Chereads / Weird : Road to Hell / Chapter 7 - BAB 7 : Bercerita

Chapter 7 - BAB 7 : Bercerita

Amarah Aza pada siang ini semakin tak terkendali. Buktinya ia memarahi siapapun yang menatapnya atau pun sekadar menyapa.

"Apa lo? Ngapain ngeliatin muka gue kayak gitu? Mau gue tonjok?"

Entah mengapa penyebabnya, yang jelas semua ini berawal ketika ia baru saja keluar dari kelasnya. Pada saat itu ia akan berencana menyusul kedua temannya, Joey dan Esther.

Tadi sewaktu ia menuju kantin, langkahnya diberhentikan oleh seorang guru perempuan. Dilihat dari penampilannya, sepertinya ia adalah guru baru di sekolah itu.

Guru itu menegur Aza jika perempuan harus memakai rok dan bukan celana. Jelas-jelas tidak ada guru yang berani mengomentari penampilannya, sekali pun itu guru BK.

"Kesel gue sekolah di sini, selalu aja buat mood gue hilang!" omelnya lagi.

Dan amarah itu ia bawa sampai kantin, khususnya mendatangi meja Joey dan Esther. Tanpa berkata-kata, Aza langsung menggebrak mejanya.

"Akh sialan seragam gue ketumpahan kuah bakso!" pekik Esther dengan heboh.

"Uhuk uhuk sialan." Joey sampai keselek waktu minum es kelapa.

Keduanya menatap keberadaan Aza dengan tajam.

"Apa lihat-lihat?" tanya Aza dengan garangnya.

Joey mengelap bibirnya dengan sebuah tissue lalu mulai bersuara, "Ada apa sih? Siapa yang gangguin lo?"

Bukannya menjawab, gadis bermarga Huang itu duduk dan malah menaikkan sebelah kakinya ke atas meja.

"Astagfirullah ini cewek makin menjadi-jadi deh." Joey dibuat pusing olehnya.

Sementara itu, Esther hanya mencebikkan bibirnya. Mau marah tapi kalau ngeliat Aza yang lagi emosi gitu, bikin keberaniannya menciut. Dia bener-bener takut sama Aza yang emosian.

"Bu, es jeruk satu! Bikin yang paling asem!" teriak Aza ke penjual kantinnya.

Penjual kantin itu mengangguk dan sesegera mungkin membuatkan pesanan Aza.

"Sekali lagi gue tanya, siapa yang sudah gangguin lo?"

Untuk kali ini, Joey memberanikan diri untuk bertanya kepada teman tomboy-nya itu.

"Gue ditegur sama guru baru, gara-gara pakai ini." Aza nunjuk ke arah celana yang ia kenakan. "Kurang kerjaan banget tuh guru. Bisa-bisanya ngelarang gue."

Joey dan Esther saling melempar pandangan.

"Sebenarnya sih perempuan kan diharuskan memakai rok dan celana cuma bisa dipakai pada saat jam olahra—"

"Lo kok ikutan nyeramahin gue sih?"

Untuk kali ini, perkataan Esther dicela oleh Aza.

"Kalau gak mau dilarang, lo buat sekolah sendiri deh. Jangan sekolah di sini, paham?" ujar Joey agak meninggikan suaranya. "Lagian gue tuh gak paham sama lo. Kalau dinasehatin sama temen tuh didengerin, bukannya dicela kayak tadi."

Aza bungkam, seiring dengan datangnya es jeruk yang ia pesan tadi.

"Oke oke maafin gue. Kalau gini caranya gue pakai gamis aja lah," gumam Aza lalu menyeruput es jeruknya.

Semarah-marahnya Aza, ia akan berhenti mengomel jika dihadapkan dengan Joey. Gadis itu akan membisu ketika dimarahi balik oleh Joey.

"Cuih, asem banget sih es jeruknya!" omel Aza lagi.

"Biar gak asem." Bukannya memberikan gula, Joey malah menuangkan sesendok sambal ke arah gelas Aza.

"Sialan ya lo!" umpat Aza.

Joey tertawa puas, diikuti oleh Esther.

"Btw, ada yang mau gue tanyain." Esther mendekatkan wajahnya ke arah Aza, sembari celingak-celinguk.

Seakan-akan melupakan kejadian tadi, Aza kembali berbicara seperti biasa. "Mau nanya apaan?"

"Tadi pagi lo dianter sama siapa?"

"Bukan siapa-siapa," balas Aza berusaha untuk santai. Padahal di dalam hati panik bukan main.

Joey menyenggol badan Aza pelan, "Gebetan baru ya?"

"Bukan," jawab Aza ketus.

