Raiga POV
"Kalian pacaran?." Tanya Mamah yang membuatku seketika menegang.
Aku menunduk dan hanya memainkan jariku karena gugup. Betapa tidak, di pergoki bermesraan di atas meja makan membuatku takut sekaligus resah. Mamah setahuku bukan orang yang pemarah, tapi aku tidak yakin setelah melihat kelakuanku tadi, apa dia masih akan menganggapku sebagai anak.
"Rai?." panggilnya lagi.
Aku benar benar bingung harus menjawab apa, karena kenyataannya aku dan Preinan tidak punya hubungan apapun. Jadi... aku memilih diam.
"Nggak. Kita nggak pacaran," suara Preinan menyela.
Aku menoleh ke arahnya, dia tampak baik baik saja saat menyahuti ucapan Mamahku. Sejujurnya aku sedikit merasa aneh, kenapa dia bisa bersikap setenang itu. Tapi ini bukan saatnya untuk mempertanyakan hal lain. Aku berpaling lagi ke arah mamah untuk melihat responnya. Dia terlihat menghela napas dan berjalan mendekati Prei. Tubuhku mendadak menegang.
"Preinan... Mamah nggak bermaksud buat ngusir kamu, tapi... kamu bisa kan pulang ke rumah kamu sekarang? Mamah mau bicara sama Raiga." Ucap Mamah lembut dengan sedikit penekanan.
Preinan hanya mengangguk tanpa menjawab apapun. Dia menoleh ke arahku sekilas lalu pergi meninggalkan kami berdua. Aku sangat ingin menyusulnya dan bilang tetaplah di sini, tapi melihat Mamah yang tampak serius, aku hanya bisa diam dan meremas tangan.
"Mah ...." panggilku lirih.
"Ikut Mamah."
Mamah berbalik dan berjalan keluar dari dapur. Dengan pasrah aku mengikuti langkah Mamah sampai kami berhenti di kamarnya, tepat di depan foto mendiang Papah. Mamah mengusap wajah dengan frustasi dan menghela napas berat saat menatap wajah Papah yang tersenyum hangat. Hatiku mendadak gemetar. Semua perasaan takut seketika berubah menjadi perasaan bersalah.
"Rai... kamu itu anak Mamah satu satunya. Cuma kamu yang jadi harapan Mamah. Kamu tahu itu, kan?." mendengar ucapan Mamah, aku tak berani menatap wajahnya langsung.
Aku mengangguk pelan, dengan pandangan yang menunduk. Sekilas aku lihat lagi foto Papah yang terpajang. Dan seketika mataku tiba tiba memanas.
"Kamu suka sama dia?." tanya Mamah dengan suara gemetar. Dia berusaha menutupi kesedihan dengan memalingkan wajah ke arah lain.
Aku hanya menganggukan kepala. Karena bibirku mengelu.
"Kamu yakin?." tanyanya memastikan.
Aku menganggukan kepala untuk ke tiga kalinya. Mendadak semuanya terasa begitu menegangkan.
"Rai, Mamah itu ngajak kamu ngomong, jangan cuma ngangguk ngangguk ... Apa kamu nggak mau ngasih Mamah penjelasan, hah?."
Aku mengangkat kepala dan kembali manatap mata Mamah yang berair. Hanya dengan melihat wajahnya saja, aku sudah tahu, kalau Mamah sangat marah dan kecewa.
"Rai suka sama Preinan, Mah." sahutku memberanikan diri. Aku hanya jatuh cinta, dan aku yakin itu bukan sebuah kesalahan. "Rai takut Mamah marah kalo tahu soal itu."
Plaakk! Sebuah tamparan mendarat telak di pipiku. Aku begitu terkejut. Rasanya sangat panas dan perih. Tapi ini tidak ada apa apanya dibanding sakit yang ku rasakan di hati. Seumur hidup, inilah pertama kalinya Mamah memukulku.
Aku menoleh lagi ke arahnya sambil memegangi pipi sebelah kiri. Dengan mata yang nyaris menangis, aku berusaha mencari alasan kenapa Mamah memukulku.
