so careless, Kania?!" Steve nge-gas.

Wah .., ngomel deh Om bule. Aku pun pasrah mendengarnya.

Steve ikut membantu mencari kunci borgol karena belum juga kutemukan. Mulut Steve tak berhenti ngomel hingga lampu menyala.

"Kamu harus tanggung jawab! Bantu saya!" Steve teriak.

Firasatku benar, tak lama kemudian terdengar ketukan di pintu. Aku dan Steve saling berpandangan.

"Tanganku ...," kata Steve.