.
.
.
.
.
Raiga POV
"Rai... Mm, mau nanya dong." Erik menarik kursi dan duduk di depanku. Melihat gerak geriknya yang aneh, aku curiga kalau dia akan menawariku film porno seri terbaru.
"Ya, tanya aja lah." timpalku dingin.
"Eu..., anu ...," dia menggaruk kepala seolah ragu dengan hal yang akan dia ucapkan. Aku mengerutkan alisku dan mengganti pokusku dari buku pelajaran menjadi mata Erik yang terlihat gusar.
"Apa?." tanyaku yang mulai penasaran.
"Temen Preinan yang waktu itu,... eu, namanya siapa?."
"Yang mana?."
"Ih, yang malem itu kamu tinggalin bareng aku!."
Aku memutar bola mataku, mencoba mengingat siapa yang Erik maksudkan. "Oo! dia...," aku menjentikan jari. "Emang kalian nggak sempet kenalan?." aku bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan Erik terlebih dulu. Aku mulai sedikit curiga mengenai hal yang dia tanyakan kali ini.
"Nggak sempet lah. Jangankan kenalan, aku ngajak dia ngomong aja susahnya minta ampun." Sahutnya dengan wajah yang masam.
"Hah? Setahuku... dia bukan orang yang jutek, kok." walaupun sebenarnya aku juga menebak nebak.
"Nggak tau, deh. Aku sendiri juga bingung... hah." dia mendengkus frustasi. Dan menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangan.
Tingkah aneh Erik kali ini, membuatku menggelengkan kepala. "Terus ngapain kamu tanya tanya nama dia segala... kamu mau minta ongkos yang kamu pinjemin? Perhitungan banget, sih... iklasin aja, kenapa." sahutku sedikit menuduh. Secara Erik itu memang perhitungan kalau soal uang.
Tapi dia balas dengan tendangan di kakiku. "Cerita juga belum, udah negatif thinking aja...,"
"Yaudah sorry... ceritain, coba."
Mendengarku, wajahnya kembali tegang. Dia terlihat mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya ke arah telingaku, lalu mulai membisikkan sesuatu.
"Aku,... nidurin dia ...,"
"HAH!!!" mataku membulat. Bibirku pun ikut menganga saking terkejutnya. Untuk beberapa saat aku terpaku. Dan dengan sedikit ragu aku melihat ekspresi wajahnya sekali lagi. Aku hanya ingin yakin kalau dia cuma sedang bermain main.
"Nid... maksudnya, tidur bareng? Cuma tidur, kan? Rik, sialan... bikin kaget tahu nggak! Aku sampe ngira barusan itu serius...." sahutku terbata bata.
Erik menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada kursi. Wajahnya terlihat muram, aku pikir dia merasa kalau aku menganggapnya sedang berbohong. Padahal aku memang berharap ini hanya lelucon.
"Kita... bahkan, praktekin banyak posisi," celotehnya yang seketika membuatku menelan ludah. "Dia itu, luar biasa ...."
Aku menghela napas berat, masih tak ingin percaya dengan apa yang Erik bicarakan. Banyak hal yang ingin aku tanyakan, tapi rasanya begitu shock sampai tak bisa berkata apapun.
Temanku yang satu ini, benar benar sangat...
Brengsek!!
******
"Bi ...," Panggil Preinan pelan. Dia ingin memastikan kalau teman sebangkunya ini sudah tidak marah lagi padanya. Tapi Abi hanya mengerling sekilas, tanpa menyahuti panggilannya. "Aku, mau pergi ke kantin sama Rai... kamu mau ikut?." tanyanya dengan mata yang berbinar dan penuh harap.
"Nggak." jawab Abi dingin.
Preinan hanya mengusap tengkuk dengan canggung, dan memilih beranjak menuju Raiga yang sudah menunggunya di depan pintu kelas. Dia pikir Abi mungkin masih butuh waktu untuk memaafkannya.
