.
.
.
Preinan POV
Bel tanda masuk sudah berbunyi.
Buru buru aku berlari ke dalam kelas dan duduk di bangku milikku dan Abi. Tapi sepertinya, Abi masih belum terlihat. Biasanya, dia selalu datang lebih awal. Apa mungkin dia tidak masuk sekolah hari ini? Kira kira kenapa ya...
Sebelum guru memulai kelas, aku mengeluarkan ponsel dari saku dan mencari kontak Abi. Tak butuh waktu lama, Abi langsung menjawab panggilanku.
"Enggak perlu nelpon, aku udah hampir sampe." lontarnya cepat dan langsung menutup sambungan telpon dariku.
Dia ini kenapa? Apa dia masih marah soal malam itu?.
Hhhh..
Persis seperti katanya. Dia akhirnya masuk ke dalam kelas dengan menebar aura suram. Aku tidak tahu kenapa dia begitu kacau pagi ini. Dia bahkan tidak mengancingkan baju dengan benar.
"Bi ...." panggilku pelan. Melihat wajahku yang penuh tanda tanya, dia dengan sendirinya bercerita.
"Aku marah sama kamu." serunya sambil duduk tepat di samping kursiku. "Kenapa malem itu kamu ninggalin aku sendirian, sih."
"Aku... aku minta maaf, aku sama sekali nggak bermaksud begitu."
"Ya, ya... terserah. Toh, udah kejadian juga." sahutnya dingin.
Abi sepertinya sangat marah.
Aku menarik kursiku dan mendekat padanya. "Emang ada kejadian apa?." tanyaku dengan mata yang tak lepas dari wajahnya.
Wajah Abi mengerut, sepertinya memang ada hal yang dia sembunyikan dariku. Tapi... apa?.
"Bi ...," panggilku lagi, dia tidak menjawabku sama sekali.
"Bukannya, malem itu kamu barengan sama temennya Rai? Emang nggak di anterin pulang?." tanyaku lagi.
Tapi Abi malah mendecak, seolah kesal dengan apa yang baru saja aku tanyakan. "Ck, udah deh. Gak usah di bahas lagi. Malesin tahu nggak..."
"Ya, maaf...." perlahan aku menarik kursiku ke tempatnya semula. Aku pikir Abi memang sedang marah. Apa karena memang tidak di antar pulang? Hhh... Senior itu kejam sekali.
***
"Bi... pinjem pulpen, dong." bisikku. Aku sengaja menjatuhkan semua pulpenku agar bisa meminjam miliknya. Sekaligus mengajaknya bicara.
Tapi Abi hanya mengerling sejenak, lalu menggeser kotak pensil miliknya ke arahku. Sikapnya sangat dingin. Dan membuatku kebingungan sendiri. Aku menghela napas, dan tak berniat mengganggunya lagi. Aku bahkan tidak yakin kalau dia akan mengajakku ke kantin bersamanya nanti.
Hhhh...
"Preinan ...." Panggil bu Rossa dari di depan kelas.
Aku menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi. Kenapa bu Rossa tiba tiba memanggilku? "Iya, bu?."
"Kemari. Ada yang mencari kamu, tuh." sahutnya sambil menengok ke arah pintu.
Mencariku?
Siapa?
Aku bangun dan berjalan ke arah pintu kelas. Aku penasaran siapa yang mencariku di tengah jam pelajaran begini...
"Raiga!." ucapku nyaris kaget. Dia terlihat dengan santainya bersandar pada dinding di balik pintu. Dan memberiku senyuman tipis yang aneh.
"Bu, saya bawa Preinannya sebentar, ya." kata Raiga yang melambaikan tangannya pada bu Rossa. Lalu menarik lenganku.
"Jangan lama lama..." sahut bu Rossa keras. Karena Raiga menarikku pergi begitu saja dari kelas.
Aku sangat bingung. Apa yang Rai mau dariku? Apa dia sangat tidak bisa menunggu sampai jam istirahat?...
Aku sengaja menghentikan langkahku. Dan menarik lenganku kembali. Jelas saja aku tidak mau di bawa pergi ke tempat yang bahkan tidak aku tahu.
"Kenapa berenti?." tanya Rai saat menoleh ke arahku.
"Kamu mau apa? Omongin aja di sini." sahutku dengan nada tak ramah.
"Aku mau kamu ikut aku, sekarang." dia kembali menarik tanganku dan berjalan kembali. Tapi, buru buru aku lepas lagi genggamannya. Aku masih bingung, apa yang sebenarnya ingin dia lakukan...
"Nggak."
