Pagi itu di mobil Om bule dalam perjalanan ke kantor.
"Kania, please do it for me," rengek Steve.
Om bule memintaku mengundang Beck, Dion, Dani, dan Maya lewat aplikasi pesan cepat.
"Ibu nggak masak banyak hari ini, Honey. Nanti kalau makanannya kurang gimana?" tanyaku.
"Kita makan ikan pihi bakar. Aku kangen maen sama mereka," rengek Om bule dengan aksen lucu.
"Ok, you get what you want," jawabku sambil membuka password gawai milik Om bule.
Jariku mulai mengetik undangan di grup pesan cepat. Dengan sekali pencet tombol bergambar pesawat kertas, pesan terkirim.
"Done, tinggal nunggu balesan," jawabku.
"Terima kasih," kata Steve.
Ucapan Steve membuatku tergelak. Lucu! Aku membayangkan penyanyi luar negeri mengucapkan terima kasih pada para penggemar.
"What are you laughing at?" tanya Steve tertawa.
Aku memandang Om bule. Lalu berteriak, "Your accent bikin gemes!"
"Kania ...." kata Steve, menunjuk pipi kirinya, minta cium.
"Nanti, kalau sudah sampai basement, Honey," godaku pada Om bule.
"Ok," jawab Steve.
Tak lama kemudian, mobil masuk ke basement. Steve parkir dan mematikan mesin mobil. Padahal biasanya Om bule hanya menunggu aku turun dari mobil tanpa mematikan mesin. Steve menoleh ke arahku, "Kiss me, Kania. Come on," pinta Steve.
Cup!
Lalu aku bergegas turun tapi tangan Om bule menarikku.
"Wait ... Honey, wait ... wait," kata Steve. Om bule mulai lirik kanan kiri, lalu memandang bagian tertentu dari tubuhku.
Deg! Aduh Steve, kok matanya ke situ sih! Masih pagi ini, waktunya kerja. Dengan polos aku bertanya, "Honey, mau bilang apa?"
"Mmm ... eh ... I'm eh aku ...." Om bule bingung mau ngomong apa tapi mukanya seperti kepiting rebus.
"Mau ngomong apa sih? Aku harus kerja nih. Biar ntar bisa pulang cepet," jawabku.
Muka Om bule tambah merah. Wah, mungkin tegangan tinggi nih Om bule. Merasa diperhatikan, Steve menunduk. Ia menarik napas.
"Aku suka minuman punya Honey. Good to squeeze," kata Steve, matanya kembali ke situ.
"Hah?! Astaga Bambang!"
Jariku mulai mencubit lengan dan perut Steve.
"Bambang, ini waktunya kerja! Cari duit buat nikah. Jangan mikir semalem," kataku.
Steve berusaha menangkap tanganku agar tak mencubitnya. Tawa Om bule meledak.
Aku beranjak turun, lagi-lagi tangan Om bule menahanku.
"Apa lagi sih, Honey?" tanyaku gemas.
"A-a-aku ke-ke-ta-gih-an. Damn! Your body is like ecstasy to me," kata Steve lirih.
Om bule menelan saliva, kedua tangan Steve memijat pelipisnya.
Fix, Om bule tegangan tinggi!
"Iya, semalem emang bikin nagih sih tapi ya nggak dibahas sekarang juga, Bambang!" jawabku, lalu aku turun dari mobil.
"Love you," kataku dan Steve bersamaan, kami tergelak.
Lalu aku masuk ke gedung.
***
Seperti biasa, Beck, Dion, Dani mengerjaiku seharian. Celetukan mereka aduh bikin pasrah deh. Apalagi jika mereka sudah mengeroyokku. Di kantor, di rumah saat lamaran, dan puncaknya ketika kita makan ikan pihi bakar di resto langganan Steve. Mereka bebas berkomentar apa pun karena Ibu, Amanda, sudah kembali ke hotel tak ikut makan malam. Rasa sungkan mereka tak ada.
"Honey, this is good," kata Steve, tangannya menyuapi daging pihi ke mulutku.
"Cie Steve, udah lega nih ceritanya, udah ngelamar Kania. Ingat nggak dulu pertama kali naksir Kania?" tanya Beck menggoda Steve.
