Aza mengendap-endap masuk ke dalam rumahnya. Keadaan rumah pada saat itu sangat sepi. Kesempatan emas bagi Aza untuk masuk ke dalam kamarnya dan cepet-cepet pergi mandi.
Ketika ingin masuk ke dalam kamarnya, ia dikejutkan dengan seseorang yang menepuk bahunya.
"Astaga, Joey! Ngagetin aja." Aza hanya bisa mengelus dadanya.
Joey terkekeh. "Ngapain sih ngendap-ngendap segala? Mau maling di kamar sendiri, ya?" Joey udah ketawa ngeliat ekspresi kaget Aza yang menurutnya sangat lucu.
Aza celingak-celinguk. Memastikan jika tidak ada orang selain Joey dan dirinya.
Joey yang bingung dengan sikap was-was Aza pun bersuara, "Nyari siapa?"
"Lo di sini sendirian?" tanya Aza balik.
"Iya, tadi Adam pergi terus orangtua lo belum balik-balik." Penjelasan Joey ini membuat Aza lega sekaligus heran.
Herannya ya karena tumben aja gitu rumah dalam keadaan sepi dan kedua orangtuanya belum balik-balik. Kalau Adam sih anaknya suka keluyuran. Jadi Aza gak bakalan kaget.
"Bagus deh kalau gitu, gue gak bakalan dimarahin sama Papa dan Enyak deh, hehehe." Aza nyengir dan merasa sangat beruntung. Di saat dia babak belur, kedua orangtuanya malah gak ada di rumah.
Atensi Joey kini beralih ke wajah Aza yang dipenuhi oleh banyak luka dan lebam. "Za, lo abis berantem? Baju lo juga banyak bercak darah begini. Lo baik-baik aja kan?" Joey mencengkram kedua bahu Aza.
"Iya, gue abis berantem." Aza nyingkirin kedua tangan Joey yang mencengkram bahunya dengan kuat. "Gue baik-baik aja kok."
Sebenarnya Joey masih belum puas dengan jawaban yang keluar dari bibir Aza. Aza itu memang suka berantem. Mungkin itu juga passion-nya. Teman ceweknya itu akan khawatir jika Aza berakhir seperti ini. Berakhir menjadi babak belur.
"Loh, lo di sini jadi penunggu rumah gue ya? Esther mana?" Aza baru sadar jika sedari tadi keberadaan teman centilnya itu gak kelihatan.
"Penunggu rumah dikira gue hantu kali ya," tutur Joey malah membuat Aza tertawa. "Si Eteng pamit pulang duluan," lanjutnya.
Aza mengerutkan dahinya. "Gak bilang apa-apa sama lo?"
"Enggak, langsung nyelonong aja anaknya." Joey ngerapiin rambutnya terus mulai bicara lagi. "Za, gue nginep di sini ya? Di rumah gak ada orang."
Joey mengatakan hal itu dengan muka melasnya.
"Bukannya jagain rumah malah nginep di sini. Pulang sono, kan besok kita masih sekolah."
"Gak mau ah, gue takut di rumah sendirian. Tenang aja, gue tadi ke sini bawa seragam sama buku pelajaran buat besok kok. Sehari aja ya, soalnya Ibu gue baru pulang besok."
Penjelasan Joey tadi membuat Aza iba. Tapi bukan Aza kalau tidak jahil. Ia malahan bercandain temen ceweknya itu. "Pintu rumah gue sangat tertutup buat lo. Jadi maaf-maaf aja nih ya.
"ARIA!" Joey nunjukkin muka garangnya. "Gak sohib lagi nih kita," ujarnya mengancam.
"Iya iya gue cuma bercanda. Tarif nginepnya permalam 1 M ya. Itu belum termasuk makan, wifi, mandi sama yang lain-lain loh ya. Cuma biaya sewa kamar," ujar Aza asal.
"Dasar cibe!" hardik Joey.
"Cibe apaan?"
"CHINA BEGO!"
"Heh!"
───────────────────
Aza lebih memilih tiduran di sofa ruang tamu daripada kasur berukuran kingsize miliknya. Setelah berantem tadi, seluruh badan Aza rasanya kayak remuk. Rasa sakit itu mulai terasa setelah badan bongsornya mendarat di atas sofa.
"Aduh, ini badan gue sakit bener dah," keluh Aza.
Merasa bosan, akhirnya ia memilih untuk melihat ponselnya sebentar. Sesekali membuka akun instagramnya yang selama ini sudah ia biarkan begitu saja. Terakhir kali ia meng-upload sebuah foto pada bulan Oktober tahun lalu. Foto itu adalah foto dirinya bersama Adam pada malam Halloween.
