.
.
.
.
Preinan POV
Sore ini, Raiga mengajakku pergi ke taman hiburan. Dia bilang dia ingin nge-date berdua. Tidak seperti kemarin, ada Abi dan Erik.
Sebenarnya aku akan membawa Abi juga kali ini, kalau dia setuju tadi. Tapi, Abi bilang dia ingin pulang karena tidak enak badan. Jadi aku membiarkannya pergi dengan di antar pak Eko.
Aku berjalan menuruni tangga dengan penuh semangat, sambil membawa sebuah kamera digital di tanganku. Raiga sudah menungguku di dekat garasi dengan motor besar kesayangannya.
"Rai, lihat sini," panggilku dengan bersiap memotret dia saat menoleh.
Ckreck!!
"Eh, kamu jail, yah ...," Raiga tertegun sejenak, kemudian mendekat dan berusaha mengambil kamera itu dari tanganku, tapi aku dengan cepat menyembunyikannya ke balik punggungku.
"Mana, sini. Aku mau liat fotonya," Raiga mengitari tubuhku, tapi aku bersikeras untuk tidak memberikannya, aku mau ini menjadi koleksi pribadiku seorang.
"Nggak mau ... Fotonya bagus, kok. Jadi nggak perlu di liat lagi. Hihi," ucapku yang coba menahan tawa karena dia kini merayapi perut dan punggungku.
"Siniin, atau aku kelitik kamu, nih." Raiga kini menekanku ke arah dinding, dia masih berusaha mengambil kamera yang ku sembunyikan di balik punggungku itu. Dan mulai memainkan jarinya pada pinggang dan leherku.
Aku menggeliat kegelian, dan nyaris saja menyerah. Tapi, buru buru aku kecup bibirnya yang berada tepat di depan wajahku, supaya dia berhenti menggelik tubuhku. Dan, itu berhasil.
"Ah, kamu curang." ucapnya dengan wajah yang merengut. Aku terkekeh kekeh lalu mengecup bibirnya sekali lagi.
"Udah, adil, kan?" sahutku penuh senyuman saat melepas cekupan dua detik itu. Raiga ikut tersenyum dan menghela napas sesaat. "Masih belum,"
Dia kemudian meraih tengkukku lalu mendorongku ke arahnya. Dengan gesit, sebuah lidah panas kini masuk dan memenuhi seluruh rongga mulutku, membuatku sedikit kesulitan bernapas.
Aku memukul dadanya, dan mencoba untuk mundur, tapi Raiga sangat egois, dia malah ikut menekanku hingga pungungku menyentuh dinding. Dia begitu menikmati ciumannya, sampai aku merasa kalau seluruh cairan salivaku di hisapnya hingga kering. Aku benci ciuman Raiga yang seperti ini. Ciuman yang membuatku merasa tidak nyaman. Tapi, selama dia menikmatinya, aku tidak akan keberatan.
Dia perlahan melepaskan ciuman itu, lalu tersenyum semringah. Aku mencubit lengannya dan memasang wajah cemberut. "Dasar mesum," kemudian berjalan ke depan sambil menutupi kedua pipiku yang memanas.
......
Author POV
Tok!! Tok!! Tok!!
Sebuah pintu berbahan kayu jati Erik ketuk selama beberapa waktu, sesekali dia mengintip ke arah jendela untuk memeriksa apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Lalu seorang wanita terlihat berjalan mendekatinya.
"Permisi ... Apa, ini rumahnya Abi?" tanya Erik pada wanita setengah baya yang membuka pintu.
Wanita itu mengerutkan alis, lalu menunjuk ke arah rumah lain yang berada di samping. "Rumahnya yang di sebelah situ." jawabnya sedikit ketus. "Kalo kamu nyari alamat orang, liat nomor rumahnya baik baik. Gangguin orang lagi tidur aja." lalu dia kembali masuk dan menutup pintu dengan keras.
