Raiga POV
Sinar matahari pagi mulai mengusik indra penglihatannya. Dia terlihat mengernyitkan mata dan mencoba menghalangi cahaya yang menganggu tidurnya. Aku tersenyum semu. Duduk di tepi kasur. Dan menunggunya bangun.
"Eerrgh... " Preinan meregangkan tubuhnya.
Aku tidak tahu kalau melihat seseorang tidur sampai dia terbangun sendiri itu ternyata cukup menyenangkan.
"Preinan... Yuhuu... " siulku pelan. Tapi aku rasa, dia bisa mendengarnya.
"Erng... "
"Bangun. Ini udah siang, loh."
Dia mengedipkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menengok ke arahku. Alisnya bertaut heran. Dengan rasa penasaran yang tinggi, dia mengitari seluruh sudut ruang kamarku sebelum akhirnya terperanjat karena kaget.
"Ini rumah siapa?." tanya Prei yang masih terlihat linglung.
Aku tersengih geli, dia begitu menggemaskan dengan rambut coklat berantakannya. "Ini rumahku... Preinan Adala Saputra...." sahutku dengan nada yang usil.
Dia terlihat bingung dan berpikir sejenak, lalu tiba tiba menepuk keningnya sendiri. Aku yakin dia baru ingat kalau semalam, kami habis bermain main. Maksudku dia, yang habis mabuk mabukan.
"Jadi bukan mimpi, ya..." gumamnya.
"Bukan."
"Aiish... benar benar."
"Kenapa?."
"Kepalaku sakit." sahutnya sambil memijat lembut keningnya.
"Makan dulu... Biar badan kamu enakan."
Aku menarik baki yang ada di atas nakas dan memberinya segelas air hangat. Preinan memakan bubur yang ku suapkan padanya sampai tersisa setengah. Saat aku menyodorkan suapan suapan terakhir, tangannya mendadak menolak dan menepis sendokku.
"Aku... mau munt... Hoekkk!"
"Preiii...."
Buru buru aku menuntunnya ke kamar mandi dan membiarkannya memuntahkan semua sarapan yang barusan dia makan.
"Hoekk!"
Hah... mungkin ini efek samping dari alkohol yang dia minum semalam. Aku menghela napas, ikut berlutut di sampingnya, dan mengusap punggungnya dengan lembut. Setelah semua cairan itu keluar dari perut, dia menyandarkan punggungnya di balik pintu kamar mandi. Aku rasa, dia sedikit lelah.
"Udah enakan?."
"Mm. Lumayan." sahutnya dengan napas yang masih terengah.
"Lain kali, nggak usah pergi ke tempat kayak gitu. Nggak baik. Apalagi kamu sama Abi itu masih dibawah umur...." nasehatku lembut sambil terus mengelus punggungnya.
"Aku... cuma nggak tau, harus pergi ke mana lagi. Kebetulan juga, Abi nawarin aku buat dateng ke sana. Makanya aku sama diiaa..." Preinan berhenti bicara dan malah beralih menatapi sekitar. Matanya yang penasaran berusaha mencari sesuatu di setiap sudut kamarku. "Abi mana?." tanyanya tiba tiba.
Ah, benar juga. Aku sendiri pun lupa dengan Erik yang aku tinggalkan di tempat itu semalam. Aku menggeleng bingung dan menatap mata Prei dengan rasa penasaran yang sama.
"""""""""""""""""""
Sementara itu,
"Hwaaa... aaghhh... haaa!!" Suara tangis Abi yang menjerit jerit itu pecah saat dia bangun dan mendapati dirinya sudah menjadi korban pelecehan seksual. Pagi ini, di atas kasur, dengan luka perih di area belakangnya.
Erik yang duduk di kursi dekat jendela hanya bisa menutup telinganya dengan jengah. Bukan lagi empati yang dia rasakan untuk Abi, melainkan perasaan geram karena Abi yang terus menerus histeris selama satu jam.
Dia bosan saat tetangganya menggedor pintu kamar dan menyuruhnya untuk berhenti membuat kebisingan. Tapi, apa yang bisa dia lakukan? Karena semua suara jeritan itu berasal dari orang yang dia perkosa semalam.
Hah... Erik menghela napas lelah.
Untuk ke sekian kalinya, dia menghampiri Abi dan mencoba berdamai dengannya. Meski Abi selalu berontak saat dia menyentuhnya, Erik tak punya pilihan lain. Dia duduk di samping Abi. Memeluknya dengan erat sampai Abi tidak bisa berontak lagi.
Isakkan Abi perlahan mulai mereda. Entah itu karena Erik telah berhasil menenangkannya atau karena dia memang sudah lelah menangisi nasibnya. Air matanya berhenti. Meski napasnya masih terdengar tersedu sedu.
"Ssuuttt... Udah, ya... jangan nangis lagi." ucap Erik menenangkan, sambil terus membelai rambut juniornya yang malang itu.
"""""""""""""
"Rai..." panggil Preinan dari balik pintu kamarku.