Abi mendelik sesaat, lalu kembali pada buku matematika di hadapannya. Dia sebenarnya sudah lelah menyalahkan Preinan atas apa yang dia alami malam itu. Tapi tetap saja dia merasa marah, karena tidak ada orang yang bisa dia ajak berbagi beban.
"Argh!." teriaknya frustasi dan membanting pulpen ke sembarang arah.
Abi tidak mau seperti ini terus. Dia hanya punya Preinan, satu satunya orang yang betah berteman dengannya. Jika Preinan mulai memilih teman baru karena sikapnya, mungkin dia tidak akan punya teman lagi.
Abi memundurkan kursi dan beranjak untuk menyusul Preinan ke kantin. Kali ini, dia memutuskan untuk melupakan semua kejadian buruk itu dan memilih menjalani kehidupan normalnya seperti biasa.
'Cuma perlu minta maaf, dan semuanya bakal seperti semula' gumamnya penuh percaya diri.
......
"Eh, tahu nggak? Ini tuh keluaran terbaru... Bbeh! Keren deh pokoknya, masa kalian nggak tertarik, sih?." tegas Erik pada ketiga temannya. Dia terus mempromosikan film fim laknatnya pada siapapun yang dia temui sejak pagi.
Penghasilan dari penjualan barang haram itu sangat membantu keuangannya di era krisis akhir bulan ini. Maklum, orangtuanya hanya mengirimkan uang setiap awal bulan saja. Dan itupun masih di rasa pas pasan.
Teman temannya tetap menggeleng menolak dan mengacuhkan Erik yang semakin banyak bicara. Sementara Erik yang pantang menyerah, terus berusaha mencari peluang. Meskipun harus mengikuti kemanapun teman temannya melangkahkan kaki.
"Erik stop! Please, kita itu mau ke kantin. Apa kamu tega ngomongin film jorok itu waktu kita lagi makan?."
"Ah, maaf." Seketika Erik menghentikan langkah kaki dan juga mulutnya. Dia rasa sudah cukup usahanya hari ini. Tidak apa apa jika tidak dapat pelanggan. Toh, yang namanya berbisnis tidak harus selalu mulus.
Dengan wajah murung dia kembali melangkah menuju kelas. Seseorang yang memperhatikannya dari sudut lorong hanya melipat tangan di dada dan menggeleng kepala. Dia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.
"Nggak semua orang itu otaknya mesum dan bejad kayak kamu. Jadi berenti deh ngelakuin hal bodoh kayak barusan." ucapnya pedas saat Erik berjalan tepat melewatinya.
Erik mengangkat kepala, dan langsung menoleh pada orang yang baru saja bersuara. Betapa terkejutnya dia saat mendapati sosok Abi, sedang menatap ke arahnya.
"Kamu ...," Ucap Erik gemetar, sambil terus menatap wajah Abi yang tampak tak ramah.
Abi mendengus dan kembali berjalan ke arah kantin tanpa menghiraukan Erik yang masih mematung memandanginya. Namun, seketika Erik tertegun dan langsung menyusul langkah Abi yang semakin menjauh.
Kali ini, dia harus berhasil berbicara dengan Abi.
Bagaimana pun caranya.
"Tunggu!." Erik menangkap tangan Abi dari belakang dan sontak membuat pria kecil itu menoleh kaget. "Kakak mau ngomong sama kamu." seru Erik yang tanpa basa basi menarik tangan Abi ke arah lain.
"Nggak mau. Lepas!." sahut Abi berontak. Dia tidak sudi lagi berurusan dengan senior yang sudah merenggut masa depannya ini. "Lepas atau aku bakal aduin kamu ke guru." ancamnya.
Tapi Erik tak gentar, dia sama sekali tidak peduli jika harus di hukum nantinya. Dia hanya ingin bicara dengan Abi. Menyelesaikan semua kesalahpahaman yang ada di antara mereka.
Abi mulai frustasi. Dia tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri dari cengkraman Erik. Karena sekuat apapun dia berontak, Erik sama sekali tidak berhenti.
