Kejadian semalam masih saja membekas dipikiran Aza. Tentang mimpi buruknya yang seakan-akan nyata serta cerita yang keluar dari mulut Ajun. Ia merasa jika nyawa Arlan dalam bahaya.
"Jo, tadi malam tuh gue kenapa sih?"
Joey ngelirik sebentar ke arah Aza lalu kembali sibuk memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tasnya. "Lo aneh. Gara-gara lo, gue sampai pingsan."
Adam juga enggak ngejelasin segalanya ke Aza. Maka dari itu, gadis bermata sipit itu memilih untuk bertanya kepada Joey.
"Anehnya?"
"Ya aneh! Lo kejang-kejang gitu terus kedua mata lo melotot tajam!"
Aza tertegun sebentar. Jujur dia gak pernah ngelakuin hal itu.
"Dan pas lo udah sadar, lo nyebut nama Arlan. Arlan itu siapa?" selidik Joey.
Seketika semburat merah muncul dari kedua pipi Aza. Sebelumnya, tak pernah gadis itu malu-malu seperti ini.
"Heh, kok pipinya merah sih? Jatuh cinta ya?" goda Joey diselingi dengan gelak tawa.
"Halah, berisik."
Daripada dia kena bully si Joey, mending dia pergi ke luar. Pura-pura ke ruang makan. Padahal setiap pagi tuh dia enggan buat sarapan.
"Sama temen sendiri juga, kenapa malu-malu sih? Heh Aza tungguin gue!"
-------
Aza pergi ke ruang makan dengan langkah tergesa-gesa. Ia masih kesal dengan ledekan yang keluar dari mulut Joey.
Sementara itu, Joey mengekor. Aza bagaikan induk ayam yang diikuti oleh anaknya.
"Ngapain sih lo ngikutin gue?" tanya Aza dengan nada kesal.
"Apa sih? Gue tuh disuruh sama Enyak lo buat makan di sini. Pede banget sih diikutin."
Aza melirik ke arah Joey dengan tatapan sinisnya.
"Kok malah berantem sih? Ayo ayo sini makan dulu," titah Enyak Aza.
Joey dengan senang hati duduk di salah kursi yang ada di sana. Tidak halnya dengan Aza, ia malah mengepalkan kedua tangannya.
"Daripada marah-marah gitu, mending Cici ambil kotak bekalnya terus berangkat ke sekolah."
Aza mendelik ke arah adiknya yang sudah tersenyum jahil.
"Mau ngusir aku?" tanya Aza dengan wajah yang memerah. Pagi-pagi begini dia udah dibikin kesal setengah mati.
"Gak ngusir, cuma takut aja kalau Cici bakalan telat. Nih ambil kotak bekalnya." Adam nyodorin kotak bekal berwarna merah muda kepada kakak perempuannya.
"Kok kotak bekalnya warna merah muda sih? Ih Papa, kotak bekal ku yang biasanya mana?"
Bukannya menjawab, Papa nya malah tertawa. Jadi, seisi ruang makan pada ngetawain Aza.
"Belum Papa cuci, masih ada di tumpukan piring kotor tuh. Kalau mau ya cuci sendiri. Papa gak sempat nyuciin kotak bekal mu. Sudah gede kan ya?" jelas Papa-nya.
Aza menghela napasnya kasar. Daripada ia telat, lebih baik ia segera mengambil kotak bekal itu dan menunggu Ben menjemputnya di depan rumah.
"Astaga!" Aza menepuk keningnya dengan pelan.
"Kenape lagi sih anak Enyak? Pagi-pagi dah riweuh aja kamu tuh," omel Enyak dengan wajah yang masam.
"Adam, Ben gak bisa jemput aku! Cepetan dong kamu antar aku ke sekolah! Aku baru inget kalau pagi ini disuruh ngumpulin tugas matematika. Kalau aku telat ngumpulin, bisa-bisa aku gak ikut ulangan harian! Cepetan Adam!" pinta Aza sembari menarik-narik lengan adiknya.
"Ck, Cici lupa ya? Sekolah kita kan beda arah. Cici mau bikin aku telat? Iya?"
Seketika gadis bermata sipit itu bungkam. Dengan langkah besar, ia berjalan menuju ke arah pintu depan.
"Marah-marah mulu sih, heran," gumam Joey dengan santainya melahap roti bakar yang disediakan oleh keluarga Huang.
------
Kira-kira Aza masih punya waktu 15 menit lagi untuk bisa mengumpulkan tugas itu dengan tepat waktu.
"Argh, kenapa sih Ben tiba-tiba berhalangan masuk? Kan gue jadi bingung nih mau naik apa."
Tanpa Aza ketahui, Arlan membuntuti gadis itu dengan motor gedenya hingga keluar dari kawasan perumahan.
"Siapa lo? Jangan ngikutin gue!"
Seakan tahu dengan kehadiran Arlan, Aza membalikkan badannya. Di sana ia melihat sosok Arlan yang masih berada di atas motornya. Lelaki itu tersenyum lebar ke arahnya.
"Mau ngapain lo?" tanya Aza ketus. Tak lupa kedua tangannya ia lipat di depan dada.
"Nih, buku tugas punya temen lo."
Arlan mengeluarkan buku tulis itu dari dalam jaket bombernya. Di sampul depannya tertera nama Ben. Sangat jelas jika buku itu adalah buku tulis milik temannya, Ben.
"Kok bukunya Ben ada sama lo? terus Ben-nya kemana?"