Matanya memerah dan berkaca. Tapi dia berusaha keras untuk tidak membuatnya menjadi aliran tangisan. Sekali lagi, rasa sakit hatiku berganti dengan perasaan bersalah.
Di hadapan Papah. untuk pertama kalinya. Aku membuat Mamah bersedih.
***
"Hei, dengerin kakak dulu... sekali ini aja. Kakak nggak akan mengganggu kamu lagi... Kakak janji." seru Erik saat mengejar Abi yang berjalan ke luar gedung.
Erik hanya ingin bertanggung jawab atas semua yang di lakukannya pada Abi. Dia tidak ingin Abi menyesali keadaannya dan melakukan hal hal buruk yang akan melukai dirinya. Erik tidak yakin. Tapi setahunya, kebanyakan orang yang menjadi korban pemerkosaan biasanya menjadi frustasi dan hilang akal, dan mungkin lebih terburuk, dia bisa saja bunuh diri. Dan Erik tidak mau Abi melakukan hal seperti itu.
Lari Abi tidaklah cepat, karena langkah kakinya tertatih tatih menahan sakit di sekitar panggulnya. Entah berapa kali dia melakukan s*ks dengan Erik, dia bahkan tidak bisa mengingatnya.
Erik menangkap lengan Abi dengan cepat, saat lelaki malang itu hampir jatuh tersandung. Tapi, buru buru Abi menepis cengkraman itu. Dan mundur menjauh. Dia tidak hanya marah, tapi juga merasa jijik pada seniornya yang tidak tahu malu ini.
Seharusnya jika Erik merasa bersalah padanya, setidaknya dia membiarkan Abi pulang dengan tenang. Untuk apa Erik mengejarnya lagi, apa dia berharap Abi akan memaafkan semua kejahatannya? Jawabannya sudah sangat jelas. Tidak akan pernah.
Abi mendelik tak suka, lalu kembali berjalan tanpa menghilaukan Erik yang kini memelas padanya.
"Jangan pergi!" teriak Erik yang ajaibnya membuat langkah Abi berhenti. "Kakak tahu, kakak nggak akan pernah kamu maafin. Tapi kakak mohon, biarin kakak nebus semua kesalahan kakak sama kamu. Kakak nggak mau jadi orang yang pengecut dan ninggalin kamu gitu aja... Kakak mohon." suara Erik terdengar begitu lembut. Tapi, sayangnya tidak cukup untuk meluluhkan hati Abi.
Abi menghela napas dan berbalik menatap mata Erik. Dia rasa, dia harus mengakhiri segalanya detik ini juga.
"Nggak perlu. Toh, aku juga nggak akan hamil. Kakak nggak usah lagi repot repot ngebujuk aku. Aku tahu, kok. kakak cuma pengen kelihatan bertanggung jawab aja, kan. Itu bikin aku muak tahu nggak." balas Abi penuh kebencian. Setiap kata yang ia lontarkan seperti duri yang menancap telak di hati Erik.
Langkah kakinya kembali menjauh lalu menghilang setelah berbelok di persimpangan. Tak ada lagi yang bisa Erik lakukan. Selain membiarkan Abi pergi dengan penuh kemarahan. Erik mengerti, dia paham betul apa yang tengah Abi rasakan sekarang. Makanya dia memilih untuk mengalah.
Tapi tetap saja, Erik tidak mau jika semuanya hanya berakhir seperti ini.
***
Preinan POV
"Eh, tuan sudah pulang? Kenapa tidak menelpon saya buat jemput? Tuan... Tuan ..."
Aku meneruskan langkahku menaiki tangga tanpa menghiraukan pak Eko yang berdiri di balik pintu masuk. Rasanya aku ingin cepat cepat sampai ke kamar dan mengunci diri. Semua perasaan memalukan ini benar benar mengganggu. Aku ingin sekali marah, tapi aku sadar aku tidak punya hak apapun.
Aku mengunci pintu kamarku. Dan terduduk di balik pintu. Aku memendamkan wajahku pada kedua lututku. Berusaha menekan semua perasaan yang menyesakkan hati.