Aza mengenakan kostum Harley Quinn sedangkan Adam mengenakan kostum Joker. Mereka terlihat saling melengkapi, yang satu ganteng dan yang satunya cantik.
Aria memakai kostum Harley Quinn karena ia sangat menyukai tokoh utama dalam film birds of prey itu. Menurutnya, Harley itu adalah wanita yang sangat kuat. Sifatnya yang bar-bar dan gaya pakaiannya yang terkesan berandalan membuat dirinya sangat mengagumi tokoh itu. Ia beranggapan jika dirinya adalah cerminan dari Harley Quinn. Entahlah, itu hanya pemikiran seorang gadis tomboi berusia 17 tahun yang bernama Aza.
Di foto itu, rambutnya yang panjang ia kuncir dua. Ia pun rela-rela untuk mewarnai rambutnya supaya terlihat mirip dengan tokoh idolanya itu. Adam juga tak mau kalah, adiknya itu bahkan mewarnai rambutnya menjadi hijau agar mirip dengan tokoh Joker. Mereka berdua terlihat tersenyum di foto itu. Mereka tersenyum dengan sangat lebar hingga kedua mata mereka hanya terlihat segaris.
Aza mengulas senyumnya ketika melihat foto itu. Senyuman itu tidak berlangsung lama karena teriakan Joey yang berasal dari dapur berhasil membuatnya tersentak kaget.
"ZA, MAU GUE BUATIN MIE INSTAN JUGA GAK?"
Jujur sedari tadi ia memang lapar. Apalagi setelah berantem tadi. Makin lapar deh dia.
"IYA!"
Ponsel yang semula ia pegang pun kini langsung ia letakkan kembali ke atas nakas. Perlahan kedua matanya terpejam. Ia benar-benar sangat kelelahan.
Baru beberapa menit ia tertidur, kini dengan mudahnya kedua matanya itu kembali terjaga.
"Kok gelap?" Aza mengucek kedua matanya. Berharap jika keadaan di sekitarnya berubah. Nyatanya, ia masih tidak bisa melihat dengan jelas.
Sangat gelap.
Ia terus berjalan dan sesekali berusaha meraba-raba keadaan sekitarnya. Tempat gelap itu bukan ruang tamunya. Tempat itu tidak memiliki dinding atau apapun. Aza merasa seperti berada di lapangan terbuka yang tidak berujung.
"Joey? Lampunya lo matiin ya?"
Tidak ada tanda-tanda jika temannya itu berada di sekitarnya. "Jo, ini tuh gak lucu ya."
Rasa takut mulai menyelimuti dirinya. "Apa jangan-jangan listrik di rumah ini nunggak?" gumam Aza pelan.
Tiba-tiba saja ia menemukan seberkas cahaya yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri. Karena penasaran, ia mengikuti cahaya itu. Semakin dekat, ia bisa melihat sebuah siluet seorang laki-laki.
Kedua kaki Aza masih saja berjalan ke arah siluet itu. Setelah didekati, ia mendapati seorang lelaki memakai jas berwarna hitam.
Cahaya itu berasal dari lampu yang menggantung di atasnya. Ia nampak duduk di sebuah bangku dalam keadaan tubuh yang terantai. Kedua matanya di tutup oleh sebuah kain berwarna merah. Posisi lelaki itu memunggungi Aza. Ia duduk menghadap kegelapan, bukan menghadap Aza.
"Lo Arlan?" tanya Aza dengan sedikit ragu.
Dari potongan rambut dan postur badannya, jelas jika itu adalah Arlan. Orang yang ia temui tadi sore dan bersikap sok manis terhadapnya.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia tidak bergerak sama sekali. Seakan-akan jika ia sudah pasrah dengan semua yang terjadi kepadanya.
"Arlan? Bapak dan ibu menjemputmu, Nak." Dari arah Utara, Aza mendengar suara seorang wanita paruh baya yang memanggil Arlan.
Aza tidak salah menebak jika orang itu adalah Arlan.
"Ibu Susan? Ibu, tolongin Arlan," pinta Arlan dengan suara paraunya.
"Arlan, kamu harus pergi dari sini. Jangan temui kami lagi. Gadis itu akan menghancurkanmu, Nak." Dari arah yang berlawanan, muncul suara seorang bapak-bapak. Sepertinya ia adalah orang yang mengaku sebagai ayahnya Arlan.