"Hh, maaf maaf." Erik meninggalkan rumah itu, lalu berjalan ke arah rumah yang di tunjuk sang wanita tadi. Sebenarnya dia tidak tahu di mana tempat tinggal Abi yang sebenarnya. Dia hanya ingat kalau Raiga pernah bilang teman Preinan itu tinggal di komplek ini.
Erik menghela napas lega, setelah lima rumah yang ia datangi secara acak, akhirnya dia bisa mendapatkan petunjuk keberadaan Abi. Dia merapikan kemejanya, lalu mengatur hati agar tidak gugup saat dia bertemu dengan pria kecil itu.
Tangannya baru saja akan mengetuk pintu ketika tiba tiba pintu itu terbuka dari dalam. Seorang wanita cantik yang terlihat awet muda mendadak menatapnya sambil menautkan alis. "Mau nyari siapa, dek?"
"Euh, anu ... Apa, ini bener rumahnya Abi?" tanya Erik sedikit canggung.
"Iya, benar. Kamu temennya Abi?" tanya wanita itu cepat, tapi sebelum Erik menjawab, dia sudah melanjutkan. "Kebetulan banget tante baru aja mau pergi arisan. Kamu temenin Abi sebentar, yah. Dia lagi tidur di sofa depan, katanya lagi kurang enak badan." ujarnya kemudian.
"Tante nitip dia sebentar, boleh, kan?"
Erik mengangguk pasrah, lalu setelah wanita itu menyentuh pipinya, dia meninggalkan Erik dengan pintu rumah yang terbuka. Erik mematung sesaat, ia masih tidak menyangka bisa semudah ini memiliki waktu dengan Abi. Kemudian dia buru buru masuk dan menutup pintu.
Rumahnya tampak begitu sepi, dia tidak bisa melihat siapapun kecuali Abi yang berbaring di sofa. Erik mendekat, kemudian duduk berlutut di depannya.
Erik menyentuh kening Abi sesaat, untuk memeriksa suhu tubuhnya. Dan dia bandingkan dengan suhu pada keningnya sendiri. Kemudian membuang napas lega.
"Ternyata nggak demam," gumamnya lega.
Tangannya mengelap lembut peluh yang membasahi pelipis Abi sembari menatap lekat tiap lekukan wajah pria kecil yang pernah dia tiduri itu. Lalu Erik duduk bersila dan menyandarkan kepalanya pada tepian sofa di samping wajah Abi, dengan tangannya yang kini memegangi kedua tangan Abi. Erik mengusapnya lembut, sampai dia tidak sadar kalau dia ikut tertidur.
...
Preinan POV
Aku sedang menikmati eskrim saat Raiga masih sibuk memperhatikan sekitar, dia terlihat begitu bahagia saat kami mencoba segala jenis permainan yang ada, kemudian dia mengajakku duduk di bangku besi untuk beristirahat dan memakan beberapa cemilan.
Aku mengeluarkan kamera yang aku bawa, dan melihat semua hasil jepretanku yang aku ambil secara diam diam. Aku tersenyum senyum sendiri saat mendapati foto Raiga dengan latar bianglala yang besar. Aku rasa, itu akan menjadi koleksi foto kesukaan, nomor satu.
"Aku, ke toilet sebentar, yah." seru Rai yang kini beranjak, dan menaruh sisa cemilan kami di bangku.
Aku mengangguk dan membiarkan dia pergi, tanpa melepaskan pandanganku pada kamera yang tengah ku pegang. Setelah puas melihat semua hasil jepretanku, barulah ku taruh kembali kamera itu ke dalam tas.
Aku berniat membuang bungkusan eskrim yang sudah habis ku makan pada tempat sampah yang berada di sudut. Tapi, sesuatu tiba tiba menarik perhatianku, ada sepasang pria dan wanita dewasa yang berjalan menuju pintu keluar. Aku menyipitkan mataku untuk melihat lebih pokus pada si pria yang memakai jas hitam. Entah kenapa aku sangat yakin kalau itu adalah Papahku.
"Pah?!"
