'Am I a b*tch? Whatever!' Kalimat itu seperti begitu saja melintas di kepalaku, setelah beberapa tahun terkubur dan menjadi rahasia besar. Well, bukan hanya untukku tapi juga Dani.
'Stop it!' bentakku pada diri sendiri. Kenapa ... kenapa otakku menampilkan sesuatu yang menyiksa? Ingatan pada malam terkutuk itu. Malam yang menghancurkan aku dan Dani.
Seperti puzzle, potongan-potongan gambar mulai tampil satu persatu dalam otakku. Andai saja kepalaku itu transparan, mungkin Om bule akan berhenti menyentuh tubuhku jika melihat potongan-potongan gambar itu.
'What an ironic!' kataku pada diri sendiri. Om bule sedang menikmati setiap jengkal tubuhku dalam bath-up. Namun otakku entah di mana.
Aku dan Steve bergerak bersama tapi aku mati rasa. Harusnya aku sudah berteriak memanggil namanya berulang-ulang tanpa kesadaran. Nyatanya, itu tidak terjadi. Justru aku merasakan siksaan persis seperti malam saat aku dan Dani bercinta untuk terakhir kalinya. Pada malam Dani mabuk berat karena siksaan batin yang tak kuat ditanggungnya sendiri. Malam yang membuatku menangis tanpa ada yang menghapus air mata. Malam yang menyakitkan karena akhirnya Dani jujur tentang apa yang Ia rasakan. Malam yang disesali Dani dalam hidupnya karena esok saat Ia membuka mata, pesawatku sudah tinggal landas. Meninggalkan Dani, pernikahanku yang tinggal dua belas hari, dan semua cerita cinta yang pernah ada.
Ingin rasanya kuteriak, 'Adilkah ini untuk Steve!' Seseorang yang sama sekali tak mengetahui tentangku. Kenapa rasa bersalah ini bergelayut bersamaan dengan erangan nikmat Steve Bergmann dalam pelukanku? Sementara aku hanya tersenyum memandangi kulitnya yang lebih kemerahan, desah napas memburu perlahan kembali normal, serta mendengarkan irama jantung yang memompa lebih cepat dari biasanya lalu kembali seperti semula.
Tak pantaskah aku mendapat sedikit kesenangan? Oh come on, aku sudah bertarung dengan masa laluku sendiri. Masa lalu yang tak ingin dimiliki oleh calon pengantin wanita di belahan bumi mana pun. Bertahun-tahun kubangun keyakinan di atas luka dan kehilangan. Berlatih mengangkat kepala dan merasa layak untuk sebuah hidup yang lebih baik.
"What you thinking about, Honey?" tanya Steve.
"No, nothing," kataku mencoba berbohong.
"Share with me, please," kata Om bule lembut sambil memelukku di bath-up.
Aku hanya tersenyum. Ngeri membayangkan jika aku benar-benar mengaku pada bule di depan mataku ini. Sayangnya, aku tak pandai berbohong. Kabar buruknya, Steve sangat terlatih untuk membaca seseorang berbohong atau tidak.
"I'll clean my self," kataku sambil melepas pelukan Steve lalu buru-buru ke shower membersihkan busa sabun. Aku hanya berani melirik Om bule melalui ekor mata. Untuk menatapnya secara langsung, jelas tak sanggup!
Steve memandangiku dari bath-up tanpa bicara. Aku segera membalikkan badan pura-pura sibuk membersihkan sisa sabun. Perang di hati dan otakku semakin ramai. Tanpa aku ingin memilih tawaran yang timbul di sana.
Kusambar kimono handuk dan sebotol anggur sisa lalu meninggalkan Steve sendirian disana.
'I am sorry, Honey,' kataku di dalam hati.
Seteguk anggur, sebelum aku melangkah ke pintu keluar mencari udara segar. Om bule baru keluar dari toilet, buru-buru berkata, "Not without me, Honey."