Mereka menghampiri Arlan. Wanita paruh baya itu menangkup kedua pipinya dan laki-laki yang berada disampingnya nampak mengelus surai hitam Arlan.
"Bu Susan, Pak Azka. Arlan gak mau nikah sama perempuan iblis itu."
Kalimat yang keluar dari bibir Arlan tadi membuat Aria membulatkan kedua matanya. Menikah? Apa-apaan ini? Siapa yang akan Arlan nikahi?
"Kalau kamu tidak mau bersamanya, kamu harus pergi dari sini. Jangan mengingat kami lagi. Sudah banyak hal yang Ibu dan Bapak lakukan sama kamu. Ini semua sudah lebih dari cukup, Nak." Wanita itu berkali-kali menciumi wajah Arlan.
"Enggak, kalian gak boleh pergi! Jangan pergi!"
Setelah Arlan mengatakan hal itu, pasutri itu tiba-tiba terseret kembali ke dalam kegelapan. Mereka berteriak dengan sangat keras hingga Aza tak kuasa menutup kedua daun telinganya.
"BAPAK, IBU!"
Arlan tiada hentinya memanggil pasutri itu.
Aza ingin menbantu Arlan tetapi kedua kakinya seakan-akan tak bisa digerakkan. Napasnya juga tercekat. Seperti ada sesuatu yang menjalar di dalam tenggorokannya. Tubuhnya juga terasa panas.
Kemudian Aza mendengar suara langkah seseorang yang menghampiri Arlan. Dari suara langkah kakinya, orang itu adalah seorang wanita. Suara ketukan ujung high heels yang menyentuh permukaan lantai itu hampir memenuhi seluruh ruangan.
Wanita itu semakin mendekat dan ia mulai menampakkan diri di bawah lampu yang menerangi Arlan.
"Cla?" batin Aza.
Wanita itu adalah Cla. Ia nampak mengenakkan sebuah gaun pengantin berwarna putih. Ia menyeringai ke arah Arlan.
"Arlan sayang, kita akan hidup bahagia di sini," bisik Cla tepat di telinga kiri kanan Arlan. "Hanya kita berdua. Untuk selama-lamanya."
Cla tertawa jahat. Suara tawanya itu terdengar seperti seorang penyihir.
"Ar, pergi dari sini! Pergi!" teriak Arlan secara tiba-tiba.
Cla kini mengalihkan atensinya ke arah Aria. Ia menatap wajah Aza dengan sangat tajam. "Aza, ngapain lo di sini!"
"Aza, bangun!"
Samar-samar, Aza mendengar suara Joey yang seakan-akan membangunkannya.
"Ar, lo harus bangun! Jangan peduliin gue! Pergi dari sini, Ar!"
Aria memejamkan matanya. Berharap jika ia bisa pergi meninggalkan tempat ini.
"Aria, jangan lari lo ya!" pekik Cla.
Tubuh Aza sedari tadi mengalami kejang-kejang. Joey sudah tidak perduli dengan kedua mangkuk yang pecahannya sudah berserakan di lantai. Ia menjatuhkan kedua mangkuk yang berisikan mie itu karena panik melihat keadaan Aza.
"Aza, Aria! Bangun!" Joey menepuk-nepuk kedua pipi Aza secara bergantian.
Aza membuka kedua matanya. Ia masih kesulitan bernapas. Bahkan tangannya mencengkram lengan milik Joey.
"Za, lo kenapa?"
Tangis Joey pecah ketika melihat kejang yang dialami oleh temannya itu semakin menjadi-jadi. Kedua mata Aza melotot.
Berselang beberapa menit kemudian kejang yang dialami oleh Aza mereda. Anak itu juga sudah bisa bernapas seperti biasanya.
"Za, lo kenapa sih?"
Kedua manik Hazel milik Aza beradu dengan kedua manik hitam milik Joey. "Jo, gue harus nemuin Arlan."
Joey tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Aza. "Arlan itu siapa?"
Bukannya menjawab pertanyaan Joey, gadis bermata sipit itu malah berlari keluar rumah.
"ZA! LO MAU KEMANA?"
Joey tidak bisa mengejar Aza karena tubuhnya mendadak lemas. Kedua tangannya pun bahkan bergetar dengan hebat. Baru pertama kali ini ia melihat Aza seperti itu. Keadaan Aza tadi sangat menyeramkan.
Dengan segenap tenaga yang ia punya, ia langsung merogoh ponsel yang berada di sakunya dan menelpon Adam. "Dam ... Cici lo aneh. Tolong ... cari dia."
Seketika itu juga Joey langsung tak sadarkan diri.