Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa melihat pemandangan di depanku. Ibu Maya yang tak berhenti menangis dan kemarahan Ayah Maya yang mendengar putrinya kini berbadan dua. Entahlah, lamaran itu diterima atau ditolak.
Orang tua Maya terlihat kacau dan murka. Sementara Kami seperti membeku di kursi masing-masing, pasrah mendengar semua yang terlontar dari Ayah Maya.
"Keluar dari sini!" hardik Ayah Maya.
Aku tak percaya mendengarnya. Bukan hanya aku, Beck, Dani, Dion, Steve saling berpandangan. Namun, toh akhirnya kami keluar dari ruangan bercat hijau mint berpadu putih.
Brak!
Pintu kayu ruang tamu ditutup dengan kasar. Detik selanjutnya kudengar teriakan,"Dasar perempuan tak tahu malu!" disertai bunyi tamparan.
Jeritan Maya yang memohon ampun terdengar memilukan.
"Keterlaluan!" teriak Ayah Maya.
Masih kudengar bunyi pukulan dan jerit kesakitan Maya di dalam. Mungkin hal itu yang menjadikan Dion nekad kembali ke dalam dan berteriak, "Jangan siksa Maya, Om! Dia hamil. Saya lebih pantas disiksa daripada Maya!"
Lalu hening. Pria tua itu menghentikan pukulan. Kemoceng di tangan kanannya jatuh ke lantai. "Ya Tuhan, apa yang kulakukan?" kata Ayah Maya dengan suara bergetar. Tubuhnya luruh ke lantai, di dekat Maya yang meringkuk menahan sakit.
Refleks aku berlari ke dalam, membantu memapah Maya. Beberapa bilur pukulan terlihat di kulitnya yang putih. Steve, Beck, dan Dani membawa ibunya Maya ke kamar. Beliau pingsan.
Sore yang penuh drama. Entah bagaimana akhirnya karena setelah memapah Maya, aku segera pulang diantar Om bule. Aku sudah harus berada di rumah sebelum Ibu berangkat ke Jogja.
***
Aku tidur di rumah sendirian. Beginilah jadi anak tunggal, berteman baik dengan sepi. Rumah sebesar ini hanya dihuni dua orang, aku dan Ibu. Kabar baiknya, situasi rumah saat ini sangat enak untuk belajar.
Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam ketika gawaiku berbunyi. Nama Rich tertera di layar, sebuah panggilan video call. Jari telunjukku menggeser lambang kamera ke atas. Wajah tampan Rich muncul, diiringi senyumnya yang ramah.
"Hi Kania, ganggu nggak nih?" tanya Rich basa-basi.
"Nggak kok, ini malah lagi nyantai. Abis belajar, persiapan tes besok Senin di Singapura," jawabku.
"Oh ya, wah jadi inget masa-masa itu. Sudah berapa lama ya aku gak ke sana? Jadi pengen liburan," balas Rich.
Kami pun mulai asyik bercerita, mulai dari yang ringan sampai masalah hati. Lebih tepatnya hati Rich dan sebuah rahasia kecil.
"Aku pernah jatuh cinta, Kania. Setidaknya sekali," kata Rich, mengawali cerita cintanya.
Aku tersenyum, mendengarkan seluruh cerita Rich hingga akhir. Betapa beruntungnya wanita cantik yang dicintai Rich karena sampai saat ini dia belum bisa move on.
"Apa pendapatmu, Kania?" tanya Rich di akhir cerita.
"Pe-pendapat-k-ku ya?" tanyaku tergagap.
Sungguh tak pernah menyangka, Rich akan bertanya.
Apa yang harus kusarankan, hubunganku dengan Dani saja tak bisa diselamatkan. Masa iya mau sok kasih saran. Lebih baik aku jujur sama Rich.
"Aku gak bisa kasih saran, Rich. Pacaran aja baru dua kali. Pacar pertamaku sampai ngejar ke sini loh tapi ya tetep aja putus. Kandas berantakan, Rich," jawabku.
"Lha yang bule itu?" tanya Rich.
"Itu Steve, calon suami. Nggak pengen pacaran lagi ah, mending nikah aja," jawabku sambil terkekeh.