Buru buru aku susul langkah mereka dan meninggalkan semua barangku yang masih ada di bangku. Setelah pintu keluar, ada parkiran kendaraan yang luas. Aku menyapu sekitar untuk mencari sosok yang mirip dengan Papahku itu, sambil terus berlari kecil.
Aku pergi ke area parkiran mobil, dan melirik ke segala arah barangkali ada mobil Papah yang terparkir di sana. Tapi, tempat itu begitu luas, jika aku memperhatikan satu persatu mobilnya, itu akan sangat memakan waktu. Aku membuang napas kasar dan bersandar pada sebuah mobil putih di belakangku.
Mungkin itu cuma halusinasiku saja.
Aku terlalu merindukan Papah sampai tak sengaja membayangkan dirinya. Lagipula, bagaimana mungkin Papah pergi ke tempat seperti ini, dan bersama dengan seorang wanita. Itu sangat mustahil.
Setidaknya itulah anggapanku sampai sebuah mobil hitam besar melintas tepat di depanku, dan mematahkan semua asumsiku. Tidak salah lagi, itu memang mobil Papahku.
Buru buru aku ikuti mobil itu sebelum dia sampai di tempat pembayaran parkir. Aku berlari begitu cepat dan tiba tiba seseorang dari arah belakang memanggil namaku dengan lantang.
"Preinan! Kamu mau kemana?" Raiga berlari menyusulku, sedangkan aku sedikit pun tidak bisa berhenti berlari, mengejar mobil hitam yang kini sudah keluar dari loket.
Jangan! Jangan pergi dulu! Papah harus menjelaskan kenapa dia berada di tempat seperti ini dengan seorang wanita. Siapa wanita itu?
Aku sampai pada tepian jalan raya, lalu berbelok dengan cepat ke arah mobil itu pergi. Aku tidak mau membiarkan Papah lari begitu saja. Jadi, aku mempercepat lariku. Dan saat mobilnya berbelok di persimpangan, aku memutuskan menyembrang agar dapat menyusul.
Ttriinnn!!!
Aku tersentak kaget ketika suara klakson dibunyikan begitu keras dan begitu dekat, hingga aku sadar kalau sebuah mobil melintas tepat di depanku.
Aku nyaris saja tertabrak saat tiba tiba sebuah tangan dengan cepat menarikku ke tepi. Raiga menyeretku ke atas trotoar dan langsung memeluk tubuhku yang tegang dan gemetaran karena shock.
Aku mematung dengan napas yang tersengal sengal, sementara Raiga makin merengkuhku dengan erat. "Kamu gila, hah!" dia berteriak dengan suara yang gemetar. "Gimana kalo kamu ketabrak!"
Raiga terdengar begitu ketakutan, membuat tubuhku seketika itu pula melemas. Aku jatuh terduduk di atas trotoar dengan Raiga yang masih tidak melepaskan pelukannya. Dengan mata yang tiba tiba memanas, aku pendamkan wajahku ke dalam dadanya.
"Maaf,"
....
Raiga POV
Setelah pergi dari taman hiburan, aku membawa Preinan ke sebuah kafe untuk makan malam. Karena khawatir dengan kondisinya, aku memutuskan menelpon pak Eko untuk menjemput kami dan membiarkan motorku tetap terparkir di sana. Dia hanya berdiam diri sepanjang jalan, dan memalingkan wajahnya dariku.
Aku tidak tahu apa yang dia kejar tadi, tapi aku yakin kalau itu sangat penting baginya. Jika tidak, dia tidak mungkin memaksakan diri sampai hampir tertabrak mobil yang melintas. Aku sempat marah saat itu, tapi semua itu tak lain hanyalah rasa khawatirku.
"Kita udah sampe. Turun yuk," seruku sembari memegangi lengan Preinan.
Dia mengangguk lemah dan membuka pintu mobilnya sendiri. Aku ikut turun, dan menautkan jemariku pada tangan sebelah kanannya. Preinan mengerlingku sejenak dan ku balas senyuman. Kami kemudian berjalan beriringan ke dalam, dengan pak Eko yang menunggu di parkiran mobil.
