Jam dua pagi, kutekuni diktat yang mengaduk-aduk emosi. Gila! Siapa sih yang menyusun diktat seperti ini?! Sudah pakai bahasa asing, contohnya bikin pusing. Beberapa kali kucoba praktek di laptop hasilnya beda. Nista durjana!
Ok, cukup sudah. Aku muak. Butuh pelampiasan. Tengok kanan, kiri, mencari bahan pelampiasan. Akhirnya kuambil bantal tidurku lalu aku bergumam sendiri, "Hih ... hih ... rasakan! I am not Edward Snowden!" Lengkap dengan tinju berkali-kali yang sengaja kuarahkan pada bantal.
Om bule terbangun dan tertegun memandangi keadaan. Laptop, buku diktat, kertas corat-coret, alat tulis, berserakan di atas kasur. Tanpa bicara, Om bule duduk di kasur, menyalakan lampu baca di sisi tempat tidur.
Laptop, buku diktat, kertas corat-coret berpindah ke tangan Steve. Sejenak Steve membaca diktat yang sempat membuatku murka, lalu memberi coretan kecil. Perlahan aku kembali naik di atas kasur tapi hanya berani melirik Om bule tanpa mengajak bicara.
Beberapa saat kemudian Steve mengembalikan laptop, diktat, kertas dalam diam. Mata kami sempat bersirobok tapi tanpa senyuman. Ah sial! Kenapa jadi seperti ini sih keadaannya?! Om bule jadi ikut diam. Haruskah aku mengalah, mengajaknya bicara lebih dulu? No way! Yang bikin masalah Steve, kenapa jadi aku yang harus ngalah?
Jujur, aku tersiksa tak bisa mengucapkan terima kasih pada Steve. Ia memberikan catatan koreksi di atas kertas, menerjemahkan instruksi di halaman buku yang sedang kupelajari. Membuat semua menjadi lebih mudah sekarang. Setidaknya aku menjadi lebih mengerti apa yang ada di hadapanku. Sayangnya, aku belum rela mengalah dan mengucapkan, "Thank's, Honey."
Om bule kembali memunggungiku. Tanpa ciuman, sentuhan, atau kejahilan lainnya yang kurindukan. Ough .., haruskah sesepi ini? Mana tahan! Satu kamar hotel, satu kasur, tanpa bercinta. Lalu apa gunanya, Bambang?!
Kupandangi kulit punggungnya yang pucat. Kalau saja aku dan Steve tidak sedang bertengkar akan kususuri tubuhnya dengan lidahku, oh mungkin juga dengan tanganku. Lebih asyik jika tangan dan lidahku kolaborasi. Argh ...!
Aku merindukanmu, Honey. Bau parfum di tubuhmu, kulit kita yang saling bergesekan, merasakan lidahmu menjelajahi mulutku, atau hidung mancungmu yang gemar berkeliaran menyusuri leher jenjangku. Di mana semua itu sekarang?!
Sementara lelaki yang kurindukan sudah lelap dalam tidurnya. Mendengkur keras. Oh .., come on!
***
Astaga, jam berapa ini?! Bisa-bisanya aku tertidur ketika sedang belajar. Aku melompat dan berlari ke kamar mandi. Cuci muka, sikat gigi, dan membilas tubuhku seadanya.
Kacau sekali hidupku. Mana belum sempat sarapan. Sebentar lagi jam sepuluh. Aku harus kembali ke hall sialan untuk mengikuti tes.
"Sebentar?!" teriakku.
Terdengar ketukan di pintu kamar. Aku kesal karena sedang terburu-buru. Dengan kasar, kubuka pintu. Steve ada di hadapanku, tangan kanannya membawa paper bag. Tanpa basa-basi Steve menerobos masuk, melewatiku yang berdiri di pintu.
Paper bag diletakkan di meja kerja begitu saja. Eh, apa itu?! Pandanganku tertuju pada kertas kuning di atas meja, lengkap dengan tulisan Steve yang rapi.
'Good morning, Kania. Hope you enjoy the breakfast. Love you.'
Pada bagian bawah kertas tertulis, 'Your lovely lover, Steve.'
Ugh Bambang .., paling bisa deh bikin aku klepek-klepek. Moodku membaik tatkala kukunyah roti panggang srikaya dan segelas cokelat dingin. Steve membelikan sarapan untukku. Romantisnya Om bule.
Selesai sarapan, kusambar laptop, diktat, dan semua perlengkapan tes. Memakai sepatu sambil setengah berlari di lorong hotel. Mengejar lift agar sampai di hall tepat waktu.
"Wait ... wait!" teriakku pada pengawas tes saat hendak menutup pintu ruang tes. Beruntung aku masih diperbolehkan masuk dan ikut tes di hari kedua.
Tes masih tetap sama dengan durasi empat jam. Stres? Ya sedikit. Aku berhutang pada Steve, materi yang diterjemahkannya tadi pagi, muncul di hadapanku.
Kuangkat tangan untuk memberi tanda pada pengawas. "Already done," kataku pada pengawas yang mendekat. Sejenak pengawas itu memandangiku.
"Ok, follow me," kata pengawas itu kemudian.
Sebuah ruangan berukuran 4x6. Di hadapanku ada layar besar yang menampilkan beberapa gambar gedung dengan lampu yang menyala. Tugasku adalah mematikan nyala lampu gedung sesuai dengan instruksi yang diberikan. Jika tes ini dapat kulalui, maka besok aku tak perlu datang untuk mengikuti tes di hari terakhir, aku langsung dinyatakan lolos melenggang, menempati satu kursi tes di Dubai. Aih ... keren!
