Steve tersenyum, kedua tangannya terbuka lebar untuk kembali memelukku.
"Thank's, Honey for sharing. You are tough woman. I know it's not easy to get through," kata Steve.
Tangannya menepuk lembut bahu dan punggungku. Membiarkan kepala ini menempel di dadanya. Udara malam tak terasa dingin di dalam pelukan Steve. Semua itu kalah dengan perasaan lega luar biasa di hati, seperti sudah membayar sebuah utang.
Om bule mencium kepalaku. Kedua tangan berbulu itu membopong tubuh mungilku kembali ke kamar. Aku terkikik.
"Ih apaan sih Honey, turunin nggak?!" ancamku manja.
"Nope," jawab Steve tertawa senang.
"Aku mau gosok gigi terus tidur. Besok bangun pagi mau cari oleh-oleh. Turunin, Bambang! Mau ke kamar mandi," kataku.
"Ok," jawab Om bule, membopongku ke kamar mandi.
Memang iseng nih Om bule. Saat aku menggosok gigi, Steve ikut gosok gigi. Giliran aku membersihkan wajah, tangan jahilnya membuka kotak skincare dan menanyakan kegunaan produk satu persatu. Aku lebih mirip sales skincare dibandingkan seorang tunangan, menjelaskan kegunaan produk pada bule setengah tua.
"Honey, aku mau facial pakai ini," kata Om bule tiba-tiba.
"What?! Ini buat cewek, Steve. Aduh jangan ngaco deh," protesku setengah terkejut.
"Muka aku kotor. Mau kasih bersih, minta Kania," jawab Steve nekad.
Tangan berbulu itu memencet tube foam pembersih wajah, memberi sedikit air, lalu mengusap di wajahnya hingga berbusa. Setelah puas bermain busa di wajah, Om bule membilas dengan air.
"Fresh," kata Steve.
"Nanti kalau Honey jerawatan gara-gara enggak cocok sama kosmetiknya, bukan salah aku loh ya," kataku bercampur geli.
"Well, ok," jawab Steve tertawa.
Ia keluar kamar mandi, naik ke kasur bersiap tidur. Sementara aku berganti kimono.
Di atas kasur, kubuka diary. Aku rindu pada Jojo. Sudah bertahun-tahun kusimpan cerita ini, setelah bercerita jujur pada Om bule kerinduan itu kembali datang.
"He has got your eyes," bisik Steve di telingaku.
Kupikir Om bule sudah terlelap. Ternyata diam-diam matanya melirik foto Jojo. Bahkan Om bule mengambil alih diaryku agar puas melihat-lihat foto Jojo.
"He is handsome, Kania. Looks like Dani," kata Steve tersenyum.
Aku mengangguk.
"I miss him, Steve. I miss my Jojo so bad," jawabku.
"Come on," kata Steve, merengkuhku dalam pelukannya.
Mencium kepalaku. Diam, hening, membiarkan kita berdua saling berpelukan, merasakan kebersamaan sekaligus kehangatan yang nyata. Om bule sangat pintar membuatku nyaman.
"You are not alone. You have me now. Not only me, Amanda, Ibu. You have us, Honey," kata Om bule meyakinkan.
Aku mengangguk.
"You are my home, Steve. Tempatku kembali pulang, melepas lelah, dan mengadu apa pun itu," kataku lirih dalam pelukan Om bule.
Om bule tersenyum manis. Matanya begitu teduh, menenangkan.
"Kania, may I borrow your diary? I want to read it, please," pinta Steve
"Ok tapi abis ini aku bobok ya. Enggak bisa nemenin Honey baca. Ngantuk, Honey," kataku.
Steve mengangguk. Kedua tangan berbulu itu menarik bedcover untuk menutupi tubuhku.
"Good night, Kania. My one, my everything. Love you," kata Steve lalu mengecup bibirku.
"Night, Honey. Love you too my home, my all," balasku manja.
Aku terlelap hingga keesokan hari.
***
Dengan mata masih terpejam kuraba keberadaan Om bule di sampingku.
'Loh, kok enggak ada?!' kataku dalam hati setengah kaget.
Kubuka mata. Memang benar, Steve sudah tak berada di samping kasur. Pintu menuju balkon terbuka. Matahari baru saja muncul.
'Hmm, Om bule pasti di balkon. Dia suka pemandangan matahari terbit. Intip ah, lagi ngapain di balkon,' kataku dalam hati.
Mataku melebar melihat pemandangan yang tersaji. Om bule latihan gerakan bela diri. Entah apa namanya.
Mata Om bule terpejam. Tangannya seperti bergerak bersama angin lalu tiba-tiba berubah jadi tegas dan bertenaga disertai teriakan dari bibirnya.