Aku benar benar orang yang memalukan. Bodoh. Dan tidak punya harga diri. Aku masih tidak percaya bahwa aku melakukan semua hal gila dengan orang yang bahkan bukan siapa siapaku. Dibanding tak tahu malu, aku mungkin lebih pantas di sebut pria murahan.
Rasanya begitu memalukan saat mengingat Raiga yang memalingkan wajah dariku dan berdiam diri saat Mamahnya menghujani kami dengan beberapa pertanyaan.
~~~~ ( flashback ) ~~~~
"Kalian ngapain?." Suara Mamah Rai yang terdengar dari arah pintu membuat kami berhenti berciuman.
Buru buru Raiga melompat dari atas meja meninggalkan tubuhku yang nyaris tidak bisa bergerak. Aku mematung. Mata wanita setengah baya itu menatap kami dengan aneh, persis seperti melihat hantu di siang bolong.
Raiga terlihat tegang. Aku tahu kalau dia juga sangat terkejut. Tapi sebisa mungkin dia berusaha bersikap normal.
"Mam... mah. Mamah bukannya mau k-ke rum...,"
"Barusan, Mamah tanya. Kalian berdua ngapain!." seru Mamah Rai menyela. Selain terkejut, aku juga yakin kalau dia sangat marah.
"Mah... Rai bisa jelasin. Raiga sama Preinan... itu... eum,"
"Apa? Kalian pikir, Mamah nggak liat apa yang kalian lakuin di atas meja. Kamu pikir Mamah bisa di bodohin kalo kamu bikin alasan buat nyangkal semua itu, hah?."
"Mah... Rai... sebenernya nggak bermaksud buat ngelakuin itu... Rai khilaf." kata Raiga tiba tiba. Yang membuatku seketika menoleh tak percaya. Apa yang sebenarnya ingin Rai sangkal. Sudah jelas jelas kalau ciuman itu dia yang memulai. Apa maksudnya dia tidak bermaksud melakukannya? Apa dia mau, Mamahnya mengira aku yang membuatnya melakukan semua itu.
Benar benar tidak bisa dipercaya.
Kalau dia benar benar menyukaiku, seharusnya dia tidak perlu berbohong dan mengatakan kebenarannya secara langsung. Tentang tanggapan Mamahnya yang akan menerima kami atau tidak, bukankah itu masalah nanti.
Tapi tak hanya sampai di situ, hal yang membuatku lebih terkejut adalah pertanyaan yang di ucapkan setelahnya.
"Raiga... kamu jujur sama Mamah. Kali ini, Mamah nggak mau kamu berbohong." ucapnya tegas sembari menatap lurus pada anaknya yang tengah mematung.
"Kalian pacaran?."
Tidak... Kami sama sekali tidak punya hubungan apapun. Tapi setidaknya aku harap Raiga bilang bahwa dia menyukaiku. Jika tidak, mungkin firasatku benar kalau aku cuma sekedar mainan bodoh baginya.
Aku terus menatapnya dan menunggu mulutnya untuk bicara. Tapi, dibanding sedang mencari alasan. Aku tiba tiba meyakini kalau dia sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan itu.
Dengan menekan rasa kecewa di hati, aku menghela napas, lalu menjawab pertanyaan itu dengan bibirku sendiri.
"Nggak. Kita nggak pacaran."
Mataku rasanya tiba tiba berair, melihat Raiga yang hanya menoleh sesaat padaku. Membuatku merasa begitu sangat konyol. Dia bahkan tidak berniat menghentikan langkahku saat Mamahnya mengusirku saat itu.
Saat dimana aku melangkah melewati pintu dan kembali menoleh untuk terakhir kalinya. Aku masih sangat berharap dia mengatakan sesuatu, jika bukan padaku setidaknya dia berbicara sesuatu tentangku pada Mamahnya. Tapi tidak. Dia sama sekali jauh dari apa yang aku harapkan. Aku menyeka air yang akan jatuh dari ujung mataku. Dan kembali pulang dengan perasaan patah hati.
