Chereads / Love you, My Prince / Chapter 32 - Perangsang

Chapter 32 - Perangsang

.

.

.

"HAH!!" Abi menganga. "What tha! ... Kamu gak waras, ya. Masa naro obat gituan sembarangan!" Abi tiba tiba ketakutan.

"Aku nggak mau tahu. Kamu harus tanggung jawab! Kalo nggak, aku bisa mati ...," Erik dengan kasar menyeret Abi, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang.

"Yack, big BASTARD! Aku nggak mau!" Abi masih berusaha berontak.

"Suuttt, jangan berisik. Nanti tetangga sebelah bisa denger," Erik menyumpal mulut Abi dengan ciuman.

Tangan kanannya dengan kuat mengunci kedua tangan Abi, sementara tangan kirinya sibuk merabut pakaian dan celana yang Abi pakai, tanpa melepaskan ciuman mautnya dari mulut Abi.

Abi mengerang, semua pergerakannya menjadi sempit kala Erik ikut menindih tubuhnya yang sudah telanjang bulat.

"Berengsek!! Jangan terlalu kasar, aku masih mau hidup buat balas dendam sama kamu!" Abi memaki saat ciuman ganas Erik terlepas.

Erik tersengih, melihat Abi kini di bawah kekuasaannya, membuat dia tak sabar untuk menikmati setiap inci tubuh Abi.

Erik mendecak. Lalu dengan cepat melucuti celana pendek yang ia pakai.

"Aku janji, aku bakal ngelakuin ini selembut mungkin," tutur Erik halus, lalu membelai rambut Abi yang menutupi kening.

Dia mengecup kening putih itu dengan lembut, kemudian kembali melumat bibir Abi. Cepat namun lebih lembut dari sebelumnya, sesuai titah junior itu.

Dia menyeka tangannya diantara paha Abi, kemudian perlahan ia buka lebar lebar sampai Abi meringis malu. Kedua kaki jenjang itu ia taruh di bahunya agar pinggang Abi terangkat, lalu dia posisikan barangnya yang sudah menegang tepat pada hole Abi yang mengerat.

"Tunggu!!" Abi melepas ciuman mereka.

Erik menautkan alisnya, melirik ke arah wajah Abi yang terlihat ketakutan.

'Apa dia nggak pake lotion atau semacamnya?!' Abi hanya mampu bertanya dalam hati. Dia terlalu malu untuk menanyakan hal gila seperti itu langsung pada Erik.

"Jangan takut ... Ini nggak akan lama, tahan sebentar, ya," Tutur Erik menenangkan. Tapi, bukan itu yang sebenarnya Abi khawatirkan. Kini, Abi hanya bisa memejamkan matanya dalam dalam, dan berdoa agar dia tidak terbunuh saat Erik meringsek masuk ke dalam dirinya.

...

1 jam kemudian.

"Cih, berani banget si Erik nggak angkat telpon. Awas aja, jatah makanannya aku ambil nanti," Emi menggerutu. Dengan kesal ia memasukan ponselnya ke dalam saku.

Dia kini berjalan menyusuri lorong, dan hampir sampai di kamar adiknya. Berulang kali dia menelpon Erik agar membantunya membawa belanjaan dari parkiran. Tapi, Erik tidak kunjung mengangkat telponnya. Terpaksa ia membawa dua kresek besar itu sendirian.

Baru saja kenop pintu ia putar ketika tiba tiba suara erangan keras terdengar dari dalam ruangan. Emi memundurkan kakinya selangkah karena terkejut. Kemudian dengan hati hati ia tempelkan telinganya pada permukaan pintu, untuk memastikan suara apa yang ia dengar barusan.

Maklum saja, adiknya Erik tinggal di apartemen murah yang dindingnya sendiri bahkan tidak kedap suara, dengan dua kamar tidur yang sempit, dan lokasi yang berjauhan dengan jalan raya utama. Tidak ada yang menguntungkan dari tempat ini selain uang sewa yang rendah.

Rasa penasarannya meningkat kala suara lain berhasil ia dengar. Dengan perlahan ia membuka pintu tanpa membuat suara sedikit pun, lalu mengendap endap ke dalam dengan punggung yang menempel di tembok.

Rahangnya menegang, dan kedua bola matanya membelalak terbuka. Hal gila yang baru saja ia intip dari ranjang Erik benar benar membuatnya tercengang hebat. Dia baru saja akan berteriak, tapi buru buru ia tutup mulutnya sendiri lalu berusaha mengatur napas sebelum akhirnya merayap menuju pintu dan keluar.

"Edan si Erik! Goblog banget, sialan!" maki Emi pada dinding lorong yang ia tendang.

