Preinan POV
Deretan nama pemain dan kru film menjadi penutup di akhir cerita. Aku masih mematung, hingga sebuah sentuhan di pipi membuatku kembali tersadar. Raiga tersenyum ke arahku sembari mengusap air yang membasahi pipiku. Aku bahkan tidak sadar kalau aku menangis.
"Filmnya nggak asik." komentar Abi saat kami berjalan keluar teater.
"Kenapa? Kan, kamu sendiri yang ngajak aku nonton." aku berjalan di sampingnya. Diikuti Raiga dan Erik yang berjalan di belakang kami.
"Katanya film romance, tapi malah tragis gitu. Harusnya lebih cocok genre thriller."
"Tapi, menurutku bagus, kok. Lagian romance nggak melulu harus happy ending, kan?." sahutku sambil merangkul bahunya, dan berjalan lebih cepat.
"Ya ya ... lupain aja. Mending sekarang kita cari makan aja, deh. Laper nih." timpal Abi yang mulai mengelus perutnya.
Aku terkekeh kekeh, kemudian menganggukan kepala. "Yaudah, ayo kita nyari makan. Kamu mau makan apa?." tanyaku pada Abi lalu memalingkan wajah ke arah dua pria yang berjalan di belakang. "Kalian mau makan apa?."
........
Dua pinggan penuh berisi seafood akhirnya datang setelah tiga puluh menit menunggu. Aku dan Abi duduk bersebelahan, dengan Erik dan Raiga yang duduk di sebrang. Kami menikmati makan malam kami dengan gembira, terlebih Abi yang beberapa kali memainkan kaki kaki kepiting dan kepala udang. Dia bilang dia sedang cosplay menjadi penghuni lautan. Kami pun terpingkal pinggal melihat tingkah konyolnya yang sangat menggemaskan itu.
Ckreck!
"Eh, kamu ngambil foto aku, yah?." tuduh Abi pada Erik yang ada di sebrang meja.
Erik menggeleng cepat, lalu buru buru menurunkan ponselnya. "Nggak, aku nggak foto-in kamu. Barusan aku cuma ngambil gambar makanannya. Jangan geer, deh." tukas Erik cepat.
Abi menyipitkan matanya, dan menyondongkan tubuhnya ke depan. "Coba sini, liat." ucapnya dengan tangan yang mengulur.
Erik memutar matanya ke sekeliling. Dia bertingkah seolah tidak mendengar pintaan Abi. Membuat Abi mendengus keras dengan bibir yang manyun.
"Awas aja kalo itu beneran foto aku." lanjutnya menggerutu.
"Prei, kamu pulang bareng aku, yah." Raiga mengalihkan perhatianku.
Buru buru aku menganggukan kepala dan menerima uluran tangannya. "Oke. Eh? tapi Abi, kamu pulangnya gimana? mau di anterin pak Eko, aja?." tanyaku beralih pada orang yang duduk di sampingku.
"Santai. Aku bisa naik taksi, kok. Kalo mau pulang, pulang duluan aja." Sahutnya yang masih sibuk mengunyah sisa makanan di meja.
"Rik, kamu gimana? mau pulang sekarang, nggak?." Tanya Raiga.
"Em, aku turun bareng kalian, deh." jawab Erik yang seketika berdiri. Namun saat hendak keluar dari lingkaran meja, pinggangnya tak sengaja menyikut sudut dan membuat minuman di depan Abi tumbah membasahi bajunya.
Abi tertegun sejenak lalu mendelik sinis pada Erik berdiri mematung di depannya. "Sialan!."
"Euh, sorry ... sorry, aku nggak sengaja." ucap Erik yang dengan cepat mengelap jus yang membahasi tubuh Abi.
Aku dan Raiga saling melempar pandangan sesaat, kemudian dia menarik tanganku tiba tiba. "Kita duluan, yah. Bye ...."
Aku memukul bahunya pelan dan mulai mengimbangi langkah kakinya berjalan. "Kok, kamu main pergi gitu aja, sih."
"Ssuuttt, anak kecil nggak perlu tahu. Ini urusan orang dewasa." sahutnya yang seketika membuatku berpikir keras.
Dahiku mengkerut bingung. "Maksudnya?."
"Udah, gak usah dipikirin. Nggak penting." jawabnya cepat, kemudian mengalihkan pandangan mata ke arahku. "Yang penting itu, kita akhirnya bisa nge-date."
Aku terkeleh pelan. "Nge-date itu ya berduaan. Kan, kita jalannya berempat." sangkalku. Dengan kepala yang menggeleng.
"Berarti namanya double date."
Aku mendengus geli, perkataan Raiga barusan rasanya seperti lawakan komedi menurutku. "Mereka kan, bukan pasangan, Rai."
