Aza hanya memiliki dua teman perempuan dalam semasa hidupnya. Itu pun ketika ia berusia 17 tahun dan menjadi siswi kelas akhir di SMKN Alpen. Kedua teman Aza bernama Joey dan Esther. Mereka berdua juga satu sekolah dengan Aza tetapi beda jurusan. Joey berada dijurusan tata boga sedangkan Esther berada di jurusan kecantikan.
"Za, haus," rengek Esther masih rebahan di kasur empuknya Aza.
"Ambil sendiri lah, kayak gak pernah kurang ajar di rumah gue aja," balas Aza. ketus.
"Heh mulutnya!" Esther siap-siap mau mukul mulutnya Aria pakai raket nyamuk.
Joey yang sedang nonton pun terganggu dengan keributan yang terjadi. "Berisik banget sih, kalau haus ya ambil aja minuman yang ada di kulkas," ujar Joey bak tuan rumah.
Esther hanya mengerucutkan bibirnya. Ia juga tak berdiri ataupun bergerak menuju dapur.
"Gak jadi minum, Lo?" tanya Aza.
Esther menggeleng, "males ah, nanti aja kalau si Adam udah dateng."
Aza memicingkan matanya ke arah Esther. "Lo nyuruh adek gue ke minimarket buat beliin lo minuman?"
"Sekalian sama makanan ringan juga," timpal Joey sambil cekikikan.
"Adek lo itu udah cakep, baik, pinter, pokoknya paket komplit banget deh," puji Esther terus ketawa-tawa sendiri. "Gak kayak kakaknya, muka aja cantik tapi kelakuan kayak preman pasar."
"Coba sekali lagi, lo bilang apaan tadi ha?" Aza sudah mulai berkacak pinggang.
"Nih ya gue ulang biar lo denger. Aza itu cantik tapi kelakuannya kayak preman pasar, suka marah-marah apalagi kalau marahin gue abis itu .....hmph!"
Belum kelar si Esther ngelanjutin omongannya, tangan Aza udah ngebekep mulut temennya itu. "Hobi banget lo ya nginget semua keburukan gue."
"Astagfirullah kasian itu Esthernya mau ngomong gak bisa." Joey jadi merasa iba dengan Esther.
"Biarin aja, biar jera dia!"
Ketika Aza sedang asik menyiksa Esther, terdengar suara ketukan pintu dari arah luar.
"Kak, ini Adam."
Mendengar suara Adam, Esther langsung berusaha untuk melepaskan diri dari bekapan Aza.
"Lincah bener, anjir." Joey pun dibuat keheranan dengan Esther.
"Kayaknya naksir banget dia sama adek gue," gumam Aza.
"Bukan kayaknya lagi, tapi ya memang naksir banget. Udah kentara!" timpal Joey.
Pintunya lalu dibuka oleh Esther. Esther hampir terkejut dengan pemandangan yang ada dihadapannya. Bagaimana tidak, penampilan Adam itu selalu memukau. Rambut Adam pada saat ini kelihatan berantakan dengan peluh yang membasahi seluruh wajahnya.
Semua cewek pada naksir sama Adam, salah satunya ya Esther sendiri.
"Ini, Kak. Air mineral sama camilannya Kak Joey." Adam nyerahin bungkusan itu ke Esther.
Dengan malu-malu, Esther ambil alih bungkusan itu. "Makasih ya, Dam. Kalau gak ada kamu, pasti aku udah.... Akh! Sakit bodoh!"
Tiba-tiba saja Aza menghampiri Esther dan ngerangkul temennya itu. Lengannya gak tinggal diam, ia langsung arahin ke lehernya Esther dan otomatis lehernya tercekik. Mana anaknya sambil berontak pula.
"Diem!" titah Aza ke Esther. Akhirnya anak itu diem juga. Gak berontak lagi.
Adam cuma ketawa ngeliat tingkah kakaknya. "Oh iya, Ci. Di luar ada Vento. Katanya mau ketemu sama Cici."