Seorang guru terlihat berjalan dari arah depan mereka. Abi berusaha berteriak dan meminta bantuannya. Tapi sang guru hanya menatapnya sekilas tanpa memperdulikan penderitaan yang sedang dia alami. Dan saat guru tersebut tepat berpapasan dengannya, Abi menarik semua barang yang dia bawa.
Awalnya hanya ingin mencari empati sang guru. Tapi tumpukan kertas ulangan dan sebuah box makanan yang tumpah berceceran di lantai membuat dia mendapatkan sepasang tatapan bengis.
Langkah Erik terhenti seketika dan dia berbalik untuk melihat kegaduhan apa yang Abi perbuat di belakangnya. Wajahnya terlihat kaget saat bu Citra menatap Abi dengan penuh kemarahan. Dia meneguk ludah berat. Sudah jelas sekali kalau mereka berdua akan mendapatkan hukuman berat.
........
"Gosok sampai bersih! Kalau saya balik lagi dan wc ini masih kotor, saya akan kasih kalian hukuman yang lebih berat lagi. Ngerti!!!" seru bu Citra dengan pandangan mata yang membulat sempurna. Erik sampai mengira, jika bu Citra tidak memakai kaca mata mungkin sepasang bola matanya kini sudah melompat keluar.
"Iya bu ...," sahut Erik dan Abi bersama.
"Bagus." ucap guru garang itu, sebelum akhirnya beranjak pergi.
"Ck, aku gak mau bersihin wc." Kata Abi dengan melempar gagang pel yang dia pegang. Dia tidak terima diberi hukuman menjijikan seperti ini.
Erik menghela lesu dan memungut kembali pel-an yang Abi buang. "Yang bikin kita dihukum kan kamu." ucapnya sembari menyodorkan gagang pel itu pada Abi.
Abi mendesis kesal dan menarik benda sialan itu dengan kasar. "Ya ya terserah. Salahin aja terus."
......
Baru beberapa menit Abi menggosok lantai jamban, mulutnya sudah banyak mengeluh.
"Bau...,"
"Capeee."
"Arght, kenapa nggak beres beres sih!." keluhnya lagi sembari menendang ember berisi air keruh bekas mengepel lantai. Alhasil semua isinya tumpah membanjiri bilik yang sudah dia bersihkan. "Ahhhhrrgggttt!!!"
"Hei,... kamu cape? Istirahat dulu aja, biar kakak yang ngerjain sisanya."
Wajah Abi berubah bersinar saat mendengar ucapan Erik. Raut wajahnya tidak lagi menyiratkan kekesalan. Melainkan rasa lega dan senang. "Oke. Beresin ya." sahutnya tanpa dosa, lalu membuang gagang pel sialan itu ke sudut, dan beranjak dari tempat busuk itu.
Erik menggelang lesu. Mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa terus mendengarkan keluhan Abi sepanjang waktu. Itu membuat telinganya meradang.
...
"Woy biasa aja dong!." seru seseorang dari luar toilet. Meski sedikit mengusiknya, Erik memilih untuk tidak ikut campur dalam keributan macam apapun.
"Heh! Yang salah itu kamu. Gak usah nyolot!." sahut seseorang yang lain. Suara orang itu seketika membuat Erik tertegun.
.....
"Kamu itu cuma junior. Kamu berani ngelawan kita bertiga, hah!." sentak orang itu yang langsung membuat Abi naik pitam.
Kini dia berhadapan dengan tiga senior yang tidak sengaja menabraknya tadi. Jika mereka meminta maaf, Abi mungkin tidak akan pempermasalahkan hal ini sedikitpun.
Abi tertawa tertahan, melihat tiga pria besar yang kini mulai menyudutkan dirinya. Membuatnya merasa prihatin. "Hah... ngaku senior tapi mainnya keroyokan. Gak malu, ya?." nyinyir Abi.
"Eh, ngelunjak ya ini anak." sambar seseorang yang berperawakan tinggi, dan dengan sengaja mendorong dada Abi hingga dia jatuh terduduk.
Abi meringis. Dan seketika memegangi panggulnya yang terasa nyeri.
"Aiss, sialan."
'Semoga bekas lukanya nggak robek lagi.