"Cuma sebentar, cari donat di sekitar hotel. Nanti aku bawain kok, tenang aja," jawabku memaksakan senyum.
"Not without me. How many times do I have to tell you, Sweetheart?" tanya Steve.
Wah, kalau sudah nada begini, mendingan aku ngalah deh. Kalau nekad, Om bule bakal teriak dan aku belum mau membuat kekacauan di senja ini.
***
Om bule menepati janjinya, pacaran di negara orang. Bahkan rasanya seperti honeymoon. Steve menggandeng, memeluk, dan ketika jahilnya kumat, Ia menggendongku. Untuk sementara aku lupa kegundahanku, melayang dengan sikap manis Om bule. Terlebih ketika Ia mengakui kesalahannya kemarin dan meminta maaf dengan tulus. Menjelaskan semua masalahnya sambil memelukku.Oh romantisnya.
Namun, di kedai donat, kegundahan seperti meledekku.
'Steve sudah jujur tuh, giliranmu, Kania,' kata hatiku.
Kampret! Rasanya tak rela diledek oleh diri sendiri walaupun memang benar, aku harus jujur. Biar Steve yang memutuskan nanti.
"Kamu sedang mikir apa, Kania Bergmann?" bisik Steve di sampingku.
"Dih, manggilnya Kania Bergmann. Kapan nikahnya Bambang?" tanyaku pura-pura ceria.
Steve memandang ke dalam mataku. Aku kembali tertunduk.
"What a fake smile," jawab Steve masih terus memandangiku.
Gotcha! Gini nih kalau ngomong sama orang yang ngerti kita. Sudah pura-pura bahagia, masih juga ketahuan. Nista durjana, aku memang tak bisa bohong! Mulai dari jaman Dani sampai jaman Steve, aku masih saja belum lihai bohong.
Aku diam, menunduk, garuk-garuk kepala yang tak gatal. Dalam hati merana, tuntutan untuk jujur harus dieksekusi malam ini juga. Sanggup nggak ya?
"Share it, Kania. Cerita dong. Setelah semua yang kita lakukan tadi. No secret between us, Honey. No more. Ikatan Kita lebih kuat sekarang," kata Steve.
"Sekuat apa, Steve?" tanyaku.
Hatiku seperti diaduk-aduk mendengar Steve bicara seperti itu. Bukankah saat itu aku dan Dani jauh lebih kuat? Akhirnya, kandas juga! Gimana dengan aku dan Om bule yang baru berjalan beberapa bulan? Sekuat apa Steve menerima kenyataan ini.
Terlepas dari itu semua, Steve harus mengetahui siapa yang berdiri di sampingnya. Dia berhak mengetahui semuanya. Terserah jika pada akhirnya Steve mundur dari pernikahan ini. Mungkin itu yang terbaik.
"Do you doubt me, doubt us, after all we have done?" tanya Steve terus memandangiku.
Kuhempaskan napas kasar. Memandang sekeliling ruangan beberapa saat. Mengalihkan perhatian agar tak semakin pusing. Berhasil pada menit pertama karena selanjutnya desakan itu kembali datang.
"Honey, aku mau cerita tapi nggak di sini. Balik ke hotel yuk," pintaku.
"Your wish is my command, my queen," jawab Steve tersenyum.
Dalam perjalanan ke hotel, hatiku bergemuruh. Pasrah jika nanti Om bule memilih mundur dari pernikahan. Aku bersiap patah hati. Namun, setidaknya aku lega sudah memenuhi permintaan Om bule, no more secret.
***
Duduk berhadapan di balkon hotel, menikmati malam di Singapura. Semilir angin malam yang bersiap menemani diriku mengaduk-aduk memori masa lalu.
"Aku punya sisi gelap, Honey," kataku mengawali pembicaraan.
Steve memandangiku lalu berkata, "Talk to me, Honey. I know, you need someone to talk to."
Steve menggenggam kedua tanganku di atas meja. Seolah menegaskan bahwa Ia adalah orang yang tepat untuk bicara.
****