Keluarga Steve pulang ke Bali pagi ini. Di dalam mobil, Amanda seperti tak mau jauh dariku. Ia duduk di pangkuanku. Tangan mungilnya sesekali membelai wajahku. Matanya yang kecoklatan memandangku dengan gemas.
"Mama Kania cantik," kata Amanda.
Bibir mungilnya mencium pipiku.
Tangan Steve mengacak rambut Amanda dengan gemas. Disambut tawa Amanda yang mengikik.
"Daddy, kapan aku bisa bobok bareng lagi?" tanya Amanda.
Aku sedih mendengar pertanyaan Amanda. Empat tahun Steve dan Amanda hidup terpisah. Demi mengejar karir dan impian Steve. Kupeluk gadis kecil itu.
"Sabar ya Sayang, sebentar lagi kita bisa bobok sama-sama. Bisa denger dongeng dari Mama tiap malam," jawabku.
Amanda menatapku dengan mata berbinar. Bahkan Steve menoleh tersenyum menoleh ke arahku.
"Yeay! Asyik. Amanda bosen tidur sendiri di Bali. Amanda pengen punya Mama, punya adik baru biar rumah ramai," kata Amanda.
Wah, minta adik nih Amanda. Saat itu kudengar tawa dari Ibu Steve.
"Steve, tuh denger, Amanda minta adik. Dia bosen main sendirian. Iya kan Amanda?" tanya Ibu Steve.
Kulirik Om bule, wajahnya memerah digoda Ibunya. Sementara jantungku berdebar menanti jawaban Om bule.
"Minta sama Mama Kania, Amanda," jawab Steve aksen lucunya terdengar.
Ish, Steve! Kok langsung tembak gitu sih. Aku kan jadi salah tingkah. Apalagi Ibu dan babysitter tergelak di belakang. Malu ah.
"Adik laki-laki ya Daddy, yang seganteng Daddy," kata Amanda.
Aku tak dapat menahan tawa mendengar celoteh Amanda.
"Daddy ganteng ya?" godaku.
Amanda mengangguk dengan mantap. Lagi-lagi Ibu dan babysitter tergelak.
"Good, nanti uang jajan Amanda Daddy tambah," kata Steve sambil tertawa lepas.
Duh mentang-mentang dibilang cakep sama Amanda. Uang jajan mau ditambah. Besok aku harus sering bilang Om bule cakep nih biar jatah siang malam ditambah.
'Ya ampun! Stop it, Kania! Kenapa otakmu jadi berpasir gini sih?' kataku pada diri sendiri.
Bandara sudah di depan mata. Amanda malah tertidur di pangkuanku. Steve memarkir mobilnya lalu membantu Ibu menurunkan barang.
Ketika berpamitan, Steve memeluk Ibunya sedikit lebih lama. "Doakan Steve, Bu. Doakan agar semua lancar," pinta Steve, matanya berkaca-kaca.
Ibu mengangguk dan mencium pipi putra tunggalnya.
Steve meraih Amanda dari gendonganku yang baru saja terbangun. Diciumnya Amanda, "I love you, Amanda,"
Lalu didekapnya tubuh gadis kecil itu.
"Daddy, are you crying?" Bibir kecil Amanda berkata.
Steve hanya diam, memeluknya tanpa kata.
"Stop it, Daddy! You look ugly when you cry," kata Amanda.
Kami semua tertawa, termasuk Steve.
Mereka sudah masuk ke dalam, tapi Steve masih berdiri terpaku beberapa saat bahkan setelah keluarganya menghilang dari pandangan.
Perlahan, kugenggam tangan calon suamiku.
"Honey, setelah kita menikah, aku ingin Amanda bersama kita di sini. Biar dia merasakan memiliki orang tua yang lengkap. Kita merawat Amanda bersama," kataku.
Steve menoleh ke arahku, memandang ke dalam mataku beberapa detik lalu memelukku.
"Thank's, Honey for accepting Amanda," bisik Steve di telingaku.
Gawai Steve berbunyi.
"From Dani," kata Steve lalu mengangkat telepon dan bicara dalam bahasa Jerman.
Kami berjalan kembali ke mobil.
