Chereads / Weird : Road to Hell / Chapter 9 - BAB 9 : Si Aneh

Chapter 9 - BAB 9 : Si Aneh

"Lan, ngapain lo ke sini?"

Cowok itu gak membalas pertanyaan Aza, justru ia malah cengengesan. Nampaknya ia sangat kesusahan untuk naik ke atas jendela.

"Ar, tangkap ya?"

"Tangkap ap—"

jedug!

"HEH SIALAN! KENA HIDUNG GUE TAHU GAK! SAKIT BEGO! NGAPAIN LO LEMPAR PONSEL LO KE ARAH GUE HA?

Barusan lelaki itu melemparkan ponselnya ke arah gadis garang itu.

Sementara itu, sang pembuat kekacauan hanya tertawa dari balik usahanya. "Abisnya banyak nanya sih. Kan tadi udah gue suruh tangkap."

Setelah beberapa menit berusaha untuk menaiki bibir jendela, akhirnya cowok itu berhasil juga.

"Gimana caranya lo naik ke atas sini?" selidik Aza sembari memegangi batang hidungnya yang terkena lemparan ponsel tadi.

"Pakai tangga terus sedikit berjalan dengan hati-hati kayak di film-film gitu."

Aza berdecih sembari merapikan kemejanya yang mulai kusut.

"Tahu dari mana kalau gue ada di sini?"

Pertama-tama cowok bertubuh tinggi itu diam sejenak. Sepertinya sedang mencari jawaban yang pas untuk Aza.

"Feeling aja sih."

Aza memicingkan matanya ke arah Arlan, curiga. "Yakin feeling?"

"Iye yakin, ah. Banyak nanya," sergah Arlan.

"Kenapa harus lewat jendela sih? Kan bisa lewat depan?"

"Kalau lewat depan, malu."

Dan Aza benar-benar gak bisa membendung semua amarahnya ketika dihadapkan dengan cowok bernama Arlan ini.

"YA LEBIH MALU-MALUIN LAGI KALAU LO KE SINI MANJAT-MANJAT DINDING TERUS MASUK LEWAT JENDELA KAYAK GINI!"

Lelaki itu malah tertawa kegirangan sembari menepuk-nepuk kedua tangannya.

"Ya abisnya sekolah lo juga sepi, jadinya ya gue naik ke atas sini pakai tangga dan sedikit manjat-manjat gak jelas."

Aza memutar bola matanya malas dan kembali meminum susu stroberinya.

"Ada ya manusia yang lebih senang nyusahin dirinya sendiri," sindir Aza.

"Hah siapa tuh?"

Sebuah kotak susu kosong mendarat di kepala Arlan.

"Ar, ngapain lempar-lempar gitu?"

"Ya abisnya lo gak berkaca diri. Kan orang yang gue sindir itu lo."

Arlan memilih bodo amat aja dan meraih tas Aza yang tergantung di belakang pintu unit kesehatan.

"Yok, pulang. Gue anterin."

-------------

Kini Aza terus-terus mengerucutkan bibirnya sembari menyamakan langkah kakinya dengan cowok aneh itu.

"Kok lo tahu letak unit kesehatan sih?" tanya Aza sedikit penasaran.

Yang ditanya hanya berjalan santai dan seolah-olah tak mendengarkan pertanyaan Aza.

"Lan, Arlan!"

Otomatis langkah kaki itu terhenti, seiring dengan Aza yang menabrak punggung cowok itu.

"Kalau mau berhenti tuh bilang dulu, dong! Jangan asal ngerem kayak gini!"

Cowok itu membalikkan badannya ke hadapan Aza dan menatap gadis itu dengan lekat. Jelas Aza langsung menundukkan kepala, merasa malu jika ditatap seperti itu.

"Ya gue hapal aja. Unit kesehatan itu kan gordennya identik dengan warna putih. Jadi ya gue beranggapan kalau unit kesehatan disebelah situ," ujar Arlan menjelaskan apa yang dia pikirkan.

"Yaudah, entar gue suruh anak palang merah biar gordennya diganti jadi bunga-bunga," balas Aza acuh tak acuh.

"Serah lo, gak peduli."

Arlan kembali berjalan, tetapi malah berjalan mundur.

"Heh, ngapain lo jalan mundur begitu?"

"Gak papa, pengin aja."

Aza mengacak-acak rambutnya. Baru kali ini ia bertemu dengan cowok se-freak Arlan.

"Entar lo nabrak baru tahu rasa."

"Enggak lah, kan gue sambil liatin lo. Ya gak bakalan nabrak lah."

Entah itu rayuan atau ledekan, yang jelas Aza jadi salah tingkah.

"Di kira muka gue spion apa, ada pantulannya dari arah belakang lo," celetuk Aza

"Ya memang spion kan. Cembung gitu, mirip sama badan lo."

