.
..
.
.
Ini slide story tentang Second couple di MY PR.... .
.
Hope you like it gaes...
.
.
"Anterin... pipis..." Rengek Abi pada pria beraura suram yang berdiri di depannya.
Dia terus menarik narik tangan Erik dan memelas agar Erik mau mengantarnya ke toilet.
"Ck, pergi sendiri lah. Tuh, toilet ngejogrog di situ." balasnya ketus sembari menunjuk nunjuk arah toilet yang memang tidak jauh.
"Anter... Ahhhhh."
'Sumpah demi apa, Rai tega bener ninggalin aku sama anak manja macam dia ditempat kayak gini.' gerutu Erik dalam hati.
"Yaudah, ayo! Awas ya, jangan lama lama!."
Abi tersenyum senang dan mengangguk dengan penuh semangat.
...
"Udah belum?." tanya Erik tak sabaran.
Dia berdiri menunggu, tepat di samping Abi membuang air seni. Wajahnya terlihat kesal dengan tangan yang melipat ke dada. Punggungnya bersandar pada dinding di belakangnya, sambil sesekali melirik penasaran pada bagian depan tubuh Abi.
"Ihhh, jorok banget sih! Kok, kencingnya sampe ngepret kesini segala!." protes Erik yang menyapu tetesan pipis Abi yang tiba tiba mendarat di lengannya.
"Nggak bisa lurus..." rengek Abi yang meletakkan tangannya ke tembok agar tidak jatuh karena kehilangan keseimbangan.
"Ck, ada ada aja, deh. Sini! biar aku bantu pegangin."
Abi sedikit terkejut, tapi dia sama sekali tidak menolak tawaran Erik. Tangannya sudah cukup gemetaran, ditambah Erik yang ikut memegangi bayi kecilnya, gemetarannya semakin menjadi parah. Tubuhnya ikut menegang karena jari Erik benar benar menyentuh permukaan kulit sensitifnya.
Abi mengeguk ludah dengan berat. Dia menepis tangan Erik seketika setelah hajatnya keluar dengan tuntas. Dia tidak mau bayi kecilnya menjadi terangsang karena sentuhan halus yang Erik berikan. Buru buru Abi menutup resleting celananya kembali.
"Udah, selesai."
"Yaudah... " Erik mengangguk malas dan berjalan lebih dulu meninggalkan Abi yang masih mengatur napas.
....
"WHAT THE F*CK! Raiga sialan... dia beneran ninggalin kita di sini!." umpat Erik sambil menendang trotoar.
Erik berteriak kesal saat pergi ke tempat dia dan Raiga memarkir motor dan mendapati Raiga yang sudah tidak ada di sana. Abi yang melihat Erik mengamuk hanya bisa diam dan mematung di belakangnya.
"Gara gara kamu, nih!"
Alis kecil Abi menaut bingung. Telunjuk mungilnya menunjuk ke arah dadanya sendiri. "Aku?."
Erik menghela napas sesaat lalu menghempas tangan di udara. "Ah... udahlah, terlanjur. Nggak penting juga kalo main salah salahan."
"Maaf..."
"Mending kita jalan ke persimpangan di depan. Kali aja masih ada taksi yang lewat." tutur Erik.
"Tapi... Kaki aku udah pegel, kak. Nggak bisa kalo harus jalan sejauh itu." sahut Abi sedikit merengek.
Erik tampaknya sudah cukup menahan geram melihat tingkah Abi yang luar biasa ke kanak kanakan itu. Dia menarik tangan Abi dengan kasar lalu menyeretnya agar ikut berjalan. Beberapa meter berjalan, sepertinya Abi cukup pasrah. Tapi saat kakinya terasa semakin pegal dia mendudukan tubuhnya tiba tiba sampai Erik hampir terjatuh ke belakang.
"Caappeee...." keluh Abi sambil menggoyangkan goyangkan tangan agar Erik melepaskan pegangannya.
"Mau pulang apa nggak, sih!" bentak Erik yang sudah kehilangan kesabaran. "Udah syukur ya aku mau anterin kamu nyari taksi!."
Hiks...
Abi mendadak murung dan menangis terisak sambil memeluk kedua lututnya. Dia merasa Erik hanya terpaksa melakukan itu. Dan dia juga tidak suka saat seseorang membentaknya tanpa alasan, seperti yang Erik lakukan barusan.
Melihat juniornya yang menangis tersedu, hati Erik tiba tiba melemas kembali. Dia menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya berlutut dan memegang tangan Abi.
"Maaf... aku nggak bermaksud kasar, kok. Aku cuma takut kita nggak nemuin taksi buat pulang. Kamu tahu sendiri kan kalo ini udah lewat tengah malem..." suara Erik melemas.
Abi mengusap kedua pipinya dengan lengan baju dan berusaha bernapas lebih tenang. Dia menggangguk pelan dan mulai mendengarkan Erik lagi.
"Yaudah jalan pelan pelan aja, ya." kata Erik dengan senyuman diakhir.
Erik mengulurkan tangannya dan di sambut hangat oleh Abi...