Sampai hari ini, aku lupa menyadari sesuatu... Seharusnya aku tidak terlalu percaya pada seseorang. Meskipun aku menyukainya, tidak ada alasan bagiku untuk berharap lebih kepadanya.
****
Tok!! Tok!! Tok!!
Suara ketukan pintu membuatku terbangun. Aku mengusap kedua mataku dan menyadari kalau aku tertidur di lantai depan pintu.
"Tuan ..." suara pak Eko terdengar dari luar. Aku menggeser sedikit tubuhku dan memutar kenop pintu.
"Ada apa, pak." tanyaku dengan suara sedikit serak.
"Eh, tuan kenapa ada di bawah?." pak Eko terlihat terkejut saat melihatku yang masih terduduk. Dengan cepat dia duduk berlutut di depanku.
"Nggak apa apa. Tadi cuma ketiduran..."
"Tuan tidak enak badan? Apa perlu saya panggilkan dokter?."
Dia memegangi dahiku untuk memeriksa suhu tubuhku. Memang sedikit panas tapi sebenarnya bukan karena demam, tapi karena aku baru saja bangun tidur. Perlahan aku melepaskan lengannya dariku.
"Nggak apa apa, pak Eko. Ngomong ngomong bapak kenapa ke sini? apa ada urusan penting?."
"Tuan besar ada di bawah, dia nunggu tuan buat makan malam. Ayo, sebaiknya kita turun sekarang."
Hah... Papahku, seenaknya sekali. Kemarin dia membatalkan janjinya sendiri dan sekarang? dia malah menyuruhku sesuka hati.
Aku menggelengkan kepala pada pak Eko. Bagaimana pun, aku masih tetap marah pada Papah. Aku tidak mau bertemu dengannya dulu.
"Pak... bilang aja aku lagi nggak enak badan. Aku mau tidur. Jadi Papah nggak perlu nunggu aku, ya?." kataku dengan sedikit memelas.
Pak Eko awalnya terlihat tak setuju, tapi aku tahu dia tidak akan pernah menolak permintaanku. Dia menghela napas sejenak lalu memegangi kedua lenganku.
"Ya sudah. Nanti setelah tuan besar selesai makan. Saya akan kembali membawa makanan buat tuan."
Aku mengangguk. Dan dia pergi turun ke bawah. Setelah menutup pintu aku merayap menuju kasur. Dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.
Ini benar benar hari yang buruk. Sangat buruk sampai aku ingin cepat cepat melihat hari esok. Aku memejamkan mataku kembali. Berharap bisa melanjutkan tidurku. Sampai suara langkah kaki terdengar mendekati kamarku.
'Loh, katanya mau nganter makanan setelah Papah selesai. Ini bahkan belum lima menit.'
Kenop pintu di buka. Dan suara langkah kaki berat semakin dekat denganku. Aku tahu suara itu, itu bukan pak Eko tapi suara Papahku.
Aku merapatkan selimut yang menutupi wajahku. Aku harap dia tidak punya niat lain selain melihatku sebentar. Tapi sepertinya, dia duduk di tepi kasur di dekat kepalaku.
"Preinan... ini Papah." panggilnya sembari mengusap permukaan selimut yang menutupi kepalaku.
Aku tidak menjawab. Dan memilih berpura pura tidur.
"Papah minta maaf, ya. Papah tahu kamu masih marah. Tapi, lain kali Papah janji, Papah akan tetapin semua janji papah sama kamu... Jangan marah lagi, ya..."
Aku masih berdiam diri. Ya... terserah Papah saja. Ini bahkan bukan pertama kalinya Papah bicara begitu. Aku tidak peduli.
"Papah cuma mau kasih tahu, Mamih kamu bakal berkunjung ke rumah ini bulan depan. Papah mohon ya... Kalo dia kamu minta kamu buat tinggal sama dia, kamu bisa kan tolak dia?... "
Hah?
Mamih mau bawa aku? Tentu saja aku akan menolaknya dengan senang hati. Karena mereka berdua itu sama saja. Sama sama orang tua yang buruk.
Kadang, aku bertanya tanya... kenapa hidupku ini terasa sangat menyedihkan.
....