.
.
.
.
Preinan POV
"Kok, kamu nggak kasih tahu aku, sih? Itu, kan kejadian udah lama banget," aku menggerutu pada Raiga.
Setelah aku ceritakan tentang Abi padanya saat di perjalanan pulang, dia malah bilang kalau dia sudah lama tahu. Jelas saja aku merasa kesal.
"Aku kira, Abi udah kasih tahu kamu dari dulu," Raiga membela diri.
Aku melipat kedua lenganku di dada, lalu mendelik. "Ya, kan, buktinya nggak."
Dengan entakan kaki yang ketus, aku berjalan masuk dan meninggalkan Raiga di halaman rumah.
"Masa kamu marah, sih." Raiga berjalan menyusul. "Kan, itu urusan pribadi mereka,"
Aku menghela napas, lalu berbalik menghadap Rai. "Bukan marah. Ya, aku cuma nggak nyangka aja. Lagian, siapa coba yang nggak kaget waktu denger cerita kayak gitu,"
Raiga mangut mangut, seolah menyepelekan apa yang aku rasakan. "... Atau, jangan bilang kalo kamu juga mau?" balas Raiga menggodaku.
Aku mendengus geli, kemudian ku cubit lengannya dengan keras hingga dia mengaduh. "Mau apa?!" balasku dengan beralih mencubiti seluruh badannya. "Mau aku cubitin sampe badan kamu biru biru, gitu?"
Raiga menyerah dengan seranganku, dia meminta ampun dengan menyatukan kedua tangannya di kepala. "Maaf, maaf ... Aku cuma bercanda, kok."
"Tuan!"
Suara pak Eko terdengar dari dalam rumah, dia berteriak memanggilku dengan menunjuk nunjuk ke dalam ruang tamu. "Ada Nyonya besar," bisiknya begitu pelan. Tapi, aku masih dapat memahami gerak bibirnya.
Aku kembali berjalan, dan masuk ke dalam ruang tamu. Di sana ada seorang wanita setengah baya yang cantik nan modis sedang duduk dan meminum secangkir teh dengan santai. Dan seseorang yang lain yang duduk tak jauh darinya.
"Mamih?" panggilku saat sampai di ambang pintu.
Dia menoleh dan memberiku senyuman hangat yang manis. Kemudian bangkit dan menghampiriku.
"Hai, sayang." sapanya dengan memeluk tubuhku dengan erat. "Mamih kangen sama kamu,"
Aku memalingkan wajahku, dan tak ku balas sedikit pun pelukan dari Mamih sampai dia melepaskannya sendiri.
"Do you miss me?" tanyanya sembari mengusap suraiku yang berantakan.
"No, sama sekali," aku menjawab dalam hati. Karena memang, kenyataannya memang seperti itu. Tapi, aku tidak mungkin berkata begitu kepadanya, jadi aku hanya menyunggingkan sedikit senyuman lalu menjawab. "Ya, I miss u."
Pak Eko datang dengan membawa baki minuman untukku, dan ia taruh di atas meja. Aku menarik lengannya saat pak Eko berjalan melewatiku. Membuatnya menoleh seketika. "Ya? Tuan perlu sesuatu?"
"Raiga, di mana?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Oh, barusan dia pamit. Katanya kalau tuan sibuk, dia mau langsung pulang ke rumah saja,"
"Eh? Kok pulang, sih."
Buru buru aku berlari dan menyusul Raiga. Dia tidak boleh pulang. Dia harus tetap di sini bersamaku. Aku tidak bisa berada di satu tempat dengan Mamih dan suami asingnya sendirian. Aku butuh teman.
"Raiga!!!" teriakku saat dia hampir saja memutar motornya.
Raiga berhenti. Dia membuka helmnya dan menatap ke arahku. Aku mempercepat lariku, hingga akhirnya sampai padanya dan langsung memeluk tubuhnya.
Dengan napas yang tersengal aku memohon agar dia tidak pergi. "Jangan pulang," aku mencoba mengatur napas. "Bisa, kan? Kamu nemenin aku di sini,"
"Ada apa? Bukannya tadi pak Eko bilang kamu punya tamu khusus? Kok, malah ngejar aku ke sini, sih."
"Kamu temenin aku di sini, atau bawa aku pergi sama kamu." mau tak mau Raiga harus memilih salah satu di antara tuntutanku.
Dia terdiam sejenak. Kemudian memegang kedua pundakku. "Yaudah. Aku bakal temenin kamu di sini,"
...
"Why do you keep insisting on taking him home with us? You know, right? he never liked me." seorang lelaki berparas tinggi terdengar tak terima dengan suatu hal.
"Roger stop! Haven't we talked about this already? Why are you bothering it now?" Suara Mamih menyusul. Terdengar olehku percekcokan ringan sebelum aku kembali masuk bersama Rai.
"No, it's not like that. I just ...," Roger tak melanjutkan kalimatnya saat melihatku masuk. "Ah, whatever." dia mengibas tangannya ke udara.
