Yang namanya ujian itu, nggak ada yang bikin senang. Bikin stres? Oh, sudah jelas! Seperti diriku yang terlihat kusut, lecek, awut-awutan di dalam hall hotel yang disulap menjadi ruang tes.
Empat jam bertarung di hari pertama lalu dilanjut mengerjakan tugas kantor di kamar hotel. Durjana! Sudah jauh-jauh ke Singapura, hari ini aku belum bisa keluyuran ke Universal Studio. Padahal khayalanku sudah melayang ke mana-mana. Mulai dari selfie, shopping, naik wahana, dan tentu saja pamer pada Dion, Beck, Dani, dan Om bule.
Pekerjaan kantor banyak sekali. Kampret! Dani itu, diam-diam berbakat nyiksa anak buah. Mentang-mentang sebentar lagi aku menggantikan tugasnya, eh Dia kirim file kerjaan untuk dipelajari. Tiap aku mengeluh pasti dibalas begini, "Jangan banyak mengeluh, nanti Kamu nggak berkembang."
Hih! Awas saja kalau sampai gajiku nggak naik bulan depan.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam waktu Singapura. Hatiku sudah melompat senang. Jam operasional kantor di Jakarta sudah selesai. Aku bersiap mandi. Namun tiba-tiba, Dani melakukan panggilan video call.
'Bos durjana!' teriakku dalam hati. Segera kugeser lambang kamera ke atas.
Tawa Dani meledak ketika melihatku di layar gawai.
"Ya ampun, Kania! Tumben kucel banget," kata Dani sambil terkekeh.
"Bawel! Cepetan ngomong, aku mau mandi nih. Udah gatel pengen naik wahana di Universal," sahutku kesal.
"Nggak! Aku cuma pengen lihat tampilan Kamu hari ini. Dari tadi kamu marah-marah terus soalnya. Kenapa sih? Lagi dapet?" tanya Dani setengah menggoda.
"Hih, ngerti nggak sih perasaanku?!" teriakku protes yang disambut tawa Dani dengan suara lebih keras.
"Eh Kania, Steve Bregmann hari ini nekad nyusul kamu tuh. Udah jangan marah, bentar lagi pacarmu sampai. Bye, Kania," kata Dani. Sambungan terputus.
Wah, Om bule dateng hari ini? Asyik, aku nggak perlu bobok sendirian lagi. Bobok sendirian itu nggak enak. Apalagi musim hujan begini. Mau ngapain coba, di balik selimut sendirian?! Serba salah.
Air shower memanjakan tubuh dan kulitku. Relaks, semua capek seakan hanyut tersiram air. Berdiri di bawah guyuran shower sampe puas dan setelah itu kubungkus tubuhku dengan handuk.
Duh .., baju apa ya yang cocok? Belum sempat memutuskan pakai baju apa, suara ketukan terdengar di pintu. Segera kusambar gaun mini dengan potongan punggung terbuka. Sekali lagi kupandangi pantulan diri di cermin. 'Ah beres,' kataku dalam hati.
Setengah berlari membuka pintu kamar. Steve berdiri di hadapanku dengan tatapan mata yang kurindukan. Senyum di bibir tipisnya mengembang ketika memeluk tubuhku.
"Take me in, Honey," bisik Steve di telingaku.
Aku mengangguk. Dengan satu tangan, kutarik dasinya. Steve mengikuti ke dalam kamar, bibir tipisnya tersungging senyuman nakal.
"Honey, kok datengnya Selasa bukan Rabu?" tanyaku.
"I can't wait until Wednesday, Honey," jawab Steve.
Gila, mantap nih jawaban Om bule. Bikin aku melayang. Ternyata Steve kabur ke Singapura hanya untuk menyusulku. Jam dua siang keluar dari kantor berangkat ke bandara.
Bagi Om bule, kerja itu bisa dari mana saja selama ada sambungan internet. Lagipula big bos Steve di tempat kerja yang baru, monitor dari Denpasar. Jadi ya nggak stay di kantor Jakarta. Dari cerita Steve sih, orangnya asyik.
"Kania ...," panggil Steve.
"Ya Honey," bisikku lirih.
"I want you," kata Steve, di tengah napasnya yang mulai liar, menyapa kulit wajah dan leherku.
"Pulang kerja itu mandi, Bambang! Bukan langsung tancap gas sama pacar," jawabku.
"Mandiin," kata Steve dengan aksen lucu.
Kita berdua tergelak. Sebelum berlari ke kamar mandi, Om bule iseng mengacak rambutku.
"Ih Bambang, buruan mandi!" teriakku manja.
Steve tertawa senang berhasil menggodaku.
Ting!
Gawai Steve bergetar.
"Kania, please open it," kata Steve dari kamar mandi.
"Ok," jawabku.