"Sst ... Beck! It's secret," balas Steve melirikku dan tersenyum malu.
"Ceritain dong Beck, jadi pengen tahu. Bukannya Steve sering banget teriak marah ke aku ya kalau di kantor?" tanyaku.
"Ceritain dong!" Dani, Maya, dan aku berkata hampir bersamaan.
"Oh, come on Dude, please don't," kata Steve tertawa kecil.
"I'm sorry, Steve," balas Beck tertawa jahil.
Mulailah cerita itu mengalir dari mulut Beck. Beberapa kali kulirik Om bule, Dia salah tingkah. Ternyata, Beck dan Dion sudah berteman dekat dengan Om bule sejak lama. Terbiasa curhat apa pun, termasuk dalam urusan jatuh cinta. Mereka berdua tahu banyak rahasia dapur Steve.
"Jadi Steve itu sudah naksir Kania lama, tapi nggak berani bilang. Susah bilang cinta. Nunggu bertahun-tahun," kata Beck menutup cerita.
"Guys, masih inget nggak, tadi Steve junior bilang apa? tanya Dion tiba-tiba.
"Emang Amanda bilang apa sih?" tanyaku bingung.
"Amanda bobok sama mama Kania, sama daddy Steve. Kalian ngerti apa artinya, Guys? Mereka bobok sekamar dan sekasur, Guys!" teriak Dion disusul tawa keras.
Kampret! Dion dan Beck memang jahil.
"Malemnya, Amanda tidur, Steve ama Kania lembur di kasur. Ayo ngapain aja semalem?" tanya Beck.
"Berarti nanti waktu meeting, tiba-tiba Kania mual, kita sudah tahu harus telepon siapa," komentar Dani, melirik Steve.
"Anda benar! Saya harus tanggung jawab!" teriak Om bule dengan wajah dan aksen yang lucu.
"Puas-puasin deh Kalian ngerjain kita, ntar giliran Kalian nikah, tunggu pembalasanku. Hih!" teriakku gemas.
"Ah, paling abis ini yang nikah bos Dani duluan ama cewek kemarin tuh. Ayo ngaku atau aku buka kartumu!" teriak Beck senang dapat bahan mainan.
"Ngaco! Itu Sylvia, dokter aku!" teriak Dani tapi mukanya panik.
"Gombal! Nggak usah alesan! Sejak kapan ada dokter nganter pasien berangkat ke kantor?" tanya Beck menyerang.
"Ahahah, bos Dani move on. Cheers, Guys!" sahut Maya tertawa senang.
Kita semua mengangkat gelas untuk Dani. Saat kami mengangkat gelas, gawai Dani berbunyi, tertulis di layar dokter Sylvia.
"Ayo angkat, Dan. Loud speaker kalau berani!" tantang Dion dengan tawa senang.
"Loud speaker! Come on Dude!" teriak Steve semangat.
"Ok, ok tapi kalian jangan berisik," kata Dani.
Suasana langsung senyap, konsentrasi kami tertuju pada Dani dan gawainya.
"Dani, kamu masih ngumpul ama temen? Jangan pulang kemaleman ya," kata Sylvia.
"Iya, masih sama Anak-anak. Ok, makasih perhatiannya," jawab Dani kaku.
"Dani, sampai kapan kamu bisa ngelupain Kania? Sebentar lagi Kania jadi istri sahabatmu, Dan. Kenapa kamu nggak coba buka hati untukku, Dani?" tanya Sylvia.
"Sylvia, boleh nggak nanti kita bicara lagi? Nanti aku telepon kalau sudah di rumah," kata Dani.
"Ok, Dani. Jaga diri ya, Sayang. Percaya kamu masih ada harapan sembuh dan bahagia. I love you, Dani. Bye," jawab Sylvia lalu sambungan terputus.
"Hajar, bos Dani! Kurang apalagi coba? Sylvia cantik, dokter pula, anak dua. Jam terbang sudah pasti tinggi," kata Beck.
"Astaga Beck, malu! Masak ngomongin ini di depan orang sih?" kata Dani dengan muka bingung.
