Arlan datang ke sekolahnya tepat di jam 12 siang. Di saat semua orang menikmati jam istirahat kedua yang waktunya lumayan panjang. Ia berjalan menuju kelasnya dengan santai, tanpa ada beban sama sekali.
Tas hitamnya pun tak ia kenakan, justru malah ia tenteng.
Tak peduli jika sedari tadi banyak siswa-siswi yang menatap dirinya dengan heran.
Ketika dirinya ingin memasuki kelas, seorang teman tongkrongannya kemarin menghadang.
"Eits, mau kemana?" Justin sok-sokan menghadang Arlan yang hendak masuk. Padahal badannya itu lebih pendek dari Arlan.
"Minggir elah, gue mau masuk." Arlan berusaha menerobos badan Justin dan ya, cowok itu jatuh karena tidak kuat menahan badan Arlan.
"Hahahaha sok kuat sih lo," ledek Jackson yang kebetulan baru datang dari kantin.
"Berisik ah," ujar Justin agak kesal lalu bangkit dari tempatnya terjatuh.
Tiba-tiba saja Arlan melempar tas hitamnya ke atas meja kosong di samping Adam dan hal itu membuat si pemilik meja terkejut bukan main.
"Gila sih, baru datang jam segini lo?" tanya Evan keheranan.
"Lo pikir?" Arlan balik melemparkan pertanyaan.
Adam menoleh ke arah kiri. Ia bisa melihat dengan jelas, jika ada seseorang yang menempati bangku kosong tepat di sampingnya.
"Oh, lo yang namanya Arlan itu ya?" ujar Adam menerka-nerka.
"Iya."
"Gue Adamian Huang. Panggil aja gue Adam. Salam kenal."
Adam dengan semangat mengulurkan tangannya ke arah Arlan.
Mau tak mau, Arlan membalas uluran tangan itu. Tentunya dengan sebuah senyuman kecil yang terukir di bibirnya.
"Gue Arlan Devalzo, panggil aja gue Arlan."
"Arlan!"
Seorang gadis berlesung pipi memanggil namanya tepat di depan papan tulis.
"Apaan?"
"Nama lo gue tulis di kelompoknya Adhistie ya?"
"Iya iya, terserah lo aja."
Ada yang aneh dengan nama itu. Arlan merasa jika ia sangat mengenal nama itu tapi entah di mana.
"Bawa buku apa aja, Lan?" tanya Theo yang kebetulan berada di belakang bangkunya.
"Periksa aja sendiri." Arlan melempar tasnya ke arah belakang. Dengan cekatan, Theo menangkap tasnya.
Evan dan Adam jadi ikut-ikutan penasaran dengan isi tas Arlan. Setelah resletingnya dibuka, alangkah terkejutnya Theo ketika mendapati jika isi tasnya...
"Kosong?"
Arlan terkekeh tidak keruan. Ketiganya masih tidak percaya.
"Enggak kosong-kosong amat sih. Di dalam tasnya ada charger-an. Masalahnya, kok gak ada buku sama sekali?" tanya Theo lagi.
Arlan lalu merebut paksa tasnya dari tangan Theo, "Gak usah kaget gitu. Kebiasaan gue dari dulu gini kok."
"Jadi lo ke sekolah cuma modal ganteng terus nyimak pelajaran sambil ngantuk gitu?" tebak Adam.
Arlan jentikkin jarinya, "Pinter. Kerjaan gue ya memang gitu. Sekolah tuh kayak jadi tempat kedua gue buat tidur seharian."
Evan berdecak kagum mendengar penuturan Adam. "Keren, patut dicoba."
"Heh," Theo mendelik ke arah Evan. "Kalau mau tidur tuh ajak gue dong."
"Sialan, tidur berjamaah," gumam Adam.
"Cla! donat pesanan gue mana?"
Arlan menoleh ke arah belakang. Barusan Evan menyebut nama Cla.
"Kenapa, Lan?" Merasa Arlan menatapnya, Evan lalu bertanya pada teman barunya itu.
"Oh enggak."
Gadis yang disapa Cla itu menghampiri meja Evan dan Theo dengan santai.
"Nih donat gulanya udah gue beliin. Bilang apa?"
"Sama-sama," balas Theo mewakili.
"Kebalik, goblok!" Cla nimpuk kepala Theo pakai kunci motornya. "Harusnya terima kasih!"