"Harus... Ini perintah pak Burhan, loh. Kamu nggak boleh nolak." sahutnya dengan senyuman tipis di akhir.
Aku mendengus. Hampir saja aku lupa kalau aku sedang marah padanya. Aku kira dia tidak akan mendekatiku lagi karena kejadian itu. Tapi... kenapa dia bertingkah seolah tidak terjadi apa apa kemarin...
"Kemana?." tanyaku.
"Ikut dulu... yuk." dia meraih tanganku lagi dan membawaku berjalan bersamanya. Kali ini, aku tidak lagi menolak.
Entah kenapa, saat dia tersenyum seperti itu, tiba tiba aku merasa lega dan senang. Aku sama sekali tidak merasa kesal atau marah lagi padanya. Malah, sekarang berganti menjadi kesenangan yang menggelitik.
"Oh, ya... kenapa tadi pagi kamu berangkat sendiri? Kamu udah nggak mau aku jemput?..." Tanya Rai dengan menoleh sekilas ke belakang.
"Aku pikir... kamu nggak mau deket deket aku lagi."
Alisnya bertaut bingung. "Hah? ngaco, deh. Aku kan gak pernah bilang apa apa."
"Tapi ... soal yang wak ... tu itu? Emang Mamah kamu nggak apa apa?." tanyaku dengan hati hati.
Dia terdengar menghela napas dan menoleh ke arahku dengan sedikit senyuman. Tanpa menjawab apapun.
Aku sebenarnya masih bingung, tapi aku tak berani bertanya lagi. Kalau Rai punya niat untuk memberitahuku, seharusnya dia akan menceritakannya sendiri.
Jadi aku memutuskan untuk diam dan mengikuti langkahnya menyusuri koridor.
Dia sangat tinggi saat di lihat dari belakang. Bahunya juga sangat lebar. Aku baru ingat kalau punggung orang di depanku ini, adalah punggung yang sama yang aku peluk tiap tiap hari yang lalu, punggung yang sama yang menggendongku juga malam itu.
Mengingat hal hal konyol barusan, mendadak aku tersenyum senyum sendiri.
"Tangan kamu kok gemeter, kenapa?." Tanya Raiga tiba tiba.
"Hah? Nggak ...." buru buru aku menggelengkan kepala. Aku harap dia tidak menyadari kalau aku sedang gugup tak karuan.
***
"Eh, udah sampe?." Tanyaku saat Rai menghentikan motornya di bahu jalan.
"Iya.., pak Burhan nyuruh aku beli beberapa barang disini. Kamu mau ikut masuk atau nunggu di sini?." tanyanya sambil membuka helm dan turun dari motor.
"Ikut...,"
.....
Tempat ini lebih seperti perpustakaan besar di banding grosir buku dan alat tulis. Ruangannya begitu luas dan rak rak besar menjadi sekat di tengahnya. Begitu banyak buku dan hal lainnya yang bahkan belum pernah aku lihat.
"Rai... aku mau liat liat sebentar, ya...,"
"Boleh, tapi jangan jauh jauh, ya. Aku mau ke sebelah sana dulu." sahutnya sambil menunjuk ke satu sudut di sebelah kanan.
Aku menganggukkan kepala.
Kakiku melangkah menyusuri tiap sudut rak besar yang berisi buku buku dari berbagai macam bidang. Ada buku sekolah, novel, buku anak, dan buku buku lainnya. Aku iseng menarik buku yang tidak bersegel. Dan membuka buka halamannya, mesti tak berniat kubaca sedikitpun.
Dan tiba tiba dari belakang, seseorang menepuk pundakku dengan pelan. Aku menoleh, dan mendapati seorang anak kecil imut. Yang terlihat malu malu saat meminta bantuanku mengambilkan sebuah buku yang ada di jejeran atas.
"Terimakasih." ucapnya lembut dengan senyum yang menggemaskan.
Aku tersenyum sekilas lalu melambaikan tangan saat dia pergi meninggalkanku. Dan kembali ke urusanku memandangi buku buku yang menakjubkan ini.
Eh... Itu, kan.
Mataku berhenti pada satu buku yang membuatku sangat tertarik. Buku yang bertuliskan KANVAS & PENA. Setahuku, itu adalah buku yang memuat tentang karya karya Bapak Basoeki abdullah. Beliau adalah salah satu inspirasi lukisanku. Dan tentu saja aku harus memilikinya.
Aku menjinjit dan berpegangan pada tepi rak, tapi tanganku tidak sampai pada buku incaranku itu. Aku berusaha sekali lagi, dan kali ini aku menggunakan jari kakiku sebagai tumpuan. Hah... tapi tetap saja tidak sampai. Mungkin aku harus meminta bantuan pada pegawai tokonya.