Aku sedang berada di dapur untuk membantu Mamah membuat kue. Aku sempat meninggalkan Prei saat dia mandi tadi, dan mungkin, sekarang dia sudah selesai.
"Prei... sini." sahutku dengan melambaikan tangan.
Dia sedikit malu malu pada awalnya, tapi tak butuh waktu lama, dia akhirnya datang menghampiriku.
"Duduk aja." aku menarik kursi dari meja makan, dan menaruhnya di dekatku.
"Jadi ini yang namanya Preinan..." kata Mamah yang tiba tiba muncul.
Preinan mendadak menegang dan gugup. "I... iya tante."
"Panggil Mamah, aja. Temen Raiga juga sering menginap di sini dulu... tapi kayaknya mereka sekarang sibuk sama urusan masing masing."
"Ah, begitu ya..."
"Hem, Mamah juga udah lama nggak liat Erik, dia sehat sehat aja kan, Rai?." tanya Mamah yang beralih kepadaku.
"Sehat, kok. Cuma tambah ngeres aja otaknya." sahutku sedikit nyeleneh. Dan spontan di lempari potongan stowberri oleh Mamah. "Huss... Rai."
"Apa ... aku ngomong jujur, kok."
"Kamu, temen sekelas Raiga juga?." Mamah mengalihkan pandangannya pada Prei.
"Euh... dia junior aku di sekolah. Tapi, kita udah lumayan akrab, kok. Iya, kan Prei?." karena Preinan terlihat gugup. Aku berinisiatif untuk membantunya menjawab.
"Ahh... Iya, Mah. Aku adik kelasnya...."
"Kamu, kok nggak pernah cerita tentang dia sebelumnya sama Mamah." tangan Mamah menaruh loyang ke dalam oven tapi matanya tetap mengarah kepadaku.
Aku celingukan bingung, aku sendiri tidak tahu cerita mana yang harus aku beritahukan pada Mamah. Sementara Preinan mulai terlihat tak nyaman karena Mamah terus menerus penasaran tentangnya. Agh, aku menggaruk tengkuk dengan frustasi. Bisakah aku... tidak menjawab pertanyaan apapun?....
"Mm, Rai lupa." jawabku seadanya.
"Hhh... Mamah baru inget, bu RT mesen kue buat syukuran nanti sore... Kamu lanjutin sisanya ya, Rai. Mamah mau nganterin ini dulu." kata Mamah tiba tiba dan langsung pergi begitu saja dengan membawa box besar di tangannya. Aku menghela napas lega.
"Rai, kamu suka bikin kue kayak gini tiap hari?." tanya Preinan penasaran.
"Enggak setiap hari, sih. Cuma kalo ada yang mesen aja."
"Mm, gitu ya..."
"Kamu mau nyobain?." Tanyaku sambil menyodorkan sepotong kue ke arahnya.
"Itu kan udah ada yang mesen, Rai. Masa aku makan..."
"Nggak apa-apa, aku bikin banyak, kok. Nih, aaa ...."
Preinan memakan kue yang aku berikan dan seketika bibirnya tersenyum manis.
"Kamu suka?."
Dia langsung memberi anggukan.
"Kalo gitu. Kamu harus bantu aku bikin kue lagi."
"Aku? Emangnya aku bisa bantuin apa... aku nggak pernah bikin kue."
"Bantu kasih semangat." ucapku sedikit nakal
Dia terlihat terkekeh kekeh, "Aku kira kamu serius."
"Aku serius. Kamu cuma perlu bantuin aku kasih semangat."
"Ya udah, oke. Semangat!" sahut Prei antusias sembari mengepalkan kedua tangan ke udara.
"Good boy..." aku ikut tersenyum dan menarik pipinya yang lembut.
Entah kenapa Prei selalu terlihat begitu menggemaskan. Pipi putihnya kini memerah karena tersipu. Membuatku ingin sekali menciumnya. Aku memandangi sekitar dan memastikan kalau tidak ada siapapun selain kami berdua di sini. Lalu mendekatkan wajahku padanya, yang sontak membuat pipi Preinan semakin memerah.
"Kamu mau ngapain?." tanyanya canggung.
"Nggak... Aku nggak mau ngapa-ngapain. cuma mau lihat wajah kamu dari dekat, aja." jawabku sembari cekikikan.
"Tapi, ini terlalu dekat..." tubuhnya berusaha menjauh.
Aku menaikan kedua alisku. "Enggak boleh ya?...."
"Nanti Mamah kamu bisa lihat...."
"Kamu nggak dengar Mamahku pergi ke rumah pak RT? dia enggak akan pulang cepet cepet. Jadi biarin aku kayak gini sebentar.... yah?." tanyaku meminta persetujuan.
"Aku malu, Rai..."
"Tapi semalam, kamu nggak malu-malu, tuh." celotehku menggoda Prei.
"Raiga!."
"Maaf maaf..." Aku duduk disampingnya dan mengaitkan daguku pada bahunya dengan sedikit manja. "Tapi kalau boleh aku tahu... kenapa kamu milih pergi ke tempat kayak gitu semalam, padahal kamu bisa kok telpon aku. Aku bisa nemenin kamu kemana pun kamu mau." ucapku sedikit memurung.