***
Aku tiba di sebuah outlet baju dalam wanita. Tugasku adalah membelikan seperangkat pakaian dalam untuk acara lamaran nanti sore. Karena tidak mungkin Dani atau Beck masuk ke toko pakaian dalam wanita, lalu mereka menelepon Dion untuk menanyakan berapa ukuran Maya. Bisa panjang urusannya.
Mataku tertuju pada sebuah lingerie seksi. Kembali pikiranku melayang saat bercinta dengan Om bule.
"Mbak, mau yang itu dong. Bungkus tersendiri ya," kataku.
"Honey," suara Steve mengagetkanku.
Tangan kanan Steve menenteng tas plastik bening berisi pakaian dalam dan sebuah kostum kelinci nakal.
"Untuk siapa, Honey?" tanyaku lirih.
"Untuk Istriku," jawab Steve. Ia melirikku sambil tersenyum.
Aku berjalan menuju kasir, Steve mengekor. Sesampainya di kasir, Om bule menyodorkan kartu debit miliknya.
"Mbak, satu jam lagi kembali ke sini ya. Paket lamarannya sudah jadi," kata pramuniaga.
"Ok," jawabku.
Steve menggandeng tanganku keluar dari outlet. Dengan sedikit terburu, Steve mengajakku ke mobil.
"We only have one hour, right?" tanya Steve.
Aku mengangguk.
Steve memutar kunci mobil segera tancap gas.
"Where we going, Honey?" tanyaku bingung.
Steve diam tak menjawab. Dari lajur yang diambil, sepertinya ini menuju ke apartemen Steve. Ternyata benar, Steve mengajakku ke apartemen. Karena jarak outlet dan apartemen dekat, mungkin Om bule mau istirahat sebentar.
Brak!
Pintu apartemen Steve tertutup. Kenapa jantungku berdebar ya? Kucoba tenang duduk di sofa. Tanganku memainkan gawai. Steve muncul dari kamar dengan kaos dan celana untuk tidur.
"Kania, I'm sleepy. I want to sleep," kata Steve.
Tanpa dosa Steve berjalan menuju kasurnya dan tidur. Aku ditinggal sendirian di ruang tamu.
Gila nih Om bule. Enak banget dia tidur. Terus aku disuruh nunggu sendirian.
'Aku tuh nggak bisa diginiin,' hati kecilku berkata. Tiga menit kemudian, Steve mendengkur.
Aku berjalan menuju lemari Steve, membukanya dan memilih satu baju Steve untuk kupinjam.
Ting!
Seketika muncul ide di kepalaku setelah kuculik satu kemeja Om bule. Lalu aku kembali ke ruang tamu. Saatnya bersenang-senang dengan kemeja ini.
Kulepas pakaian yang menempel di tubuhku, hingga menyisakan segitiga pengaman menggantung di kakiku . Sebagai gantinya kupakai kemeja Steve. Mulailah aku berpose ala model majalah dewasa lalu kufoto.
'Ha ... ha ..., mari kita berpesta,' kataku dalam hati. Dalam sekejap, sudah kubidik sembilan pose seksi dan menantang. Kurang satu lagi, aku menuju ke shower. Sengaja kubuat diriku basah dan tentu saja kemeja putih milik Steve ikut basah. Siluet dan bagian tubuh tertentu terlihat sangat artistik dengan kemeja Steve yang basah. Kembali aku berpose, kutekan tombol kamera, sempurna.
Segera kuakhiri aksi kurang kerjaan ini. Tanpa sadar kutinggalkan jejak. Aku lupa memasukkan kemeja Steve yang basah ke mesin cuci.
Aku sudah duduk dan berpakaian lengkap seperti semula ketika Steve bangun.
"I'll take the shower, Kania. Would you join me?" tanya Om bule nakal.
"Oh come on, don't disturb me. I am playing a game," jawabku, mataku tertuju pada layar gawai, tanpa menoleh pada Steve.
Tiga menit kemudian, kudengar teriakan Steve, "What have you done, Kania?!"
Steve keluar dari kamar mandi, tangan kanannya membawa kemeja basah.
"Ih Steve, jangan keluar pakai handuk gini dong," kataku.
"Answer me, Kania! What have you done?" tanya Steve mencecar tapi bibirnya tersenyum.
