.
Preinan POV
Aku berjalan mondar mandir sepanjang sofa dan ranjang, sembari menggoyang goyangkan ponsel yang aku pegang.
Bingung...
Aku menggigit bibir bawahku dan berpikir keras. Aku benar benar ingin menelponnya. Tapi, tiba tiba rasanya jadi malu dan canggung.
Telpon?
Jangan!
Telpon?
Jangan!
Ah, yang benar saja!. Aku dilema cuma gara gara pengen nelpon dia.
Hhh..
Aku menarik napas dalam dalam dan mencoba mengumpulkan keberanian diri. Meski sedikit gemetar, aku tetap mencari nomor kontaknya di layar ponsel.
Tuttt!... Tuttt!... Tuttt!...
Telpon tersambung, tapi tidak ada jawaban. Bahkan setelah aku tunggu beberapa saat.
Ah, Raiga sialan!.
Sudah cape cape aku ngumpulin keberanian. Eh, malah di cuekin gini. Nyebelin.
Aku menjatuhkan tubuhku ke atas ranjang dan menutupi wajahku yang merah karena malu.
"Apa dia udah tidur, ya?." gumamku pelan.
Karena jam di dinding juga telah menunjuk ke arah 12 tengah malam.
"Harusnya aku telpon dari tadi. Ah, kesel deh."
Drrttt... Drtttt... Drttt....
Eh, ponselku bergetar.
Hampir saja aku lempar ponsel itu saking terkejutnya saat melihat nama orang yang menelponku. Aku menarik napas dan berdehem beberapa kali untuk memastikan kalau suaraku masih bisa keluar.
"Hallo ...."
"Hallo, Prei. Tadi kamu telpon aku? Ada apa?."
Mendengar suaranya aku jadi seperti mematung ditempat.
"Euh... Anu... Aku, soal permintaan itu ... boleh aku minta sekarang?." sahutku dengan mata memejam karena sangat gugup.
"Eh? boleh dong. Kamu boleh minta kapan pun kamu mau." jawabnya dengan suara antusias di sebrang sana.
"Jadi... kamu minta apa?." lanjutnya.
"Mm, aku mau... kamu jemput aku tiap berangkat sekolah. Gimana?."
"Boleh aja sih. Kalo kamu nggak keberatan naik motor."
"Nggak! Gak keberatan, kok." jawabku cepat.
Dia terdengar seperti menahan tawa sebelum menyahutiku. "Hm ... oke oke. Apa ada lagi?."
"Mm..." aku kembali berpikir keras. "Sama anterin tiap pulang sekolah juga." pintaku sedikit menuntut.
"Jadi dua permintaan sekaligus, nih?."
"Eh, itu masih dihitung satu, ya." protesku.
"Hoo... kamu main curang, ya. Tapi, gak apa apa deh. Aku nggak keberatan."
Asikkkk!!!!...
Sumpah demi apa, aku bener bener pengen teriak histeris sekarang. Tapi, aku cuma bisa memendam wajahku dengan bantal. Dan mencoba mengatur rasa gembira ini agar dia tidak curiga.
"Yaudah, sampe jumpa besok." kataku menahan rasa ingin menjerit.
"Hm... oke. Good night." ujarnya.
Dan langsung saja ku tutup sambungan telponnya. Aku memegangi dadaku yang berdebar dan mengatur napasku yang terengah engah. Karena tidak bisa lagi menahan rasa tak karuan ini. Aku mengguling gulingkan tubuhku diranjang sambil terus menutupi wajahku yang merah.
Apa jantungku baik baik saja? Kenapa dia masih berdebar kencang!.
Ahhhggrr...
Saking senangnya, aku sampai tidak sadar kalau aku berguling hingga ke tepi. Dan jatuh dengan pantat yang terlebih dulu mendarat di lantai.
"Aww... Sialan."
Aku mengusap usap pantatku yang sedikit nyeri dan kembali naik ke atas kasur.
Daripada riang tak karuan, lebih baik aku tidur cepat. Supaya besok tidak kesiangan.
******/
...
Triiinn!!.. Triinn!!...
Suara klakson motor terdengar dari arah gerbang. Dengan buru buru aku menelan semua roti yang belum sempat aku kunyah, dan langsung meneguk segelas susu dengan sekali tarikan napas.
"Tuan, mobilnya masih dipanasin." kata pak Eko yang melihatku berjalan buru buru ke arah pintu.
"Eh?!." Aduh, aku lupa ngasih tau pak Eko.