Kubuka email Om bule. Deg! Aku sakit hati tatkala membaca email laporan banking milik Om bule. Pemberitahuan transfer masuk dari Richard Adinata senilai sepuluh juta rupiah. Di dalam bukti transfer tertulis kata 'taruhan'. Oh itu belum seberapa. Subjek email yang ditulis Rich sangat menohok, 'Lost bet of Kania.'
Aku terdiam di sofa, menunggu Om bule selesai mandi. Butiran bening merangkak turun di pipi. Setelah semua kebersamaan yang Kami bangun ternyata Steve menjadikanku sebagai bahan taruhan. Keterlaluan!
Lima menit kemudian, Steve keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitkan ke pinggang. Senyum Om bule lenyap melihatku menangis di sofa.
"What's wrong, Honey?" tanyanya lembut.
Steve berjongkok di hadapanku. Tangannya menghapus butiran air mataku yang menuruni pipi.
"Nih, baca," kataku sambil menyodorkan gawai milik Steve.
Air muka Om bule berubah seketika. Perlahan, Ia melirik ke arahku.
"Look Kania, I am sorry. I am really sorry," kata Steve.
Beberapa kali matanya terpejam, mungkin menyesal. Steve masih berjongkok di hadapanku.
"Setelah kebersamaan kita, Steve? Ternyata aku cuma barang taruhanmu?"
tanyaku mulai terisak.
"Kania ... Kania ... Honey please. Please listen to me," kata Steve mengiba.
"Where is the trust between us, Honey?! Buat apa hubungan ini diterusin kalau ternyata Kamu nggak percaya sama aku?" kataku emosional.
"I can explain, Kania. Please, Honey. Dengerin dulu, Kania," kata Steve memohon.
Kutangkupkan kedua tanganku di wajah, menangis sepuasnya. Steve merengkuhku dalam pelukannya tapi kutolak.
"Mau ngomong apalagi?! Udah jelas semua! Kita putus," kataku sambil menjauhkan diri dari Om bule.
"No, Kania! Oh my gosh, aku tidak mau putus, Kania. I love you!" teriak Steve, wajahnya terlihat panik.
Aku terdiam, malas menanggapi Steve. Kulepas gaun mini, berganti dengan pakaian yang lebih pantas. Gawai, dompet, dan paspor sudah masuk ke dalam tas.
"Aku mau cari udara segar, Steve," kataku.
Tanganku kananku membawa tas ransel.
Steve menarik tubuh dan memelukku.
"Please Kania. I love you. Kita akan menikah, Honey. Don't leave me," kata Steve kian mengiba.
Perlahan, kudorong tubuh Steve agar terlepas dari pelukannya.
"Aku butuh waktu sendiri, Honey. Tolong lepas pelukanmu," kataku.
Steve melepaskan pelukannya. Tangannya menyambar gawai, dompet, dan paspor kemudian dimasukkan ke dalam tas ransel miliknya lalu Steve mengekor di belakangku.
Malam itu, untuk pertama kalinya aku dan Om bule bertengkar, setelah sekian lama pacaran. Kita berdua menyusuri jalan yang sama tapi saling diam. Duduk berhadapan di restoran dalam diam. Duduk di bangku taman tanpa bicara.
Aku dan Om bule tidur di kasur yang sama. Kami saling membelakangi. Air mataku kembali tumpah. Tubuh Steve beringsut mendekat ketika mendengar isak tangisku.
Steve duduk di samping tubuhku yang terbaring.
"Please don't cry, Honey. Trust me, i do regret it. I apologize to you," bisik Steve di telingaku.
Tangannya membelai rambut dan pipiku. Aku masih malas bicara, posisi badan masih membelakangi Om bule.
"Look, We promise not to leave each other, no matter what, right?! So, Kania boleh marah, boleh teriak, boleh kesal sama aku tapi please Honey, kita saling memiliki dan terikat satu sama lain," kata Steve. Ia bicara perlahan karena menggunakan bahasa Indonesia. Itu kebiasaan Steve.
Steve membungkukkan badan, mendekatkan bibir tipisnya ke pipiku lalu memberikan kecupan selamat tidur. Aku hanya menutup mata tanpa membalas apa pun.
"Good night, Honey. Have a nice dream. Love you," kata Steve.
Beberapa menit kemudian, kudengar dengkuran halus di belakang tubuhku. Perlahan aku menoleh, Steve sudah tertidur. Aku beringsut mendekat untuk memandangi wajahnya sesaat. Menikmati keindahan Steve Bregmann dalam diam.
'Ok, sudah cukup memandang Om bule. Bisa kalah gengsi kalau sampai ketahuan, kan aku lagi marah sama Steve. Harus pasang gengsi setinggi langit,' kataku pada diri sendiri.
Kembali kupunggungi Steve, sebentar kemudian, aku terbang ke alam mimpi.