Setelah Adam ngomong gitu, Joey malah nyaut. "Kiw kiw, temuin gih sana, Za. Siapa tahu ngajak kencan."
Aza melototin Joey doang. "Dih, jahat banget tatapannya," lanjut Joey.
"Kok Vento betah ya deket-deket sama Lo? Gue aja nih ya deketan sama lo begini badan gue rasanya panas banget," ujar Esther sambil bergidik.
"Di kira gue setan kali ah membawa hawa panas!" Rambut panjang Esther dijambak kebelakang sama Aza.
"Tolong, ada penyiksaan anak di bawah umur," ujar Esther asal.
Lagi-lagi Adam hanya bisa melihat kegalakkan cici-nya itu.
"Anak di bawah umur segede dosa begini? Yakali," cibir Aza.
"Heh, mulutnya!"
Dan terjadilah adegan baku hantam boongan.
"AZA OH AZA." Dari arah depan, rupanya Vento dah gak sabar mau ketemu sama Aria.
"Noh, Vento udah gak sabar mau ketemu sama lo," kata Joey terus ngedorong pantat Aza pakai kakinya.
Aza-nya udah mau jatoh tapi untung aja ditangkep sama Adam. "Sabar aja gue, mah."
Setelah istigfar sampai beribu-ribu kali menghadapi temen-temen laknatnya itu, Aza berjalan ke arah depan untuk menemui Vento.
Vento itu temen sebangkunya. Mereka itu sahabatan sejak keduanya masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Vento, kenapa nyariin gue?"
Vento tersenyum ngeliat Aza. Ia garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Mau ngerjain tugas bareng lo."
"Hah? Bukannya kemarin kita barusan ngerjain tugas bareng ya?"
Aduh, Vento sampai lupa. Sampai kasi alasan yang gak bermutu gitu saking gugupnya. Tujuan dia ke rumah Aza ya mau ngajak jalan. Aza-nya aja yang gak peka.
"Mau kemana lo? Rapi bener dah. Wangi pula. Mau ngajak jalan Momo ya?" selidik Aza sambil nyengir.
Momo itu anak kelas kecantikan. Kelas akhir juga sama kayak Aza. Gosipnya sih kalau Vento dan Momo itu pacaran.
Pertama-tama Vento ngusap mukanya pelan terus mulai jawab semua pertanyaan Aza. "Gue mau ngajak lo jalan. Satu hal, gue gak ada niatan untuk ngajak Momo buat jalan bareng gue."
Jawaban Vento itu malah bikin Aza ketawa. "Jawaban lo itu kayak orang yang ketangkep basah selingkuh tahu gak."
Merasa ditertawakan, Vento malah narik lengan Aza paksa. "Ikut yuk sama gue, kita mampir ke bengkelnya Evan."
Mendengar kata bengkel, Aza langsung antusias. "Asik, yaudah gue mau ganti baju dulu ya."
Lengan Aza malah dicengkram lebih keras sama Vento. "Gak usah ganti baju, lo begini udah cantik kok."
Biasanya kalau cewek-cewek denger kata pujian kayak gitu langsung tersipu malu. Kalau Aza mah enggak, malah ketawa dia.
Dari arah pintu, Adam beserta kedua temen ceweknya Aza pada ngintip. Mereka bisa ngedenger semua percakapan yang terjadi di antara Aza dan Vento.
"Sebenarnya Aza itu normal gak sih? Di puji sama cowok bukannya tersipu malu malah ketawa kayak penyihir," omel Joey pelan.
"Kalau gue dibilang cantik pasti gue dah malu-malu tuh. Apalagi kalau dibilang cantik sama Adam." Begitulah kebiasaan dari seorang Esther, selalu blak-blakkan.
Adam bukannya berkilah malah nyengir doang dia.
────────────────────
Usaha Vento berhasil buat bawa Aza ke belakang jok sepeda motornya. Sore ini, Vento bakalan bawa Aza jalan-jalan kemana pun.