Mereka berjalan beriringan menuju persimpangan jalan raya yang mulai terlihat. Saat mobil berwarna biru melintas, Erik menarik lengan Abi untuk mengikutinya berlari.
"Buruan! Itu taksinya nanti keburu jauh." teriak Erik.
Tapi Abi sangat sulit mengimbangi langkah kaki Erik. Dia ikut berlari tapi sesekali tubuhnya malah terasa di seret seret paksa. Erik menoleh ke belakang, dia sangat tak sabaran karena Abi yang berlari begitu lambat.
"Ehhh... mau ngapain!!"
Tanpa basa basi dan permisi dia mengangkat tubuh Abi ke bahunya layaknya gaya fireman's carry. Pria kecil itu tersentak kaget. Dengan refleks kakinya menendang nendang udara. Dan tangannya mencengkram erat punggung Erik karena takut terjatuh.
'Senior sialan. Emang aku ini karung beras apa.' batin Abi mengomel
"Taksiii!!!" teriak Erik yang meneruskan larinya.
Mobil biru incarannya berhenti. Dengan gesit dia berlari dan membopong tubuh Abi untuk masuk ke dalam. Dengan napas yang ngos ngosan dia luapkan keberhasilannya dengan berteriak di depan wajah Abi yang masih cemberut.
"Nggak sopan tau, ngangkat ngangkat badan orang sembarangan." Abi mendelik.
"Ya, gimana lagi. Kamunya yang jalan kayak siput gitu."
"Alesan." balas Abi judes.
Erik hanya menghela napas dan memilih tak menyaut. Mereka saling mendiamkan satu sama lain untuk waktu yang lama, sampai supir taksi menoleh ke belakang dan bertanya.
"Ke arah mana, dek." tanya supir itu saat mobil menemui persimpangan.
"Euhh... eh, rumah kamu dimana?." Erik berpaling ke Abi.
"...."
"Eh! Di tanya malah diem."
Erik memalingkan wajah Abi padanya, dan seketika menghela napas lesu karena Abi sudah tertidur. Sekarang dia harus bawa Abi kemana? Rumahnya saja Erik tidak tahu.
"Ke jalan Merpati pak."
"Baik...."
Abi menggeliat, tubuhnya mencari tempat bersandar yang nyaman. Dan di temukannya bahu Erik yang senang hati memberinya sandaran. Dengan suasana malam yang dingin, Abi tertidur pulas di tempat sandarannya.
...
Bruggh!
Erik menjatuhkan tubuh Abi di kasurnya. Seraya memijit mijit bahunya yang terasa pegal. Menggendong tubuh Abi dari lobi hingga apartemennya yang ada di lantai lima sungguh perjuangan yang berat.
Abi menggeliat risih, tangannya meraba raba permukaan sprei yang dia tiduri. Alisnya mengernyit bingung saat kulit jarinya menemukan hal yang aneh dan basah.
"Ini apa..." gumamnya tanpa membuka mata.
Erik yang sedang ganti pakaian menoleh dan terbelalak kaget saat Abi mengacungkan tangannya ke udara.
'Itu kan... Ah, sinting sinting! Aku lupa bersihin itu tadi.' frustasi Erik dalam hati.
Abi yang masih penarasan mulai mancium benda lengket itu dengan hidungnya, seketika wajahnya berubah masam.
"Iihhhhh bauu...." keluhnya yang terlihat menggemaskan.
Walaupun berbau aneh, rasa penasarannya tak hilang begitu saja. Lidah nakal Abi mulai menjulur keluar dan menjilat ujung jarinya sendiri. Erik yang melihat itu tak mau tinggal diam. Buru buru dia menarik tangan Abi yang penuh dengan pejuhnya itu, dan menjauhkannya. Tapi semuanya sudah terlambat, karena ujung lidah Abi sudah sempat menjilatnya.
"Ngapain, sih. Jorok banget!" gertak Erik sambil menarik tissue di nakas dan membersihkan tangan Abi.
"Tapi rasanya nggak buruk... itu selai apa sih? Aku belum pernah makan." ucap Abi dengan polosnya.
Erik terkekeh kekeh, seandainya Abi tahu kalau itu adalah air maninya. Mungkin ekspresi wajah Abi tidak akan setenang sekarang.
"Kamu mau?." tanya Erik menggoda.
"Hm?." Abi celingukan, dia masih linglung dan tak mengerti apa yang Erik tawarkan. "Mau apa? Selai yang tadi?."
Erik menahan tawa. Matanya berubah nafsu saat menatap tubuh yang berbaring itu. "Iya. Aku punya banyak kalo kamu mau. Tapi... "
"Tapi?."
"Kamu harus makan semuanya sekaligus." bisik Erik penuh niatan bejad.
Abi terkikik geli, dia merasa Erik meragukan nafsu makannya yang sedang meningkat akhir akhir ini. Dengan tangan yang merangkul leher Erik. Dia memberikan anggukan percaya diri. "Itu bukan masalah."
Erik menyunggingkan evil smirknya dan mengusap pelipis Abi dengan lembut. Anak kecil yang sekarang merangkul lehernya ini sama sekali tidak tahu, hal buruk apa yang akan dia terima malam itu.