"Hehehe makasih," balas Theo sambil nyengir kuda.
"Telat!"
Dan mata Arlan benar-benar menangkap sosok gadis yang selama ini sangat ia hindari. Dia adalah Adhistie Clanova. Orang yang saat ini sedang berbincang dengan Evan dan Theo.
"Cla, kemarin kan gue nganterin lo ke rumah sakit. Nah dia ini anak baru di kelas kita," ujar Adam berusaha memperkenalkan Arlan. "Lan, kenalan dulu gih sama si Cla."
Adam nyenggol lengan Arlan berkali-kali.
"Cla, gue tahu itu lo."
Semua orang yang ada di kelas pun langsung menatap ke arah Arlan.
"Ngapain lo datang ke sini?"
Cla yang seakan tahu dengan maksud Arlan hanya menyunggingkan sebuah senyuman.
"Cla, lo punya telinga apa enggak sih?" tanya Arlan hingga suaranya menguasai seluruh penjuru ruangan.
"Maksud lo apa?" ujar Cla pura-pura tidak tahu.
"Lo gak usah macem-macem. Lo sekolah di sini pasti punya maksud dan tujuan tertentu kan?"
Cla masih saja bersikap santai menghadapi kemarahan Arlan. "Gue gak ada maksud apa-apa. Gue sekolah di sini ya karena pengin aja. Faktor lain ya karena sekolah ini bagus, favorit di daerah sini lagi. Memangnya kenapa sih? Salah ya?"
"Enggak salah, cuma niat lo itu yang salah! Pasti lo mau mencelakakan seseorang kan?" tuduh Arlan tanpa memedulikan jika dirinya menjadi pusat perhatian kelas sebelah.
"Oh atau jangan-jangan, lo mau mencelakakan Adam karena—"
"Stop! Lo tuh ngomong apa sih?" Adam menatap Arlan dengan sinis.
"Arlan, berhenti untuk ngoceh sembarangan. Gak ngaruh juga bagi orang-orang sini. Lo bakalan dianggap aneh kalau begini terus." Cla menghampiri Arlan yang masih diselimuti oleh amarah.
"Daripada marah-marah gak jelas, mending lo makan ini." Cla meraih telapak tangan kanan Arlan dan memberikannya beberapa gummy bear. "Makan kesukaan lo kalau lagi marah. Ayo makan, siapa tahu marahnya reda."
Seisi kelas tertawa dengan apa yang diberikan oleh Cla ke Arlan.
"Pft, lo masih suka makan gummy bear ya?" tanya Evan dengan nada meledek.
Bukannya menjawab, Arlan malah pergi meninggalkan kelasnya. Bahkan gummy bear yang diberikan oleh Cla, ia buang ke sembarang arah. Tak peduli jika bel masuk telah berbunyi.
-----------------
Arlan berjalan melewati koridor tanpa arah, tentunya dengan ponsel yang selalu ia utak-atik. Pikirannya kacau membayangkan kehadiran Cla di sekolah barunya.
"Gimana caranya biar gue bisa dapat nomor teleponnya Aria ya?"
Ia sampai lupa untuk menanyakan nomor telepon kakak kelasnya itu.
"Oh iya sampai lupa." Arlan berhenti sejenak dan duduk di sebuah bangku. Bisa dikatakan jika koridor itu adalah koridor yang sepi dan agak gelap.
Ia membuka sebuah aplikasi Instageram dan berniat untuk mencari akun Aria.
"Gue kan kemarin follow akunnya Evan, nah siapa tau ada akun Aria."
Pencarian itu tak berlangsung lama karena Evan menandai Aria di sebuah postingannya.
-----------
Di dalam unit kesehatan itu, seorang gadis cantik tengah terbaring sendirian. Suasananya begitu hening, hanya ada suara jam dinding yang berdetak. Terhitung sudah ada 2 jam ia tak sadarkan diri.
Atensi beralih ke arah nakas. Di atas sana ia melihat dua sticky note yang menempel, bersamaan dengan kehadiran sebuah kotak bekal disampingnya.
Pertama, ia meraih sticky note pertama.
"Za, lihat ke arah kiri tempat lo terbaring..."
Dan bodohnya, Aza noleh.
"Hahaha, kasian. Gak ada apa-apa..."
Rasanya Aza pengin ngerobek itu sticky note. Akan tetapi, hal itu itu ia urungkan karena ada sebuah kalimat terakhir yang belum ia baca.