"Anu, pak... aku berangkat bareng temen. Jadi pak Eko gak perlu nganter."
"Teman? Siapa?." dahinya berkerut curiga.
"Euh... Ah, dia udah nungguin pak. Aku duluan, ya." sahutku cepat dan langsung meluncur pergi.
"Eh, tuan!."
Aku sebenarnya masih malu untuk ngasih tau pak Eko. Kalau orang yang akan mengantarku itu Raiga. Dan dia mungkin bakal heran karena kemarin kami sama sekali nggak akur.
Hhh...
"Gak perlu lari lari gitu." Suara Raiga terdengar halus saat aku berhenti tepat di depan motornya.
Aku sedikit terengah engah dan mencoba mengatur napas sebelum membalas omongannya. Ah, kenapa juga aku lari begitu. Padahal ini baru jam 6 pagi. Sama sekali tidak akan terlambat ke sekolah meskipun aku keliling taman kota terlebih dulu.
"Nih, helmnya." kata Raiga lagi yang membuatku menoleh padanya.
Dia memasangkan helm biru itu langsung di kepalaku tanpa bertanya apapun. Aku memang sedikit terkejut, tapi tidak sampai protes atau menepis helmnya.
"Aku, kan bisa pasang sendiri."
"Emangnya, kamu pernah pake helm?." tanyanya dengan nada yang jahil.
"Kamu ngeremehin aku, ya." timpalku sedikit cemberut.
"Yaudah, tuh. Pake sendiri." Dia melepas kembali pengunci di helmku dan menjauhkan tangannya.
Euh... aku memang tidak tahu cara pake helm, sih. Tapi aku yakin ini nggak susah.
Aku menautkan kedua ujung tali helm dan terus mencari lubang penguncinya. Sementara aku sibuk dengan pr sederhanaku ini. Raiga malah asik menertawakanku disana.
"Ah! aku nyerah."
"Haha... lagian siapa suruh kamu bersikap sok bisa kayak gitu." balasnya meledek dan menautkan pengunci helmku kembali.
"Iya... iya...."
"Yaudah, yuk naik."
.....
Uhhhh rasanya dag dig dug campur aduk. Tegang, canggung dan malu semua perasaan itu memenuhi dadaku sekaligus. Aku tidak tahu apa yang Raiga pikirkan, tapi yang jelas aku tidak baik baik saja di belakang sini.
Dia tampak tenang saat mengendarai motornya. Tidak terlalu cepat, atau pun terlalu lambat. Mungkin dia sengaja melakukannya karena sedang memboncengku. Karena dari penampilan motornya, sudah jelas ini bukan tipe motor yang biasa di bawa santai.
"Mm, Rai? Kalo kamu bawa motornya kayak gini, kita bisa telat loh." saranku yang membuat dia langsung menoleh kebelakang.
"Gak apa apa nih kalo aku ngebut?." balasnya pelan tapi masih bisa ku dengar.
"Nggak apa apa, ngebut aja. Daripada kita telat."
Tak berselang lama setelah aku bicara, dia menancap gas motornya sekaligus, membuat aku terkejut dan reflek memegangi jaketnya.
Uhh... hampir aja terjungkal.
Tangan kirinya terlihat memegangi punggung tanganku dan menggesernya ke tengah. Meletakkannya tepat di perut bawahnya.
"Eh, Rai?." aku mencoba menarik tanganku kembali, dan melepaskannya. Tapi Raiga terus memegangi keduanya dengan erat.
"Jangan di lepas, atau nanti kamu bisa jatuh."
Euh... modusnya sangat klise.
Tapi, aku menurutinya. Aku menautkan jemariku lebih erat dan menempelkan wajahku pada punggungnya yang lebar. Kepalaku rasanya berputar putar karena terus melihat jalanan. Mungkin memang begini rasanya orang yang jarang naik motor.
Ah, sangat menyenangkan.
*****
Raiga POV
Brrakk!!...
Meja dihadapanku tiba tiba digebrak dengan keras. Aku menoleh dan mendapati si mesum Erik dengan wajah yang tidak santai.
"Euh!." aku yang geram tanpa basa basi langsung memukul kepalanya. "Ngagetin banget, sih pagi pagi."
"Euh... Raiii... soal ini aku bener bener gak bisa tenang. Kamu tau, nggak?." dia mendekatkan wajahnya ke pelipisku lalu berbicara dengan nada yang lebih pelan. "Aku kemarin liat Fiya di Cafe sama cowok!."