Setelah emosinya sedikit mereda, dia duduk bersandar berhadapan dengan pintu kamar apartemennya. Lalu, dengan santainya mematik korek api dan menyulut sebatang rokok yang ia rogoh dari sakunya.

"Fyuhh ...," segumpal asap tebal keluar dari mulutnya. "Enaknya di apain, ya, itu anak. Di gorok? Atau ...," Emi memutar mutar puntung rokok yang dia pegang. "Hah, biarin aja, lah. Toh, dia juga udah gede,"

..

Seseorang yang tinggal di kamar sebelah mulai jengah dengan erangan dan desahan yang ia dengar. Meskipun sudah memakai earphone tapi tetap saja, suara suara menyebalkan itu masih bisa menembusnya.

Dia keluar dengan marah, dan bermaksud untuk melayangkan protes, tapi saat melihat Emi yang duduk di luar kamar, dia memutuskan untuk menghampirinya dan melampiaskan kemarahannya pada Emi.

"Kamar sebelah lagi ngapain, sih? Berisik! Ganggu tahu nggak!" protesnya pada Emi.

Emi mendelik, dan tidak terlalu menghiraukan tetangganya itu. "Kalo mau protes, langsung sana sama orangnya. Aku nggak punya urusan." jawabnya ketus.

Tetangganya itu hanya merengut, karena dia sendiri nyatanya tidak berani melabrak langsung. Dia mengentakkan kaki dengan kesal lalu memakai sepasang earphonenya kembali, kemudian masuk lagi ke dalam kamarnya.

..

"Ahg ... Hahg ... Stop, aku nggak kuat lagi ...," Abi merintih.

Sudah hampir satu jam lebih Erik menyiksa dirinya, bahkan tubuh bagian bawahnya sudah terasa keram dan mati rasa.

"Sebentar lagi. Hahg ... Aku janji ini yang terakhir," Erik mengerang lesu. Sebenarnya dia sendiri sudah sangat lelah, tapi nafsunya masih belum tersalurkan sepenuhnya.

"Kamu bunuh aja aku sekalian, sialan! Arhg ... Aku bener bener udah nggak kuat,"

Erik menyumpal mulut Abi yang bengkak dengan ciumannya lagi. Dia tidak tahan dengan keluhan Abi di sepanjang permainan. Erik sadar kalau ini sudah pelepasan ke tiganya. Dan efek obat perangsang sebenarnya sudah hilang saat pelepasan pertama. Sisanya, memang hanya hasrat pribadi.

Erik melajukan tempo hentakannya dan membuat Abi meringis ngilu, di sela mulut yang tersumpal ciuman, lolongan sedihnya mengeruak, di ikuti desahan nikmat kala Erik mengeluarkan pelepasan ke empatnya.

"Agh ...," desah keduanya secara bersamaan.

Erik mengeluarkan bayi kecilnya yang terasa ngilu, lalu memberi kecupan hangat terakhir pada kening Abi yang basah. "Makasih banyak, sayang," tuturnya pelan.

Abi terengah engah, sekaligus menarik napas lega, dia mengacungkan jari tengahnya pada Erik sebelum kesadarannya menghilang.

...

Erik membalut tubuh Abi dengan selimut, lalu ia sendiri pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi dan berendam, tubuhnya terasa lebih baik. Ia mengambil ponsel yang ada di atas meja kemudian duduk di sofa.

Melihat misscall yang menghujani layar, dia menekan sebuah nomor lalu menelponnya.

"Hallo, kak. Sorry tadi Erik nggak lagi pegang ponsel,"

"Udah selesai kuda kudaannya?" tanya Emi dari sebrang telpon.

Erik melongo, dia terkejut kak Emi tahu tentang dia yang bermain dengan Abi. "Kok?"

"Kakak masuk," sambungan telpon terputus. Di ikuti suara pintu yang terbuka.

Emi berjalan dengan biasa sembari menatap adiknya dengan sinis. Di lemparnya sebuah kantong berisi makanan yang sudah dingin. Lalu berjalan ke dalam kamarnya. "Makan tuh semuanya. Kakak nggak nafsu lagi,"

Erik menaruh bungkusan itu di meja, kemudian mengikuti langkah kakaknya. "Mau kemana?" tanya Erik saat melihat Emi mengemas beberapa pakaian dari lemari.

"Mau tidur di hotel! Nggak sudi kakak tidur di tempat bau sperma kayak gini," jawabnya ketus.

Dan setelah mengepak beberapa keperluannya, Emi berjalan keluar dan membanting pintu dengan keras. Meninggalkan Erik yang masih mematung dengan pertanyaan pertanyaan yang berputar di benaknya.

"Kok, kak Emi bisa tahu, sih?"