Roger adalah suami baru Mamihku. Dia pasti di paksa datang kemari oleh Mamih untuk ikut membujukku agar tinggal bersama mereka. Tapi, aku tetap pada pendirianku untuk tinggal di rumah ini dengan Papah.
Raiga mematung di ambang pintu. Aku menarik lengannya agar ikut masuk dan menghadap Mamihku.
"Dia siapa?" Mamih terlihat penasaran.
Aku menyunggingkan senyum sambil merangkul lengan Rai dengan sengaja. "Dia pacarku," ujarku tanpa rasa takut sedikit pun.
Mamih terdiam, begitu pun dengan Raiga yang menatap aneh kepadaku. Tanpa basa basi, aku menarik Raiga untuk duduk bersebelahan denganku di sofa.
"Sayang, are you serious?" tanya Mamih kemudian.
Aku mengangguk cepat. Dan menunjukan gestur seolah aku benar benar penuh keberanian saat mengakuinya. "Ya, aku serius,"
Tiba tiba dia tertawa, namun suaranya terdengar hambar. "Anak jaman sekarang emang bener bener, yah." Mamih berjalan lalu duduk di bagian sofa yang lain. "Mamih ngerti, kok. Mungkin kamu cuma lagi mencari jati diri. Sama kayak Mamih dulu. Tapi, lambat laun ... Kamu pasti nemuin jalan yang benar lagi, trust me."
Aku menautkan alis. "Jadi menurut Mamih, sekarang Mamih udah nemuin jalan yang benar?" sindirku dengan melirik sinis pada Roger.
"Hah, kamu ini. Mamih udah nggak mau bahas itu lagi ya, Prei. Kedatangan Mamih kesini cuma mau ngajak kamu buat tinggal sama kami,"
"Tapi Preinan nggak mau," tukasku cepat.
"Apa enaknya, sih. Tinggal sama laki laki yang bahkan nggak pernah peduliin kamu? Mamih heran, deh." ujarnya dengan menyindir nama Papah.
Aku mendelik. "Terus menurut Mamih, apa enak tinggal sama laki laki yang bahkan nggak suka sama aku?!" sahutku tak mau kalah. Sembari melempar tatapan buruk pada pria yang duduk di sampingnya.
Raiga mengusap punggungku perlahan untuk menenangkanku. Dia tidak membuka suara. Tapi, aku yakin kalau Raiga mengerti seberapa peliknya posisiku.
"Roger sudah berubah. Dia janji akan belajar buat lebih care sama kamu. Lebih ngertiin kamu, dan lebih mengalah sama kamu. Apa kamu nggak mau belajar juga seperti dia?" hah, Mamih selalu saja membelanya.
"Terserah Mamih, deh. Yang jelas aku tetep bakal tinggal di sini, titik!" sahutku penuh penekanan.
Mamih menghela napas panjang. Kemudian mendadak seisi ruangan senyap seketika, hingga suara dari ponsel yang berdering memecah keheningan. Mamih beranjak dan menerima panggilan yang masuk itu di luar.
"Can't you just obey and go with us? Be a good boy. And don't bother me!" celoteh Roger tiba tiba. Yang membuatku seketika menoleh.
"Apa?!" aku tak habis pikir dengan apa yang baru saja dia katakan. "Don't you see yourself, Roger? you are the one who troubles my Mam! disturb my life and destroy my family!" bentakku kepalang emosi.
Apa dia tidak punya kaca? Dia lah orang yang menggoda Mamihku dulu dan membuat keluargaku hancur. Dia lah yang penganggu. Tapi, berani beraninya dia berlaga seolah aku yang menyusahkan orangtuaku.
Dia terlihat kesal, tapi tak mampu melakukan apapun karena ia sedang berada di rumahku. Di bawah penguasaanku.
"Rai," aku mengalihkan pandanganku pada Raiga. "Aku mau nginep di rumah kamu aja,"
"Eh? Tapi ...," Raiga terlihat ragu ragu.
"Boleh, kan?"
"Ya, boleh. Tapi, Mamih kamu gimana?"
"Aku nggak peduli," aku mengerling Roger sekilas dengan ekor mataku. "Nanti juga bakal pergi sendiri."
Raiga memberi anggukan pelan. Lalu aku tarik lengannya untuk mengikutiku ke kamar. Membereskan beberapa pakaian, kemudian minta izin pada pak Eko.
Di pintu luar, Mamih menghadangku dengan berdiri di tengah jalan. "Kita belum selesai bicara, Preinan. Kamu jangan coba coba buat kabur."
"Tapi aku udah selesai, Mam. Aku mau pergi sama Rai." ucapku tegas, kemudian berjalan melewatinya dengan menarik lengan Raiga.
Mamih berbalik, lalu mencoba menghentikanku. Tapi, kekukuhanku dengan mudah membuatnya menyerah. Dia terdengar membuang napas kasar saat aku beranjak meninggalkannya. "Preinan!"
....