"Duduk di sini aja, biar pak Eko bisa liat kita." seru Preinan yang menunjuk pada kursi di dekat jendela. Aku memberi anggukan lalu ikut duduk di sebrang meja.
Setelah makan malam yang hening, tanpa banyak hal yang aku dan Preinan bicarakan. Terlebih dia yang kebanyakan diam dan hanya melempar senyum sesaat waktu ku ajak bicara. Kami berencana langsung pulang ke rumah. Tapi di pintu masuk, aku tak sengaja berpapasan dengan Fiya, dan seorang lelaki tinggi yang tak asing.
"Fiya? kebetulan banget kita ketemu disini." sapaku dengan hangat, dan pandanganku beralih cepat pada lelaki yang berdiri di sampingnya. "Hai, kak Ariel. Lama nggak ketemu. Apa kabar?"
"Hai, kak," sapa Preinan kemudian dengan senyuman yang ramah.
"Kakak baik, kalian sendiri apa kabar?" sahut kak Ariel yang memandang kami secara bergantian dan mengacak rambut Prei sesaat. "Baik," jawabku mendahului.
"Kalian, dateng berdua?" mataku beralih pada Fiya lagi.
"Iya," jawabnya singkat dengan melempar senyuman aneh.
Tunggu! Jangan jangan ...
"Jangan bilang kalo ... Kalian, berdua ...," aku tak melanjutkan kalimatku, dan lebih menunggu Fiya bicara.
"Iya ..., aku sama kak Ariel pacaran, hehe." timpalnya tanpa ragu. Aku dan Preinan saling melempar pandangan sesaat lalu menghela napas berat. Ini semua benar benar sangat sulit di percaya.
"Sejak kapan?" tanyaku penasaran.
"Baru, kok. Kenapa pada kaget gitu, sih. Emang aneh ya kalo aku punya pacar?"
"Nggak." aku dengan cepat menggeleng. "Cuma ... Agak sulit di percaya."
Berarti laki laki yang Erik lihat bersama Fiya waktu itu, kak Ariel? Hah, aku masih sulit menerima apa yang aku dengar ini.
"Ya ya, percaya yang kamu mau aja, deh. Kita berdua mau masuk dulu, duluan yah," Fiya menggandeng tangan Kak Ariel dan beranjak meninggalkanku dan Preinan yang masih mengatur pikiran. Aku melirik punggung mereka sekilas, lalu berbalik pada Preinan dan kembali menggenggam jemarinya.
"Kita pulang Sekarang?"
Dia mengeratkan genggaman tanganku, lalu memberi anggukan. Setelah memanggil pak Eko yang ada di parkiran, aku memutuskan untuk ikut ke rumah Preinan dahulu. Tentang bagaimana aku pulang nanti, itu urusan belakangan.
...
Author POV
Klick!
Suara pintu yang di tutup membuat Erik membuka matanya, dia mengusap wajahnya dan celingukan ke segala arah. Hampir saja dia lupa kalau sekarang dia masih berada di rumah Abi, dengan Abi yang masih nyenyak di sampingnya.
Seorang wanita berjalan mendekat, dengan tangannya yang memegang plastik besar. Melihat erik yang terduduk di lantai, membuat dahinya berkerut. "Eh, kamu masih di sini? Tante kira sudah pulang." wanita itu meletakkan plastiknya di atas meja dan sedikit menunduk untuk menyentuh wajah Abi. "Abi juga masih tidur, yah."
Erik melirik ke segala arah, mencari petunjuk tentang berapa lama ia berada di tempat ini, lalu dia merogoh ponsel yang ada di saku jeansnya. Layar yang menyala menunjukan pukul 19.40 WIB. Itu artinya dia tertidur sudah hampir tiga jam.
"Makasih ya, udah mau nemenin Abi. Oh, ya. Pokoknya kamu harus makan dulu sebelum pulang." ucap wanita paruh baya itu. Sambil membuka bungkusan yang ia bawa.