"Jadi aku sudah nggak punya kesempatan nih?" goda Rich.
"Ya ampun Rich, pacaran sama kamu sih bisa stres sendiri," jawabku asal.
"Loh kok bisa?" tanya Rich.
"Ganteng minta ampun. Nggak tenang makan, tak nyenyak tidur. Nggak kebayang deh, Rich," jawabku bercanda.
Kita berdua tergelak.
Saat itu, kulirik jam di dinding kamar. Jam satu pagi. Bused! Waktu seakan terbang.
"Kamu lagi lihat apa, Cantik?" tanya Rich.
"Ini udah jam satu pagi, Rich. Kamu nggak pengen tidur?" tanyaku.
"Kania ngantuk?" tanya Rich lembut.
Kujawab dengan anggukan. Rich tersenyum.
"Pejamkan matamu, Cantik. Biar aku nanti yang tutup teleponnya kalau kamu sudah tidur," kata Rich.
"Kok gitu?" tanyaku.
"Kamu tahu, Kania, aku pengen menyimpan wajahmu yang cantik saat tertidur di sini dan di sini," jawab Rich sambil menunjuk kepala dan hatinya.
"Ah dasar! Ngerayu aja teroz!" balasku dengan tawa meledak.
Rich tersenyum. Garis-garis halus di sudut matanya terlihat. Namun, harus kuakui, Rich memang ditakdirkan menawan.
"Kania, boleh aku bertanya sesuatu yang agak pribadi?" tanya Rich.
"Tanya apa? Boleh aja sih, selama aku bisa jawab," balasku.
"Seandainya ada yang meminta waktumu dua hari saja untuk merasa dekat, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Rich.
Deg! Kok mulai aneh ya pertanyaan Rich.
"Hah? Dekat dalam arti gimana nih? Bermain di belakang Steve alias selingkuh gitu?" tanyaku.
Rich terdiam. Seperti berpikir sejenak.
"Aku nggak mau Rich. Steve luar biasa sayang sama aku. Beruntung dicintai seorang Steve Bergmann," jawabku.
"Gimana kalau ada yang orang lain yang cinta sama kamu, Kania?" tanya Rich.
Aku diam, memandang lurus ke layar gawai.
"Hatiku sudah jadi milik Steve. I love him. Sebentar lagi aku nikah loh. Eh, by the way, Kamu dateng ya. Nanti kukirim undangan," kataku.
"Gila, beruntung banget ya Steve dicintai sebesar itu," balas Rich dengan raut muka yang sulit kuartikan.
"Rich, aku ngantuk," kataku.
"Pejamkan matamu, Cantik. Biar aku yang menutup teleponnya," jawab Rich.
Aku menurut, mataku terepejam dan aku terbang ke alam mimpi.
***
Senin siang di depan pintu masuk terminal bandara.
"Have a safe flight, Kania. I love you. See you on Wednesday," kata Steve.
"Love you, Steve. I can't wait," godaku.
Kulambaikan tangan sebelum menghilang dari pandangan Steve.
'Bakal kangen sama Steve nih,' kataku dalam hati.
Sesampai di ruang tunggu, mata ini sibuk mencari bangku kosong. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil namaku, "Kania."
Rich sudah berdiri di belakangku. Hati mulai berdesir, walau lemah tapi aku bisa merasakannya. Entah kenapa.
"Jangan bilang Kamu mau ke Singapura juga," kataku.
Rich mengangguk, tersenyum penuh arti.
"Ya, Cantik. Aku ke sana ada sedikit urusan," jawab Rich.
Lalu kami mencari tempat duduk bersama dan saling bercerita hingga lima menit ke depan. Panggilan bagi para penumpang terdengar. Aku berdiri berjalan, sementara Rich mengikuti di belakang. Ketika sampai garbarata, Rich menggadengku hingga di pintu pesawat.
Oh ya ampun, ada apa ini? Aku tak menampik perasaan senang sekaligus berdebar ketika Rich menggandeng tanganku. Kenapa ... kenapa jantungku harus berdesir? Bukankah aku adalah calon Nyonya Bergmann?