"Kata siapa mereka bukan pasangan?." kata Raiga tiba tiba.
"Eh?!" aku kembali mengerutkan dahi. "Emang mereka pasangan?."
.....
Keesokan harinya.
Abi duduk di tepian jendela kamarnya, setelah mondar mandir selama setengah jam dengan memegangi sebuah jaket berwarna coklat di tangannya. Dia terus berpikir keras bagaimana caranya dia bisa mengembalikan pakaian milik senior mesum itu. Pakaian yang dia pinjamkan saat kemarin mereka makan bersama dan dia secara tak sengaja menumpahkan jus alpukat ke baju Abi.
"Apa ... Aku pergi ke apartemennya aja kali, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Kemudian setelah berpikir ulang selama beberapa kali, akhirnya Abi memutuskan untuk pergi. Tanpa mencuci baju itu terlebih dulu. Dia pikir, untuk apa dia sampai harus mencuci baju milik si bajing*n itu, tidak ada faedahnya.
Abi berpamitan pada Mamahnya yang sedang menyiram bunga di halaman, lalu pergi menyetop taksi yang lewat.
........
"Bangsat! Kenapa kamar mandinya bau banget, sih Rik? Di siram belum?" gerutu seorang wanita pada adiknya yang sedang asik rebahan di ranjang.
"Nggak tahu. Lupa." jawab Erik santai tanpa menghilangkan pokusnya pada layar ponsel.
"Siram lagi, ah. Kakak nggak mau masuk kalo masih bau kayak gitu." timpalnya keras. Sementara Erik tak menghiraukannya sama sekali.
"Mm,"
"Kakak pinjem baju kamu, punya kakak masih di koper semua, males nyarinya." Kaki jenjang kak Emi melangkah ke arah lemari, lalu membuka kedua pintu yang tertutup itu.
Seketika wajahnya berubah, melihat deretan DVD dan poster poster wanita tanpa busana menghiasi setiap celah di sana. Emi melempar tatapan bengis pada adiknya. Lalu memukul kepala Erik dengan sekali jotosan penuh tenaga.
"... AWW!!!"
Erik mengaduh, dia ingin balas menyentak tapi kemudian dia urungkan saat melihat wajah marah kakaknya yang kini tengah berkacak pinggang.
"Apa?! Mau marah? Kakak pikir kamu udah tobat ya, Rik. Gila ... Ternyata makin parah, aja."
"Apa, sih. Aku udah nggak nonton gituan lagi, kok. Yang di lemari itu cuma sisa DVD yang belum laku kejual. Nanti aku buang, deh." sahut Erik pelan sembari mengusap kepalanya yang memar.
"Serius? Udah tobat beneran?."
"Iya!" jawabnya tegas.
"Kok, bisa?" Emi yang tadinya marah, berubah menjadi penasaran.
"Ya bisa, lah. Ya kali aku bakal begitu terus sampe tua bangka. Aku juga bisa insyaf." jawab Erik percaya diri. Meski sebenarnya, alasan di balik dia berhenti menonton p*rno adalah karena Abi. Setelah dia meniduri Abi malam itu. Kecanduannya akan film film dewasa seperti menghilang begitu saja. Seks antara lelaki dan perempuan sudah tidak menarik lagi baginya.
"Bagus, deh. Bukan apa apa, ya. Kakak itu takutnya kamu malah mempraktekin semua itu di dunia nyata. Nanti kalo kamu ngehamilin anak orang, mau di taro di mana muka mamah sama papah."
"Di taro di depan, lah. Orang muka nggak bisa di lepas juga." Erik menyahut usil, dia bergeser ke tepian ranjang kala kakaknya itu terkekeh dan melayangkan bogem lagi.
"Dah, ah. Sana siram toilet! Gila, baunya kayak bangke buaya." Emi menepi, kemudian melucuti pakaiannya saat Erik beranjak.
Baru saja sehelai kemeja polos yang kebesaran ia pakai, seseorang di balik pintu terdengar membunyikan bel beberapa kali. Tanpa sempat memakai celana, Emi menghampiri pintu dan memutar kuncinya.
"Sebentar ...," Suara Emi mendayu. Lalu di bukanya pintu itu. Dan mendapati seorang pria kecil yang langsung menatapnya dengan wajah terkejut.
"Ups, aku lupa pake celana." celoteh Emi yang ikut melirik ke arah Abi mengarahkan mata. Dia cengengesan sendiri, kemudian menyembunyikan tubuh bagian bawahnya ke balik pintu.
"Ada apa, ya?" tanya Emi pada Abi yang masih tertegun.
Abi menggeleng cepat, mencoba menghilangkan semua pikiran gila yang melintas di otaknya. Lalu menyodorkan sebuah tote bag berisi jaket Erik pada Emi.