"Ya, terus?." sahutku tak peduli.
"Kok, kamu tenang tenang gitu, sih. Ini soal Fiya, loh." nada suaranya berubah kesal.
"Rik, denger ya. Fiya itu kan jomblo, dia punya hak dong deket sama siapapun."
"Tapi...." wajahnya kurusnya tiba tiba jadi murung.
Hah... Padahal mereka sudah lama putus hubungan. Dan, sejauh ini bukankah kami menjalani hubungan pertemanan yang baik? Tapi, kenapa sekarang saat Fiya dekat dengan orang lain dia malah kacau sendiri. Dia ini masih cinta atau bagaimana?.
"Yaudah, mumpung jamkos, mending kita ke kantin aja. Gak baik galau pagi pagi." hiburku yang langsung dibalas anggukan.
Aku merangkul bahunya dan menyeretnya bersamaku.
Dia tidak berbicara apapun dan hanya pasrah saja saat aku seret.
Uh... segitu galaunya ya ditinggal mantan.
....
"Woy, makan! Jangan di liatin aja. Itu bagator ya, bukan si Fiya!." Tegurku saat Erik hanya melamun sepanjang waktu.
"Gak usah nyebut namanya juga kali. Aku malu kalo sampe ada yang denger." sahutnya sambil merengut.
Ahh... "Iya... iya."
"Aku mau beli minum dulu. Mau nitip nggak?."
"Boleh, teh manis dingin aja."
Dia menangguk ringan dan langsung berdiri. Tapi saat dia akan keluar, seseorang dari arah lain datang dan tak sengaja menabraknya. Dan di detik yang sama, segelas jus berwarna hijau mendarat telak di dada bidangnya.
"Maksudnya apa ini, hah! Jalanan lega kayak gini apa nggak cukup buat kamu jalan!." Erik tersulut emosi.
"Ma... af, aku nggak sengaja." suara gugup dari orang itu terdengar seketika setelah Erik menarik kerah bajunya ke atas.
Aku bangkit dari kursiku dan langsung mencoba melerai mereka. Sebelum Erik bertindak lebih jauh lagi.
"Rik, udah deh. Dia nggak sengaja, kok."
"Tapi liat, dong. Baju aku basah semua."
Aku menghela napas dan langsung menjauhkan tubuh Erik saat dia melepas cengkramannya. "Aku bawa baju ganti, kok. Udah, ya. Jangan di permasalahin lagi." sahutku menenangkan.
Abi, orang yang baru saja menabrak Erik itu masih terlihat gusar dan takut. Dia terus menundukan kepala tanpa berani melihat ke arah kami.
"Em, kamu Abi, kan?." aku berbalik ke arahnya dan bertanya.
Dia tidak bersuara, tapi kepalanya mengangguk mengiyakan.
"Kamu boleh pergi sekarang. Tapi lain kali hati hati ya kalo jalan." nasehatku yang seketika di balas anggukan cepat.
"Maaf, kak. Sekali lagi aku minta maaf... permisi." sahutnya lembut dan seketika langsung beranjak pergi.
"Kamu kenal dia?." tanya Erik yang membuatku menoleh.
"Em, dia temennya Preinan."
"Preinan? tunggu, deh. Kamu masih deket sama dia?." tanya Erik dengan wajah yang curiga.
"Euh ...." Aku lupa kalau aku tidak pernah cerita apapun tentang Preinan pada Erik.
"Yaa, nggak deket, sih. Cuma ...."
"Cuma?."
Hhh... aku benar benar bingung. "Cuma gitu aja ... lagian ngapain jadi bahas dia, sih. Mending kamu buruan ganti baju. Daripada masuk angin nanti." kataku mengalihkan pembicaraan.
Dia menghela napas dan masih menatap curiga padaku. Tapi kami tidak melanjutkan topik pembicaraan itu lagi, karena Erik memilih pergi dan mengganti pakaian. Meninggalkanku yang masih duduk dengan perasaan yang gusar.
Kenapa Abi hanya sendirian ke kantin? Biasanya dia dan Preinan sangat lengket sampai kemana pun selalu pergi berdua. Hah...
Baru tadi pagi kami bertemu, tapi rasanya aku ingin bertemu dengannya lagi.
Hhhh...
Tapi aku tidak perlu khawatir. Karena mulai hari ini, aku akan lebih sering bertemu dengannya. Setiap pagi. Setiap sore. Dan di setiap kesempatan yang ada.