"Aku... cuma lagi kesel sama Papah, jadi aku pergi dari rumah... dan aku nggak mau ngerepotin kamu."
"Kamu ini.... masih suka kabur-kaburan, yah."
"Aku nggak kabur-kaburan, cuman main main sebentar..."
Aku menghela napas. "Pak Eko tahu kamu pergi dari rumah?."
"Tahu... aku juga udah telpon dia tadi... Aku bilang aku bakal pulang nanti sore..."
"Nggak mau nginep di sini lagi?." sahutku genit.
"Emang boleh?."
"Kenapa enggak boleh?."
"Kalo gitu... biar aku telpon Pak Eko lagi. Dan bilang aku bakal nginep di rumah kamu."
"Jangan... " sahutku melarang. "Kamu pulang aja... kasihan nanti Papah kamu nyariin..."
Dia tersengih geli, dan menghadapkan badannya padaku. "Dia sendiri nggak pernah pulang... mana mungkin dia tahu kalo aku nggak ada di rumah."
"Begitu, ya..."
Aku menyelusupkan kedua tanganku pada punggungnya dan memberi dia pelukan hangat... "Nanti... kalo kamu punya masalah. Kamu kasih tahu aku aja, ya... Jangan main kabur kaburan gitu lagi."
Aku melepas pelukanku dan mengusap rambut yang menutupi pelipisnya. Lalu membelai lembut pipi halusnya yang masih berwarna merah.
"Boleh aku cium?."
"Eh?!"
Preinan terperanjat, sepertinya dia baru menyadari niatan jahatku. Dia mencoba menjauhkan tanganku yang masih membelai pipinya dan bergerak mundur perlahan. Aku terkekeh geli, gelagatnya ini benar benar sangat menggemaskan.
"Aku... mau ke... ke kamar mandi.... " Preinan mencari cari alasan untuk menolakku.
"Sini... biar aku anter." tawarku dengan memberi senyuman nakal.
"Nggak usah... Eh!!! Hehhh.... RAIGAAA!!!!" aku memangkunya dari kursi dan dia langsung spontan merangkul leherku untuk menjaga keseimbangan.
"Turuninn..." rengek Prei yang terdengar sangat imut.
"Cium dulu... " pintaku sedikit memaksa. Sambil memajukan kedua bibirku.
"Raiga!."
"Yaudah, iya... aku turunin."
Aku memangkunya ke arah meja makan yang kosong dan langsung menaruh tubuh Prei di sana. Preinan melepas rangkulannya pada leherku secara perlahan. Tapi sebelum mereka terlepas sepenuhnya, aku menarik pinggang Prei ke arahku dan langsung mengecup lembut bibirnya. Mata Prei terbelalak kaget, tapi dia tidak menolak aksiku. Perlahan, tangannya kembali merangkul leherku dan kedua tanganku pun terlingkar sempurna di pinggangnya.
Ciuman kami begitu lembut, searah dan seirama. Aku memiringkan kepalaku ke arah lain, dan mengganti posisi ciuman kami. Sesekali suara decakan ludah terdengar sedikit mengganggu. Tapi kami tak menghiraukan itu. Aku menekan tubuh Preinan untuk mundur dan lebih terbaring di atas meja. Sementara aku naik ke atas kursi di sebelahku tanpa melepaskan ciumannya.
Tanganku kini beralih memegangi tengkuknya, agar kepalanya tidak pegal karena sedikit terangkat saat menerima lumatanku. Kepala kami terus berputar putar mengganti posisi, dan irama kecupan kami semakin di percepat.
Tanganku yang satunya lagi, aku tempelkan pada pinggangnya... Perlahan menyingkap baju yang di pakainya dan mengusuri punggungnya yang lembut. Ku tarik lagi tubuhnya agar berhimpitan dengan dadaku. Menyadari ketidaknyamanan itu, tangan Prei mendekap tubuhku lebih erat.
Tubuh Preinan begitu harum, dan salivanya begitu manis. Aku suka saat dimana aku memasukan lidah panasku dan meneguk semua cairan bening itu dari rongga mulutnya. Meskipun aku tidak yakin kalau Preinan menyukai tingakahku yang satu ini...
Saat keintiman kami semakin memanas, mendadak suara pintu dapur berderit terbuka. Aku pikir itu hanya angin, jadi sama sekali tidak aku hiraukan. Aku masih terus asik menikmati makan siangku di atas meja ini.
"Kalian... ngapain?."
Deg!!
Aku terperanjak kaget. Dan refleks menjauhkan diri dari tubuh Preinan. Sementara dia masih terlihat sama terkejutnya denganku dan mematung di atas meja.
Aku meneguk ludah dengan berat. Mataku tak bisa lepas dari pandangan Mamah yang berdiri di depan pintu. Yang kini menatapku dengan ekspresi wajah yang tidak bisa aku deskripsikan...