"Bacot lagi gue bocorin kepala lo!"

Untuk kali ini, cowok itu terdiam.

"Oh iya, jangan anterin gue ke rumah ya. Gue mau jenguk temen gue."

"Ikut sama gue dulu, ke suatu tempat."

Aza gak tahu pasti tempat apa yang di maksud oleh Arlan. Ia berharap, jika Arlan tidak membawanya ke tempat yang selama ini ia hindari.

Pesta ulang tahun.

--------

"Gila ya, jarak dari unit kesehatan sama parkiran tuh jauh banget, makan waktu!"

Di setiap langkahnya, Arlan selalu saja mengeluh. Entah itu mengomentari luasnya gedung sekolah Aza atau pun banyaknya lorong yang membuatnya pusing.

"Ngeluh mulu sih, pusing gue!" balas Aza nyolot.

"Cici!"

Atensi Aza beralih ke segerombolan anak basket yang sedang ngadem di bawah pohon mangga.

Dengan senang hati, ia melambaikan tangannya ke segerombolan cowok-cowok itu.

"Teman lo?"

Aza menganggukkan kepalanya, "Temen nongkrong juga. Kalau lagi bolos, mereka nemenin gue minum kopi di warkop deket sini."

"Yuk samperin mereka!"

Gadis pemarah itu berlari ke arah temen-temannya. Arlan jadi terpaku melihat senyuman yang terukir di bibirnya. Baru kali ini Arlan melihat gadis itu tersenyum manis. Dadanya mulai bergemuruh, sepertinya ia semakin jatuh ke dalam pesona gadis bermata sipit itu.

"Ci, lo gak papa kan? Masih pusing? Udah mendingan? Atau lagi sakit—"

Buru-buru Aza menyumpal mulut temannya menggunakan daun mangga. "Vid, gue gak papa. Udah mendingan kok."

Cowok yang di sapa "Vid" itu malah memegang kening Aza.

"Ngapain pegang-pegang kening segala?" tanya Aza.

"Siapa tahu kumat."

"Kumat apaan?"

"Kumat gilanya."

Cowok-cowok itu pada ngakakkin gadis yang jelas-jelas mudah marah.

"David, stop ya! Gak ada yang lucu! Jangan ketawa!" bentak Aza.

Seketika mereka terdiam, lalu kembali tertawa.

"Marah-marah mulu ih, nyeremin tahu gak," sahut seorang cowok berkulit agak gelap. "Nanti gak ada cowok yang mau sama Cici, kan bahaya."

"Lo jangan ngomong gitu, bro." David menepuk bahu temannya dengan pelan, "lihat di sana. Cowok itu tadi lagi jalan bareng sama Ci Aza."

"Wah impresif ya, Ci," celetuk temannya yang lain.

Kedua mata Aza menangkap sosok Arlan yang sedang duduk seorang diri di tengah lapangan. Ia duduk sila sembari ketawa-ketawa sendiri.

"Idih napa tuh, cowok? Kesambet apa gimana ya?" ceplos Aza tanpa sadar.

"Cowok baru?" selidik cowok beralis tebal.

Lantas Aza tertawa terbahak-bahak. "Bukan, pembantu baru."

Mereka semua tertawa bersama-sama. Arlan bisa melihat semuanya dari kejauhan. Alisnya sedikit mengerut, seolah-olah ikut penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh Aza dan teman-temannya.

"Kok dibilang pembantu sih? Cakep gitu kok," balas David seketika membuat suara tawa mereka meredam.

"Ya lihat aja tuh, dia bawain tas gue. Cocok bukan?"

Aza melirik ke arah arlojinya. Jam hampir menunjukkan pukul setengah 3. Ia harus cepat-cepat pergi ke rumah sakit untuk menjenguk teman-temannya.

"Guys, gue mau pergi dulu ya! Semangat latihannya."

"Iya, Ci!" jawab mereka semua serempak.

Aza menghampiri Arlan yang tengah berdiam diri di tengah lapangan. Cowok itu menatap kedatangan Aza dengan raut wajah senang.

"Ayo kita berangkat, entar gue kesorean lagi jenguk temen-temen gue," ajak Aza sembari narik-narik lengannya Arlan.

"Sebentar, Ar. Gue masih ngeliatin semut berantem."

Lagian Arlan aneh banget, semut berantem aja diliatin segala.

"Mana sih? Gak liat gue." Aza ikut berjongkok dan mencari-cari wujud semut itu.

"Udah lo injek."

"HAH?"

Aza langsung lompat-lompat gak jelas dan bodohnya dia ngecek bagian bawah sepatunya. Beneran keinjek atau enggak.

"Hahahaha, Ar. Sumpah lo lucu banget."

Merasa dipermainkan, Aza malah meninggalkan Arlan yang tengah tertawa berbahagia.

"Ar, tungguin gue napa!"