"Masih bilang nggak ada hubungan apa-apa, Bos?" tanya Beck tertawa menang.
"Eh Beck, kamu telepon tante Saphiramu itu! Ayo telepon, biar adil!" ucap Dani menuntut balas.
"Telepon Beck! Ngapain takut kalau memang cinta," timpal Dion.
"Lah, kenapa jadi aku ya yang dikerjain?" tanya Beck.
"Udah telepon, jangan kebanyakan bawel!" kataku.
Beck menekan kontak seseorang di gawainya. Tak lama kemudian, terdengar suara seorang wanita.
"Kenapa Beck, kamu nggak bisa bobok lagi? Di Tokyo jam satu malem, Sayang," kata Tante, suaranya mirip orang bangun tidur.
"Gak apa-apa, Cinta," jawab Beck malu.
"Kenapa Sayang? Kamu lagi butuh? Tenang, besok aku dah balik. Kita bisa bercinta sepuasnya," kata Tante.
Kami semua saling berpandangan. Sementara Beck membisu, mati kutu.
"Beck, My baby Beck, kamu masih denger aku kan?" tanya Tante.
"Eh i-iya, Fira," jawab Beck tergagap.
"Maaf ya, aku nggak bisa peluk kamu malem ini. Aku kirimin foto seksiku ya? Aku telanjang deh buat bahan kamu malem ini, Sayang," kata Tante.
"Ok, I'm waiting," jawab Beck memutus sambungan, mukanya merah.
Tawa kami meledak.
"Puas kalian?! Puas hah!" jerit Beck, yang tersadar kita kerjain habis-habisan.
"Pulang yuk, Guys," kata Maya.
"Oh, nggak bisa. Kamu jangan curang, Maya. Kita belum hajar Dion," kata Dani tertawa.
"Saatmu tiba, Dion. Mendingan kamu curhat aja deh di depan bos-bos ini. Siapa tahu mereka bisa bantu," kata Beck.
Maya menunduk, Dion pun sama.
"Hi, what's wrong, Guys?" tanya Steve.
"Percuma, Bang Dion nggak niat nikahin aku," ucap Maya lirih.
"Kan kamu tahu aku nggak ada uang, May. Bapak Ibuku sakit, mereka butuh biaya berobat. Aku anak laki satu-satunya, May!" teriak Dion.
"Kenapa kamu nggak cerita, Ion?" tanya Dani.
"Kalau gini kan kasihan Maya, berharap dinikahi. Kesannya kamu mempermainkan Maya," kata Beck.
"Aku nggak punya uang Beck. Hutang sama kamu aja belum kebayar. Itu buat beli obat Ayah Ibuku. Uang dari mana buat nikah?"
"You have us, Dion. Why did you never tell us before?" tanya Steve.
"Bang, aku telat seminggu. Aku takut dibunuh Mami sama Papi kalau ketahuan," kata Maya.
Dion menatap Maya tak percaya. Sementara aku memeluk Maya yang menangis terisak-isak. Sejenak kami membeku mendengar pengakuan Maya.
"Ini sih harus segera nikah," kata Beck mengacak rambutnya dan menghempaskan napas kasar.
"Ion, besok kamu lamar Maya deh. Besok libur, ada waktu. Kita bantuin semua yang kamu butuhin. Gimana Guys?" tanya Dani.
Beck dan Steve mengangguk.
"Butuh teman buat nemenin, gantiin ortu kamu yang sakit, Ion?" tanyaku.
Dion mengangguk.
"Kalian bisa jam berapa?" tanya Dani.
"Tiga sore," jawabku.
Ternyata semua setuju. Besok kita akan menemani Dion melamar Maya jam tiga sore.
Kami pun pulang karena sudah terlalu malam. Besok masih ada acara menyukseskan lamaran Dion.
***
Di kamar hotel, selesai mandi, aku memandang Steve yang hanya memakai celana boxer di kasur.
"No ... no ... Steve, please don't do that. Aku nggak mau bernasib seperti Maya," kataku.
"Neither do I," jawab Steve. Tangannya mengambil bantal dan selimut kecil miliknya, lalu berbaring di sofa empuk.