"Za, coba tengok ke arah belakang pintu unit kesehatan..."
"Apa lagi sih? Gak usah macem-macem ya lo Vento! Awas aj—"
Dengan brutal, Aza menyibak tirai putih yang mengganggu penglihatannya untuk bisa melihat pintu depan dan ...
Ia melihat jika tas nya tergantung di sana.
"Udah liat kan? Di sana ada tas lo. Gue udah izinin lo buat gak ngikutin jam pelajaran sampai bel pulang. Kalau lo udah sadar, lo pulang ya? Gue gak bisa nganterin lo karena gue harus jemput tante gue di stasiun. Sekali lagi maaf ya?
Tertanda: Vento
Aza menggelengkan kepalanya. Keheranan.
Setelah itu, ia kembali melirik ke sticky note yang satunya.
"Aza! Ini gue Joey. Cuma mau ngingetin kalau kotak bekalnya dihabisin ya! Kasian tuh bokap lo buatin makanannya, tapi kagak lo makan. Jangan sakit-sakit ya, Za. Stay healthy!
Tertanda : Joey
Untuk kali ini, Aza menyunggingkan sebuah senyuman terbaiknya. Merasa tersentuh, tetapi disisi lain juga merasa jijik—karena jujur sedikit lebay.
"Oke, oke kita tebak isi kotak bekal ini apaan."
Aza meraih kotak bekalnya dengan sedikit malas. Jujur, jika ia berada di sekolah, kotak bekalnya itu tak pernah ia sentuh sama sekali. Jika ada teman-teman segeng-nya, maka kotak bekal itu akan langsung ia serahkan ke Ben atau pun Edgar.
"HAH? TUMBEN PAPA KASI GUE NUGGET DINOSAURUS!" pekiknya dengan heboh.
Nugget berbentuk dinosaurus itu adalah makanan kesukaannya sejak kecil.
"Sialan, untung aja nugget gue gak dicomot sama Vento," gumamnya pelan.
Masih dengan posisi berbaring, Aza melahap nugget-nugget itu dengan brutal.
Ting!
Suara notifikasi yang berasal dari ponselnya itu membuat konsentrasi makannya sedikit buyar.
"Duh, sejak kapan sih ponsel gue terhubung sama wifi di sini?"
Ia meraba-raba saku celananya dan menemukan apa yang ia cari.
Dan Aza curiga, jangan-jangan ada yang memakai ponselnya dan lupa mematikan wifi-nya.
"Gila sih, siapa pula yang pakai ponsel gue?" omelnya sembari masih sibuk mengecek penyebab ponselnya berbunyi. "HAH? SEJAK KAPAN GUE BUKA INSTAGERAM?"
Cepat-cepat Aza membuka aplikasi itu dan menemukan sesuatu.
Kedua matanya membulat, ia benar-benar dibuat kaget.
"Uhuk uhuk air mana air." Bersusah payah ia mencari air dan akhirnya harus meminum sekotak susu stroberi yang sengaja diletakkan oleh papa-nya di samping nugget kesukaannya.
Ia mengubah posisinya menjadi setengah duduk. "Kok Arlan bisa follow gue sih? Dapet username gue darimana coba?"
Aza buru-buru mengikuti balik akun itu. Sebuah notifikasi kembali terdengar dari balik ponselnya.
Arhuang.
Dvarlan_ : Ar?
Dvarlan_ : Ini beneran akun lo kan?
Lagi-lagi Aza dibuat terkejut dengan Arlan yang tiba-tiba nge-dm dia.
Dengan gemetar, ia mulai membalas pesan cowok itu.
Iya, kenapa?
Devarlan_ : Coba tengok ke arah jendela
Aza memilih buat gak mengikuti perintah cocok itu. Jujur aja, dia kapok gara-gara sticky note yang ditulis oleh Vento.
Apaan sih?
Devarlan : Coba liat dulu, tangan gue pegel nih
Aza akhirnya menurut dan lagi-lagi jantungnya hampir aja copot.
"ASTAGA ARLAN! NGAPAIN LO DI SITU?"
Arlan yang sedang menyembulkan kepalanya dari balik jendela yang terbuka lebar hanya cengengesan. Dan kalau boleh tahu, ruang unit kesehatan itu ada di lantai dua. Artinya cowok itu nekat banget naik ke atas sana.