"Kalau gitu boleh gue deketin dong?"

"Heh!"

Joey tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Aza yang sepertinya tak rela jika lelaki itu didekati oleh gadis mana pun.

"Santai, gue cuma bercanda," ujar Joey sedikit melirik ke arah Aza. "Atau jangan-jangan dia yang namanya Arlan?"

Aza mendelik ke arah Joey, "Sok tahu."

"Gue setuju sama Joey. Cowok itu yang masuk ke dalam mimpi lo kan? Dan membuat lo aneh pada malam itu. Iya kan?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Esther tadi sukses membuat Aza bungkam. Dengan ragu, Aza menganggukkan kepala.

"Iya, dia yang namanya Arlan."

Joey menjetikkan jarinya, seolah-olah ia puas dengan apa yang diucapkan oleh temannya itu. "Tumben lo mimpi buruk, biasanya juga enggak."

Selama Aza gak pernah bantuin orang di dalam mimpinya, semua mimpi buruk itu seakan-akan lenyap begitu saja. Dan ketakutan itu kembali lagi, sebuah mimpi buruk kembali ke datang ke dalam hidupnya. Malam itu bagaikan ilusi baginya.

"Entah kenapa gue bisa mimpiin dia. Sepertinya dia itu dalam bahaya dan jujur bahaya ini tuh lebih parah daripada kasus-kasus sebelumnya," jelas Aza.

Beberapa tahun yang lalu, ada seorang anak laki-laki yang masuk ke dalam mimpinya. Anak itu meminta pertolongan karena terus-terusan diajak pergi oleh seorang badut. Aza pun mau tak mau harus melawan badut itu.

Ia menang melawan badut itu dan keberadaan anak itu pun sampai sekarang tak pernah ia ketahui.

"Gue berharap kalau dia tuh baik-baik aja dan Cla gak ngelakuin hal yang macem-macem," gumam Aza.

Atensi Esther pun beralih ke arah Vento yang sedang bergabung diperkumpulan cowok-cowok kelas multimedia-2. Seragam lelaki itu terlihat lusuh, seiring dengan keringat yang bercucuran di sekitar wajahnya.

"Za, Za. Lihat tuh si Vento. Kucel amat tuh cowok. Abis ngapain dia?" tanya Esther agak kegirangan.

Aza menoleh ke belakang, diikuti oleh Joey yang mendadak kepo. "Oh, dia tadi abis milahin sampah."

Seketika Joey dan Esther tertawa terbahak-bahak. Bisa dikatakan jika meja mereka adalah meja yang paling berisik.

"Terlambat ngumpulin tugas matematika Pak Ashlan?" tebak Joey.

Aza mengangguk dengan mantap, "Bener. Dia tuh ngumpul tugasnya paling terakhir. Haduh bisa dibayangkan betapa sengsaranya milahin sampah satu sekolah."

Di saat Esther dan Joey menertawakan kesengsaraan Vento, tiba-tiba saja mimpi buruk itu kembali lagi terlintas di otaknya. Mimpi tentang seorang anak laki-laki dan seorang badut.

Semakin dipikirkan, semakin membuat kepalanya pening.

"Argh kenapa sakit banget sih?" Aza memegangi kepalanya.

"Parah banget sih ya, untung aja kelas gue gak diajar sama Pak Ashlan," celetuk Joey.

"Iya, sama sih gue juga eh astaga Aza! Lo kenapa?" tanya Esther dengan panik.

"Gue gak papa, Ther. Tenang aja gue gak pap—"

Hingga sebuah darah keluar dari balik lubang hidungnya. Aza mimisan.

"Za? Aduh lo mikirin apaan sih?" Joey ikut-ikutan panik. Dengan gemetar, tangannya mengelap darah yang keluar dari hidung Aza menggunakan tissue.

"Joe, Ther. Kepala gue sakit banget," keluh Aza.

Vento menaikkan alisnya sebelah. Ia bingung kenapa Aza memegangi kepalanya terus-menerus.

"Bro, gue ke sana dulu ya," pamit Vento pada teman-temannya.

Vento mempercepat langkahnya. Ia bertaruh jika Aza dalam keadaan yang kurang baik.

"Ya ampun, Za! Darahnya makin banyak!" pekik Esther.

Seketika tubuhnya mendadak lemah. Mimpi buruk itu semakin membuat kepalanya tidak keruan.

"Aza, Aza! Lo kenapa sih?" Vento datang sambil menepuk-nepuk pipi gadis itu.

Tidak lama kemudian, pandangannya semakin kabur dan badannya semakin melemah. Ia pingsan.

"Ih Vento! Cepetan bawa Aza ke unit kesehatan!" titah Esther.