Erik mengangguk pasrah. "I iya, tante."
Semua makanan siap saji yang di keluarkan dari dalam plastik itu lalu di tata di atas meja. Erik yang melihatnya merasa tidak enak, dan berniat membantu, tapi tangannya buru buru di tepis. "Nggak usah, kamu cuci tangan aja, tuh, dapurnya sebelah sana."
Sekali lagi, Erik mengangguk canggung, dia sama sekali tidak terbiasa dengan suasana seperti ini. Dengan cepat dia pergi ke arah yang ditunjuk.
"Bi, Sayang. Bangun dulu, yuk. Bunda beli makanan kesukaan kamu, nih. Abi ...," seru sang bunda sembari mengelus lembut pipi anaknya.
Abi mulai terusik, perlahan dia membuka matanya dan menggeliat. Samar samar ia melihat bundanya sedang tersenyum dan merapikan rambutnya.
Abi adalah anak tertua dari dua bersaudara, dia dan bundanya tinggal di Jakarta, sedang ayah dan adik kecilnya tinggal di Bandung bersama sang nenek karena urusan pekerjaan, keluarga kecil mereka biasanya berkumpul saat akhir pekan atau hari hari yang bertanggal merah.
Seperti anak yang lahir dari orang tua muda pada umumnya, Abi sangat di manjakan oleh sang bunda. Maklum saja, bunda dan ayahnya menikah dan memiliki anak di usia dua puluhan. Selain berjiwa muda dan pergaulan yang modern, bunda Abi juga seorang sosialita yang terpandang. Tapi di balik semua itu, dia juga seorang ibu yang penyayang dan penuh pengertian.
Abi membenarkan posisi duduknya, dan mengucek matanya untuk mengusir rasa kantuk yang masih melekat. Dengan perasaan yang masih linglung, dia menerima sebuah box makanan berisi kentang goreng dan sayap ayam yang di berikan bundanya.
"Nggak mau cuci muka dulu?." tanya sang bunda melihat Abi langsung memakan potongan kentang goreng. Seketika langsung di balas gelengan lemah dari Abi.
Erik keluar dari arah dapur, dia berhenti sejenak saat melihat Abi yang sudah terbangun dan duduk. Erik cemas dengan reaksi dari Abi jika melihat dia ada di rumah ini. Tapi, Erik juga tidak mungkin pergi keluar begitu saja. Jadi, dia kembali meneruskan langkahnya.
Erik sengaja duduk di sisi lain sofa, lebih dekat dengan bunda Abi. Dia di suguhi satu box ayam goreng berukuran sedang dan segelas soda dingin.
Abi mulai ngeh dengan keberadaan orang asing yang duduk di sebelah bundanya, berulang kali dia mengedipkan mata dan mengucek wajahnya untuk memastikan bahwa apa yang dia lihat ini hanya sebuah halusinasi. Erik balas memandangi matanya, dan seketika itu Abi percaya kalau dia memang hanya berhayal. Dengan acuh, dia melanjutkan kegiatan makannya.
"Tante lupa nanya, nama kamu siapa?" tanya bunda tiba tiba, yang membuat Abi melongo dan menjatuhkan sayap ayam yang sedang ia kunyah. Lalu dengan cepat menoleh ke arah Erik.
Bukan ... Halusinasi?
"Kamu ngapain di sini!" teriak Abi. Dia berdiri sembari menunjuk kasar pada Erik dengan sepotong ayam yang masih dia pegang.
Dua orang yang melihat tingkah aneh Abi, menautkan kedua alis mereka dan saling melempar pandang sesaat. Erik menghela napas berat, lalu berusaha memberi senyuman meski terlihat sedikit kikuk. "H-hai,"
Berkunjung ke rumah seseorang tanpa pemberitahuan terlebih dulu memang sebuah ide yang buruk. Dan Erik baru menyadarinya kali ini. Berulang kali, tatapan sinis melayang ke arahnya saat dia mencoba mengunyah makanan dengan tenang. Abi benar benar merasa terganggu dengan keberadaan Erik. Makanya setelah dia menghabiskan makanannya, dengan cepat ia pergi ke dalam kamar.