"Are you ready?" tanya seorang pengawas di sampingku.
Aku mengangguk.
"Go," kata pengawas.
Mesin penghitung waktu bekerja otomatis. Sebenarnya, aku tak tahu apa kegunaan tes ini. Sepanjang sejarah pekerjaan, tak pernah ada perintah mematikan lampu gedung. Ah, biarlah terserah! Yang penting aku enjoy mengerjakannya.
Tes ini lebih mirip sebuah game. Tiap aku berhasil menyelesaikan tantangan maka tampilan layar berubah. Menyenangkan sekali. Beberapa kali aku berteriak sendiri di dalam ruang yang membuat para pengawas tersenyum dengan tingkahku.
"Go get 'em, Tiger!" teriak seorang pengawas memberi semangat.
Kali ini di layar menampilkan gambar seorang pria lengkap dengan pakaiannya. Setiap jawabanku benar, maka pakaian yang dikenakan akan berganti warna. Total keseluruhan akan ada tujuh tingkat warna.
Berdasarkan cerita seorang pengawas, tiga tahun yang lalu, ada seorang peserta tes yang sanggup mengganti warna hingga tingkat kelima dan Dia bernama Dani Wibisono.
'Damn! Mantanku ternyata ok juga,' kataku dalam hati.
"Ready?" tanya pengawas.
Aku mengangguk.
Segera kukerjakan mainan ini. Teriakan di ruangan tes makin riuh terdengar tatkala tantangan kelima sudah kulalui.
"You will rock this test, young lady!" teriak seorang pengawas di belakangku.
Jariku makin bekerja cepat, hingga akhirnya aku menjerit, "Done! Yes, seven!"
Air mataku merangkak turun tak percaya rasanya, tes di hari kedua begitu menyenangkan. Akhirnya setelah sekian lama kucaci maki tiap ada tes, baru hari ini kurasakan kesenangan di dalamnya.
Suara tepuk tangan bergemuruh di ruangan. Sudah ada lima pengawas pria yang berdiri di belakangku bergantian memberikan ucapan selamat.
"That's called natural talent, Young lady. Where You from?" tanya kepala pengawas.
"Jakarta, Indonesia, Sir," jawabku.
"Oh. Dani Wibisono, right?!" kata kepala pengawas.
"Right. He is my boss now, after Mr. Steve Bregmann resign," jawabku.
Sejenak kepala pengawas manggut-manggut.
"Congrats Ms. Kania Wisnu Brata. Enjoy your day," kata pengawas itu di akhir perbincangan.
"Thank you, Sir," jawabku.
Secepat kilat kembali ke kamar karena sudah tak sabar menyelesaikan siksaan dari Dani.
***
Sepuluh menit berlalu di kamar. Sepi, sunyi, hanya suara jari yang beradu dengan keyboard laptop. Kami masih saling diam, sibuk menghadapi laptop masing-masing.
Gawaiku berbunyi, lagi-lagi Dani melakukan panggilan video call.
"Kania, wow keren! Congrats ya! Aku barusan dapet telepon dari kepala pengawas. You're incredible!" teriak Dani senang
"Makasih Dan," jawabku santai
"Lho, kok cuma gitu sih?! Kamu tuh dari kemarin bad mood terus. Kenapa? Eh Steve mana? Kalau ada Steve, mending aku ngomong sama dia deh," kata Dani.
Segera kuberikan gawai pada Om bule. Sesaat kemudian, kamar hotelku berubah bak kelas bahasa Jerman. Namun, Steve tiba-tiba menyingkir ke balkon. Sepertinya dia sengaja. Terserahlah, pembicaraan sesama laki-laki mungkin.
Semua email sudah kujawab. Rasanya aku butuh penyegaran. Sebentar kemudian, aku sudah berada di bath-up bersama busa sabun yang melimpah. Sayangnya, aku tak bisa mendengarkan musik, gawaiku sedang dipakai. Mau pinjam gawai Om bule, takut masuk ke air. Nggak kuat ganti kalau ada apa-apa. Bisa nggak gajian, kalau sampai gawai Steve rusak.
Pintu toilet terbuka, Steve berdiri di sana, memandangiku. 'Oh, ternyata sudah selesai video call dengan Dani. Ayolah Steve, bukankah Kau menginginkanku?' kataku dalam hati.
Jari Steve mulai membuka kancing kemejanya satu per satu. Setelah terlepas semua, kemeja itu dibiarkan tergeletak di lantai kamar mandi. Ia melakukan hal yang sama untuk semua yang menempel di tubuhnya.
Aku diam, menikmati pemandangan itu dari bath-up. Menikmati bagaimana seorang Steve Bregmann menelanjangi dirinya sendiri. Perlahan Ia menghampiri diriku.
"May I join you?" tanya Steve lembut, sorot matanya seperti penuh harap.
"With one conditions," jawabku dengan menggoda.
Entah bagaimana wajahku, sudah lama aku tak menggoda laki-laki. Siang ini, hormon di tubuhku menginginkan Steve Bregmann. Rasanya sangat bergairah. Persetan soal taruhan. I want him!
"What?" tanya Steve setengah berbisik di depan wajahku.
"Where is the wine? The party get started, Honey," jawabku.
"O-ok," jawab Steve tergagap.
Om bule mengambil sebotol anggur di minibar. Lalu bergabung denganku di bath-up.