"Ven, ini penampilan gue apa gak keliatan kucel?" tanya Aza agak ninggiin suaranya.
"Enggak," balas Vento singkat.
Di sepanjang perjalanan, meraka gak ada ngomong sama sekali. Vento fokus dengan jalan yang ada dihadapannya sedangkan Aza sibuk dengan lamunannya sendiri.
Aza sebenarnya minder sih jalan sama Vento. Gimana gak minder, ya dia pakai kaos putih polos sama celana pendek doang. Di tambah dengan sandal jepit yang sangat setia ia kenakan.
"Ven, katanya mau mampir ke bengkelnya Evan. Kok kita malah ngelewatin bengkelnya sih?"
Vento gak jawab. Berhasil dia tuh ngibulin seorang petarung di SMKN Alpen.
"Woy! Lo ngibulin gue ya? Berhenti! gue mau turun!" Aza nepuk-nepuk punggungnya Vento. "Berhenti atau lo gak gue anggep sahabat gue lagi?"
"Gak mau berhenti karena gue mau dianggap pacar sama lo." Vento malah jahilin Aza.
"Mimpi terus, cepetan berhenti!"
"Iya, iya."
Akhirnya sepeda motor Vento berhenti juga. Aza langsung turun dari sepeda motornya Vento dan ngelepas helm-nya.
"Sebenarnya lo itu mau ngajak gue ke mana sih? Pakai bohong segala." Aza nyipitin matanya ke arah Vento. Kini kedua mata Aria cuma kelihatan segaris doang.
"Mau ngajak lo makan," jawab Vento santai.
"Kalau cuma ngajakin gue makan mah tinggal mampir ke restoran papa gue aja. Ngapain jauh-jauh?" Aza dibuat pusing sama Vento ini.
"Bosen woy, palingan yang lo pesen kwetiau lagi kwetiau lagi."
"Kalau mau yang lain, makan aja noh sama Momo. Gue yakin dia cewek yang seleranya ini-itu, gak kayak gue." Sungguh Aza terkadang bingung dengan Vento.
Kadang ngajak jalan, makan, ke mall dan sebagainya. Gak tahu aja kalau itu semua adalah akal-akalan Vento biar dia bisa deket terus sama Aza.
"Kan, Momo lagi Momo lagi. Cemburu ya?" tanya Vento ke Aza.
"Cemburu? Hahahaha seorang Aza cemburu sama Vento? Gak bakalan pernah terjadi!" Aza malah ngakak sejadi-jadinya. Gak perduli kalau sedari tadi dia udah jadi pusat perhatian.
"Yaudah, gue mau pulang dulu." Vento langsung jalanin sepeda motornya. Ninggalin Aza seorang diri di pinggir jalan.
"Vento! Malah ditinggalin kan gue," gumam Aza.
Mau gak mau Aza jalan kaki ke rumahnya. Pas di jalan, tiba-tiba ada yang manggil dia.
"Bos!" teriak orang itu.
Lantas Aza noleh ke arah sumber suara. "Eh, Ben?"
Iya, Ben ini adalah anak buahnya. Di sekolah, mereka punya geng gitu dan bos-nya adalah Aza.
Ben ngehampirin Aza dengan langkah yang tertatih. Keadaan Ben sangatlah kacau. Ada banyak luka serta bercak darah di sekitar bajunya.
"Kenapa lo? Siapa yang udah bikin lo bonyok begini?" Kedua bahu Ben diguncang-guncang sama Aza. "Jawab, Ben."
"Gue juga gak tahu mereka siapa, yang jelas mereka nyariin bos terus mau nantangin bos. Anak-anak jadi sasarannya dia di gang berry," jelas Ben sambil mengaduh kesakitan.
Kedua tangannya ia kepalkan. Amarah sudah sampai di ubun-ubunnya. "Oke, antar gue ke gang berry."