Baru saja aku akan berbalik, sebuah tangan berhasil meraih buku yang susah payah ingin ku dapatkan. Aku berbalik ke belakang dan hampir tersentak kaget karena orang yang mengambil buku itu ternyata adalah Raiga.
Dia tersenyum ke arahku dan memberikan buku yang ada di tangannya. "Kamu mau buku yang ini?."
"Iya. makasih."
"Masih mau liat liat?."
"Mm... udah cukup deh kayaknya. Kamu udah selesai nyari barangnya juga kan? Kita balik aja ke sekolah." sahutku saat melihat tangan kanan Rai yang memegangi dua plastik besar.
"Kenapa buru buru?." kata Rai sembari mendekatkan wajahnya padaku.
Mataku membelalak dan aku spontan menempelkan punggungku pada rak buku yang ada di belakangku. Saat tangannya ikut dia tempelkan di samping kepalaku.
Aku menelan ludah berat, tatapan matanya ini membuatku berkeringat dingin. "Rai... ini tempat umum. Kamu nggak malu apa di liatin banyak orang?."
"Malu?," wajahnya menoleh ke sisi kanan dan kiri. Lalu kembali menatapku dengan bibir tersenyum. "Di sini nggak ada orang, kok."
"Tapi... kamu ngapain begini segala. Ayo... pergi." ucapku sambil berusaha mendorong dadanya.
Tapi dengan cepat dia menangkap ke dua tanganku, dan menjatuhkan belanjaannya ke lantai. Aku mengerutkan alis. Dan menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Rai, jangan main ma...," Cup!
Raiga mencium bibirku. Mataku terbelakak karena kaget. Dan untuk sesaat tubuhku mematung. Tak lama sampai akhirnya aku berhasil mendorong tubuhnya dan menghentikan ciuman itu.
"Rai!." tegurku sedikit marah.
Dia mengelap bibirnya yang basah sejenak lalu kembali mendekatkan wajahnya padaku. Kali ini sasarannya bukan mulutku, melainkan telinga sebelah kiriku.
"Prei... aku suka sama kamu. Kamu mau kan jadi pacarku?." bisiknya pelan, namun terasa seperti aliran listrik yang menyusuri seluruh tubuhku.
Aku mematung. Bibirku sama sekali tidak bisa di gerakkan. Hhh... apa barusan aku tidak salah dengar? Dia mau aku jadi pacarnya? Dia serius?...
"Ayo, jawab. Atau... kamu mau aku cium lagi?."
"Eh! Jangan... jangan." jawabku cepat dengan menggerakan tangan di depan wajahnya.
"Jadi....?"
Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk menatap ke arahnya. "Mm, aku ... mau." jawabku yang nyaris tanpa suara saking gugupnya. Jantungku ikut berdebar debar dan rasanya tiba tiba jadi pengap.
Bibir Raiga melengkung manis. Sejauh yang aku ingat... Ini lah senyum paling indah yang pernah aku lihat dari wajahnya. Tangannya mengusap rambutku dengan lembut dan juga mengelus pipiku.
Aku sendiri tidak tahu, tapi aku sangat yakin kalau pipiku kini memerah karena rasa tak karuan ini. Raiga kini memeluk tubuhku dengan erat. Sepertinya, dia juga sangat bahagia, sama sepertiku.
Aku membalas pelukannya sembari mengendus bau tubuhnya yang harum. Hhh... aku sangat amat bahagia.
Dia melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih bertengger di kedua sisi pinggangku. Wajahnya tampak berseri dan matanya berbinar binar.
Tidak tahu kenapa, rasanya malah aku yang ingin menciumnya sekarang.
Apa ini yang dinamakan efek samping dari rasa kebahagiaan?
Aku mendekatkan wajahku padanya dengan sedikit mendongkak. Dan mulai memejamkan mata...
Samar samar aku hampir merasakan sentuhan bibir Raiga menempel di kulitku. Dengan lembut aku ikut menyusupkan kedua tanganku pada lehernya.
Brakk! suara buku yang jatuh membuatku mengurungkan niat dan sedikit melangkah mundur.
Seorang gadis yang berdiri di ujung rak menatap kami dengan wajah terkejut. Sampai sampai buku yang dia bawa di tangannya berjatuhan ke lantai. Aku melirik padanya sekilas, lalu kembali membuang muka karena malu. Sementara Raiga malah terlihat seperti sedang menahan tawa.
Hhh... benar benar merusak suasana.