"Ck, terlalu banyak bertanya. Cepetan naik."
Daripada ia tidak mengikuti ulangan harian, lebih baik Aza menuruti perkataan lelaki itu.
----------
Jika di setiap pagi Aza akan mengomel tidak ada habisnya, maka omelan itu akan lenyap jika ia bersama dengan Arlan. Entah mengapa, yang jelas Aza tidak berani marah-marah ke Arlan atau pun meninggikan suaranya.
Gadis itu berubah menjadi gadis kalem nan penurut.
"Lo kok pakai celana sih? Pakai celana abu-abu pula. Persis kayak laki-laki," komentar Arlan secara tiba-tiba.
"Rok gue kependekan," jawab Aza beralasan.
"Kan bisa pakai rok panjang."
"Kok lo malah ngatur-ngatur gue sih?"
Bukannya menjawab, Arlan malah terkekeh.
"Gak usah banyak omong, cepetan ngebut! Gue udah telat nih!"
"As your wish, Ar."
Arlan beneran ngebut sampai-sampai Aza hampir aja kejengkang.
"Kurang ajar! Mau bikin gue masuk UGD ya?"
Arlan ketawa sejadi-jadinya sedangkan Aza udah merapal beribu umpatan di dalam hati.
------
"Sekolah lo di sini kan?"
Aza menganggukkan kepalanya pelan sembari melepas helm bogo hitam yang bertengger di kepalanya.
"Makasih ya udah mau nganterin gue, Ya udah lo pergi sana. Gue mau ke sana dulu ya Ar—"
Ucapan Aza sempat terpotong karena lengannya ditarik oleh Arlan. "Cepetan lo ke sana, entar lo balik lagi ke sini."
Aza jadi bingung dengan perlakuan Arlan dan sedari tadi tuh banyak pasang mata yang memerhatikan mereka.
"Sebentar ya, gue mau ke sana dulu," ujar Aza sambil berlari ke arah pos satpam.
Gadis itu berlari ke arah pos satpam dengan langkah besar. Jujur jika berlama-lama didekat Arlan, jantungnya berdetak tidak keruan.
"Pak, ini buku tugas saya dan Ben."
Kebetulan pagi itu guru matematikanya—Pak Aslan—tengah asik berbincang dengan satpam sembari menunggu anak buahnya mengumpulkan tugas. Mata elang itu menatap kedua buku tugas yang dibawa oleh Aza dengan tajam.
"Baiklah, kamu tercatat sebagai pengumpul ke-10 dan Ben ke-11. Untung aja bukan pengumpul terakhir," jelas Pak Ashlan sambil menandai kedua buku itu dengan pena merah.
"Hah? Kalau ngumpul paling terakhir memangnya kenapa?" tanya Aza sedikit penasaran.
"Tidak akan saya izinkan untuk mengikuti ulangan harian dan sebagai gantinya harus memilah seluruh sampah yang ada di sekolah ini untuk disetor ke bank sampah."
Aza menggelengkan kepalanya. Ia sudah membayangkan betapa menjijikkannya sampah-sampah itu.
"Kalau begitu saya permisi ya, Pak."
---------------
Arlan masih setia menunggu kakak kelasnya itu. Ia nampaknya tak memedulikan dirinya telat berangkat ke sekolah atau pun menjadi bahan perbincangan siswa-siswi yang lewat di sekitar parkiran.
"Lan, mau ngomong apa? Gue mau ke kelas nih."
"Gue mau bahas tentang mimpi lo."
"Mimpi yang mana?"
Arlan jentikkin jarinya dan bangkit dari posisi duduknya menjadi berdiri menghadap Aza. "Kak Ajun cerita ke gue, tentang semua mimpi lo dan kemunculan Cla."
Aza tersenyum paksa, "Entah kenapa gue bisa mimpiin lo. Feeling gue mengatakan kalau lo dalam masalah besar."
"Jujur gue gak ngerti sama apa yang lo bilang. Yang jelas sih, dia itu selalu neror gue dan ah puncaknya ya kemarin. Tiba-tiba ada bangkai ayam di depan pintu kostan gue. Lalu foto gue dicoret-coret dan dipenuhi oleh tetesan darah."
Aza tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan oleh Arlan. "Kok lo bisa tau kalau dia yang ngirim bangkai ayam itu?"
"Dia nelpon gue dan bilang kalau dia yang ngirim bangkai ayam itu. Hahaha dasar gadis gila."
"Sebenarnya gue masih penasaran sama hubungan lo dan Cla tapi lo juga harus ke sekolah, bodoh!" Aza dorong-dorong badan bongsor Arlan, "entar lo telat!"
"Ah, gak papa telat. Pagi ini gurunya juga gak ada," ujar Arlan santai. "Lagian lo kan juga ketua geng yang paling disegani. Ngapain serius belajar sih?"
Aza melototin lawan bicaranya itu. "Kalau gue sering bolos, bisa-bisa gue ditabok sama Enyak gue anjir! Emangnya gue lo apa, jauh dari orang tua dan gak dipeduliin sama sekali. Ya pantes aja bisa bebas ngelakuin apapun."
Wajah Arlan yang semulanya sumringah mendadak muram. Mood lelaki itu sepertinya hancur karena omongan pedas Aza.
"Oke, gue pergi."
Arlan mulai menaikki motor kebanggannya dan buru-buru mengenakan helm.
"Lan, lo gue gak maksud bikin lo—"
Dan ucapan Aza tak digubris oleh Arlan. Lelaki itu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.