"Buat siapa?" Emi bertanya. Sambil menerima barang itu dari tangan Abi.
"Itu, punya kak Erik. Aku mau balikin itu sama dia." jawab Abi sedikit kikuk. Kemudian pergi begitu saja meninggalkan Emi yang belum sempat menyahut.
Abi mempercepat langkahnya saat keluar gedung. Entah kenapa rasanya begitu mengusik dan aneh. Entah dia marah karena seorang wanita dengan pakaian tak pantas ada di kamar Erik atau, apa mungkin dia cemburu? Abi menggeleng keras. Dia tidak bisa mempercayai kalau itu sebuah perasaan cemburu.
Buru buru, dia mencegat taksi yang melintas di depannya. Dan berniat pergi ke rumah sahabatnya, Preinan.
Sementara Emi yang masih bingung, kini menutup pintu sambil memandangi tote bag yang ia pegang. Erik mendekat, dan menautkan alisnya saat Emi berjalan ke arahnya.
"Kakak keluar pake gituan? Nggak malu, apa?"
"Tadi ada yang mencet bel, ya kakak buka pintu, lah. Kakak lupa kalo belum sempat pake celana." sahutnya santai kemudian melempar tote bag itu pada Erik. "Tuh, tadi ada yang nganterin. Katanya punya kamu."
Erik membukanya, dan mengambil sebuah jaket coklat yang dia tahu, itu kepunyaannya. Lalu beralih cepat pada Emi. "Siapa yang nganterin?"
Emi mengangkat kedua bahunya sambil menggeleng. "Nggak kenal. Mungkin temen kamu. dia cute parah, sih. Kalo kamu nggak keberatan, kenalin dia ke kakak, ya entar."
Erik mendengus, lalu berlari keluar dengan cepat. Andai sempat, dia ingin menyusul Abi dan menemuinya. Dia harap Abi tidak salah paham dengan keberadaan Emi di kamar apartemennya. Hubungannya dengan Abi sudah nyaris membaik, dia tidak mau Abi menjauhinya lagi karena hal seperti ini.
"Aish, sialan!" Erik berdecak frustasi. Dia sudah berlari keluar gedung tapi tak ada siapapun di sana. Dia sudah terlambat.
.......
Preinan POV
Aku menatapnya sampai memiringkan kepala. Lalu duduk di sebrang sofa. Abi hanya melamun sejak dia datang beberapa menit lalu. Jarinya hanya mengetuk ngetuk gelas, sedang matanya menatap kosong pada salah satu sudut ruangan. Dahiku berkerut bingung.
"Abi!" aku berteriak. Dan seketika dia terlonjak kaget.
"Hah?" matanya celingukan sesaat, lalu beralih menatapku.
"Kenapa ngelamun terus, sih. Aneh, deh."
"Ah ... maaf, cuma lagi kepikiran sesuatu." jawabnya dengan sedikit senyuman kecut.
Aku menghela napas, kemudian merogoh ponselku di saku, saat suara notifikasi berbunyi. Senyumku mendadak mekerah ketika mendapati nama Raiga di layar utama. Buru buru, aku membalas pesan darinya yang bertuliskan bahwa dia akan datang kemari dan mengajakku jalan jalan. Dia bilang ingin nge-date sungguhan denganku.
"Prei?" suara Abi memanggil. "Kamu, udah pernah tidur bareng sama Rai?" tanyanya tiba tiba. Seketika aku menoleh padanya. Dan melempar tatapan bingung.
"Maksudnya?"
"Maksudku, kamu udah pernah nge-s*ks sama dia?" lontarnya dengan wajah yang datar. Aku seketika bingung kenapa Abi tiba tiba bertanya tentang hal itu.
"Belum." aku menggelengkan kepala. "Kenapa kamu nanyain hal itu?" lanjutku yang kini balik bertanya.
"Nggak, cuma penasaran aja." sahutnya dengan melempar senyuman sesaat. "Keliatannya, kalian berdua itu cocok."
Aku tersengih, "Kita baru jalan belum sampe sebulan. Jadi, mana tahu cocok atau nggaknya kali."
"Keliatan, kok. Kata orang jodoh itu selalu punya kesamaan."
"Kesamaan?" aku menaut kedua alisku. "Emang aku sama Raiga punya kesamaan apa?"
Abi menaikan bahu lalu menggeleng, "Aku nggak tahu. Kesamaan jenis kelamin, mungkin. Itu, juga termasuk kesamaan, kan." cetusnya tiba tiba.
Aku seketika tertawa, kemudian melempar sebuah bantal yang ada di sampingku. "Ngasal banget kalo ngomong,"