Meskipun merasa sedikit aneh dengan tingkah anaknya, sang bunda tidak mencurigai apapun. Dia menyuruh Erik menemui Abi saat Erik hendak meminta izin untuk pulang. "Pintunya nggak pernah di kunci, jadi masuk aja." ujar sang bunda.
Erik menurut, dengan perlahan ia buka kenop pintu kamar Abi dan masuk ke dalam. Terlihat olehnya, Abi sedang berbaring di ranjang dengan tubuh di balut selimut.
"Bi,... Boleh bicara sebentar, nggak?" tanya Erik yang kini mendekat dan berdiri di depan wajah Abi.
"Ya ngomong, aja. Aku nggak peduli." sahut Abi ketus.
"Kamu marah, yah? Alesan aku dateng ke sini cuma mau jelasin kalo, orang yang kamu liat di apartemen aku itu cuma kakak aku, bukan temen apalagi pacarku. Kamu percaya, kan?" tutur Erik menjelaskan.
Abi berdecak. "Emang aku nanya? Kayaknya nggak, deh."
"Aku,.. Aku cuma takut kalo kamu salah paham."
"Salah paham? Emangnya penting ya kalo aku salah paham? Kita, kan bukan siapa siapa. Nggak usah ngedrama, deh."
"Kalo kamu nggak salah paham, kamu nggak bakalan marah kayak gini."
"Siapa yang marah!" protes Abi tegas. Dia tidak terima di tuduh seperti itu meski nyatanya, dia memang sedikit kesal.
Erik membuang napas lesu. Abi menyangkal kalau dia sedang marah padahal nada bicaranya saja sudah sangat jelas terbaca. "Yaudah, aku mau pamit pulang. Bagus kalo kamu emang nggak marah. Aku lega." ujar Erik dengan kaki yang siap melenggang keluar, tapi dia sengaja memperlambat langkahnya, hanya ingin memastikan apakah Abi akan mencegahnya atau tidak. Ya, meski semua sudah dia bayangkan dari awal, Abi bahkan tidak bergeming sedikit pun.
......
Raiga POV
Preinan bersandar pada bahuku, sepertinya dia lelah dan mengantuk. Aku memegangi punggung tangannya dan mengusapnya dengan lembut. Kami tengah duduk di tepian ranjang miliknya. "Rai, kamu tahu? Kenapa aku lebih milih tinggal sama Papah di banding Mamihku?"
Aku mengerlingnya sejenak, lalu menggeleng pelan.
"Karena Mamih udah nikah lagi. Aku nggak mau tinggal sama orang asing yang harus aku panggil Papah juga. Aku nggak mau ...,"
Aku mengusap kepalanya perlahan, kemudian memeluk tubuhnya. "Nggak apa apa, kamu masih punya Papah kamu, kok." ucapku menenangkan.
"Tapi, tadi aku liat dia sama perempuan. Aku takut Papah punya hubungan lagi." gumamnya lesu.
Aku kecup rambutnya dengan lembut, seraya membisikan kata yang menenangkan. "Kita, kan nggak tahu ... Barangkali dia cuma temen Papah kamu. Jangan terlalu di pikirin. Mending sekarang kamu tidur. Aku bakal temenin kamu malem ini."
Preinan mengangkat kepalanya. Lalu memberiku lengkung bibir yang manis. Kepalanya mengangguk pelan kemudian kembali memeluk tubuhku.
Aku menepuk nepuk punggungnya saat dia akhirnya tertidur di dekapanku. Ku tarik selimut yang ada di bawah kaki dan ku balutkan pada tubuh kami berdua. Preinan akhirnya tertidur lelap. Kini, tinggal giliranku yang mesti mengikutinya ke alam mimpi.