"Kita cuma punya waktu satu jam loh," kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Oh my gosh, Kania! What have you done? Oh ok, you don't like see my towel, right," kata Steve.
"No ... n-no li ...." Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Steve melepas lilitan handuk di tubuhnya.
"Steve ...!" jeritku.
Steve tak peduli. Ia berdiri di depanku dengan tubuh polos.
"Once more. What have you done?" tanya Om bule.
Duh, haruskah aku mengaku?
"I' ll count. One ...."
Aku belum mengaku.
"Two ...."
Aku masih diam.
"Last, three ...."
Aku tak menjawab.
Tak kusangka, Om bule mendekat ke arahku, kedua tanganya mengangkat tubuh mungilku ke kamar mandi.
"No! Let me go, Steve! No ...!" jeritku.
"Sorry, it's late," jawab Steve terkekeh. Tangan Steve menggerakkan tuas shower.
Air mengguyur, rambut, baju, dan tubuhku hingga basah. Melihatku basah, tawa Steve meledak.
"How does it feel, huh?!" tanya Steve tertawa senang.
Kami bermain di bawah shower, seperti anak kemarin sore yang bermain di bawah hujan. Saling menyiram dengan air.
Tawaku terhenti ketika Steve menciumku di bawah shower. Otakku tak bisa berpikir bahkan aku lupa kapan jariku melepas pakaian dari tubuhku. Hingga kondisiku sama seperti Steve, polos.
Om bule menggendongku. Kurasakan hangat dan nikmat yang menjalar.
"Nice tattoo," kata Steve di sela-sela napas yang memburu.
"Honey, May I bite you?" tanya Steve nakal. Lalu Ia segera beraksi yang menghasilkan efek nikmat.
Dengan sedikit kesadaran kucoba bertanya, "Steve, what time is it?"
Oh my gosh!" teriak Steve.
Steve menurunkan tubuhku. Permainan usai, dengan menggantung. Bodo amat, ah! Kapan-kapan dilanjut lagi kalau ada waktu. Kami berdua bergegas agar tak terlambat.
Aku bingung saat keluar dari kamar mandi. Travel bagku ada di dalam mobil Steve.
"Honey, aku pakai baju apa? Travel bag aku di mobil. Gimana dong?" tanyaku panik.
"Ya udah telanjang aja," jawab Steve tertawa, mulutnya mulai jahil.
Jari Steve memencet tombol. Dinding papan bergerak dan penampakan walk in closet terlihat. Beberapa lacinya dan rak masih kosong. Tergantung dua blouse yang masih terdapat label toko. Dua rok. Semuanya masih baru. Dua buah parfum yang masih tertutup segel plastik. Aku menoleh pada Om bule, "Where is the underwear? I need it.
Om bule tersenyum. Tangannya mengambil shopping bag yang baru dibeli.
"Ih jorok, ini belum dicuci," kataku.
"Ini darurat, Markonah," balas Steve yang terdengar lucu.
Apa boleh buat, terpaksa kuturuti Om bule. Memakai underwear baru tanpa dicuci dahulu.
"Kalau aku gatal-gatal, kamu tanggung jawab, Bambang," kataku.
"Want me to stratch?" tanya Steve.
Ia mulai menggerakan jari-jarinya dan tersenyum jahil.
Underwear ini ukurannya pas. Jadi curiga dari mana Om bule tahu ukuranku.
"How do you know my size?" tanyaku.
"Secret," jawab Steve.
Kupilih blouse batik dan rok warna hitam. Rambut kubiarkan tergerai karena masih basah. Lagipula, Om bule suka jika rambutku digerai.
"Hurry up, Kania!" teriak Steve.
"Wait, give me ten minutes. I apply makeup on my face," jawabku.
"Five," balas Steve.
"Ten," tawarku.
Sebentar kemudian aku sudah siap. "Ok, I'm done," kataku.
Hening.
Steve pura-pura tertidur di sofa.
Kulihat beberapa helai bulu hidung Om bule yang tumbuh panjang, sedikit melewati lubang hidung. Kutarik pelan.
"Auw!" Jerit Om bule.
Aku tertawa senang.
"It's hurt, Honey!" teriak Steve memegangi hidung.
"I'm so sorry, Honey," balasku puas.
"Let's go, Steve!" kataku.