"Hah!" teriak Om bule.
"Jangan!" jeritku, takut terkena sasaran pukul Om bule. Tangan Om bule hampir saja mampir ke wajahku.
Saat itu Steve membuka mata, terkejut.
"How long have you stood there?" tanya Steve.
"Udah lumayan lama sih. Ya udah, terusin latihannya, aku mau mandi terus cari oleh-oleh," kataku sambil tersenyum manis.
Steve mengangguk dan kembali latihan. Aku masuk ke dalam kamar. Eh, apa itu, di atas meja kerja? Ada tiga buah kertas menyerupai rumah-rumahan.
Setelah mendekat, baru kuketahui jika itu sebuah surat yang sengaja dilipat menyerupai bentuk rumah. Steve memang jago kalau membuat seperti ini.
Atap pertama bertuliskan Kania, atap kedua Jojo, atap ketiga Steve. Dengan hati-hati kubuka yang bertuliskan Kania.
Kania, I saw the best and worst in you and I'm willing to stay. Relationship, love, and it becomes responsibility. What we have, makes us complement each other. Both, live life. I don't promise anything perfect but let me try it for our long journey together, until death comes. I love you.
Your lover- Steve Bergmann
Wow ...! Hatiku menghangat. Pagi-pagi baca tulisan dari Om bule bikin klepek-klepek. Ya ampun, aku melayang. Sumpah, beneran nih Om bule buat aku baper!
Ok, sekarang saatnya memilih rumah kedua. Yang mana dulu ya? Atap yang bertuliskan Steve atau Jojo ya? Ah, Jojo dulu deh.
Jojo, I'm asking your permission to marry your mom. She is the second strong woman I have known in life. If you ask who was first, I will definitely answer my mom.
Please call me dad, if you intend to stop by in my dreams. Love you Jojo.
Love, cuddle, kiss
Your Dad-Steve Bergmann
Aku tergelak membaca tulisan Steve. Ih, lucu dan menyentuh secara bersamaan. Ternyata ada bakat lain di balik kebiasaannya marah sambil teriak.
Ok, bentuk rumah ketiga. Last but not least. Nulis apa nih Om bule untuk dirinya sendiri. Kenapa jadi deg-degan ya pas buka?
Since knowing her, I don't want to walk alone. She is the strong woman to stand beside me. I'm lucky to have Kania. Breath, life, and for every embrace of love I send it's never enough. I'm always thirsty when it's about Kania, my woman. Then I realized, I love her.
Uwow! Aku mabuk. Seseorang tolonglah diriku. Mungkin setelah ini aku terkena diabetes juga. So sweet ...!
Balik ke rencana awal, aku harus mandi. Sudah cukup mabuknya. Bisa digebukin sama anak kantor kalau pulang tanpa oleh-oleh. Daftar permintaan oleh-oleh sudah dikirim lewat pesan cepat. Enggak ada alasan, harus beli oleh-oleh.
Aku baru saja selesai memoles lipstick warna nude ketika gawaiku berbunyi. Pesan cepat dari Dani.
[Mobilmu sudah jadi. Mau diantar ke rumah atau ke kantor?]
Eh, sudah jadi?! Cepat juga. Loh kok diantar ke rumah atau ke kantor sih? Kan aku belum bayar.
[Aku belum bayar. Kenapa mobil bisa keluar dari bengkel?]
[Kania, apa Kamu masih menganggapku orang lain? Kamu berhak untuk setiap dollar yang kuhasilkan.]
What's going on? Kenapa para pria yang dekat denganku begitu manis hari ini?
[Kamu sudah punya Sylvia, Dani. Tolonglah hargai perasaannya.]
Jawaban Dani membuatku serasa kembali menjadi kekasihnya.
[Sylvia ada ketika hidupku sudah nyaman, Kania. Kamu adalah perempuan yang berjuang bersamaku. Aku tahu, Bergmann memberimu segalanya. Terserah! Aku akan tetap memprioritaskan wanita yang mencintaiku ketika aku bukan siapa-siapa.]
Ampun Dj! Apakah ini bentuk ujian lain dari Om bule? Hmm .., mending kutanya langsung sama orangnya. Kebetulan Om bule sedang duduk di sofa, istirahat setelah latihan.
"Did you test me, Steve?" tanyaku.
Dahi Steve mengernyit, menatapku sesaat dengan bingung.
"No. Why you asking me that?" Steve balik bertanya.
"Nih baca," kataku sambil menyerahkan gawai.
Mata coklat itu menatap layar gawai. Hening sesaat. Bibir tipisnya mencebik, mimik wajah berubah. Sepertinya gejala cemburu mulai merayapi Om bule. Tak lama kemudian, tangan pucat Om bule meraih gawai, menelepon Dani.