Chereads / Weird : Road to Hell / Chapter 2 - BAB 2 : GANG BERRY

Chapter 2 - BAB 2 : GANG BERRY

Gang berry adalah salah satu tempat yang paling dihindari oleh semua orang. Tempat itu adalah tempat berkumpulnya para preman dan anak-anak sekolah yang sok jagoan. Orang-orang juga percaya jika gang ini menyimpan banyak kisah misteri, salah satunya isu tentang hantu seorang gadis yang dibunuh oleh preman beberapa tahun silam.

Seolah-olah gang itu di cap sebagai tempat paling mengerikan yang ada dilingkungan tempat tinggal Aza. Lembab, kotor, dan menyeramkan. Itulah tiga kata yang cocok untuk menggambarkan gang ini.

"Di sana bos!" Ben menunjuk ke salah satu gang buntu.

Aza terbelalak ketika melihat orang yang menghajar teman se-gengnya.

Orang itu adalah Arsya, sahabat semasa kecilnya bersama dengan Vento. Hal itu hanya jadi masa lalu, sekarang Aza sangat membenci Arsya.

"Oh, bos-nya ternyata adalah seorang gadis." Arsya tersenyum miring. "Ternyata kalian ini payah ya, malah berlindung di bawah ketiak wanita."

"Mereka gak payah, tapi lo yang payah!" telunjuknya ia acung-acungin ke arah Arsya. "Satu lagi, ngapain lo datang ke sini lagi?"

"Gue payah? Hahahaha jangan asal bicara ya." tangan Arsya gak tinggal diam, ia malah memelintir tangan temennya Aza. "Tujuan gue? Mau balas dendam ke lo!"

"Stop! Lo masih belum puas bales dendam ke gue? Iya?" tanya Aza dengan kedua tangan yang ia kepalkan. "Jangan sakiti temen-temen gue!"

Bukannya menjawab pertanyaan Aza dan berhenti untuk melukai temen-temen mantan sahabatnya, Arsya malah memelintir lengan salah satu teman Aza. "Berhenti atau gue patahin leher lo sekarang juga, Sya!"

Mendengar kata itu, tanpa ragu Arsya mendekati Aza. Ia mulai menyentuh setiap lekuk wajah Aria, bahkan menekan-nekan bibir merah muda milik Aza. "Rasanya aku ingin melahap benda kenyal ini."

Lantas Aza langsung menepis tangan Arsya yang sudah menyentuh bibirnya. "Dasar lelaki kotor, apa tujuan lo ngehajar temen-temen gue?"

Rambut Aza ia elus-elus dengan lembut. "Untuk memancing bosnya agar datang kemari?"

"Lo dari dulu tuh sama aja ya. Suka bertele-tele."

Dada Arsya ia dorong sehingga tubuh mereka kembali berjarak.

"Masih hapal dengan sifat gue ternyata."

"Ben, lo cepet cari bantuan deh. Gue yang bakalan hadapin dia sendirian. Telpon Ambulance atau siapapun buat bawa temen-temen ke rumah sakit," bisik Aza ke telinga Ben.

"T-tapi bos, kalau dia apa-apain bos gimana?" lirih Ben agak khawatir.

"Jangan khawatirin gue. Gua bakalan baik-baik aja. Udah sana." Aza kibas-kibasin tangannya ke arah Ben. Seketika itu juga Ben pergi meninggalkan Aza dan Arsya.

"Hahaha, bocah cupu itu kabur juga ternyata." Arsya tertawa melihat Ben yang lari pontang-panting.

"Ben bukan lawan lo, wajar aja dia kabur. Lawan sesungguhnya adalah orang yang ada dihadapan lo ini. Arianza Huang."

Sejak kecil, Aza dan Arsya masuk ke dalam kategori bocah yang sangat bandel. Ketika keduanya sedang bertengkar pun orang pertama yang menengahi mereka adalah Vento.

Hingga pada suatu hari, Arsya membuat sebuah kesalahan yang besar dalam semasa hidupnya. Ia menyukai seorang Aza dan harus bersaing dengan Vento. Keduanya menaruh hati pada Aza.

Aza memang tidak menaruh perasaan apapun kepada Arsya maupun Vento. Vento bisa menerima hal itu sementara Arsya tidak. Arsya tidak terima dengan tolakan demi tolakan yang dilontarkan oleh Aza. Merasa sakit hati, Arsya mulai meneror Aria. Teror demi teror ia lakukan untuk membalaskan dendamnya ke Aza.

Dan di saat itulah, hubungan persahabatan mereka semakin merenggang.

Arsya memutuskan untuk pindah sekolah ke Bandung dan akan berhenti mengejar cintanya. Kini yang ada di dalam hatinya bukanlah rasa cinta lagi tetapi bibit-bibit kebencian yang sudah hampir menguasai seluruh jiwanya.

Arsya sangat membenci Vento dan juga Aria.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba datang sekumpulan cowok bertopeng yang sudah mengepungnya. "Oh mainnya keroyokan ya? Dasar banci!"

"Terserah lo mau bilang apa, yang jelas gue ingin seorang petarung hebat di SMKN Alpen bisa tunduk sama Arsya," ujar Arsya yang secara tidak sengaja memberitahu tujuan utamanya.

"Gue tunduk sama lo? Hahaha jangan mimpi. Buat apa tunduk sama penjahat kayak lo. Lo itu udah kayak sampah yang dikasi nyawa tahu gak." Aza berhasil memuntahkan segala kekesalannya.

Amarah sudah hampir menguasai jiwa Arsya. Dengan kurang, ia meludahi wajah mulus Aza. "Mulut lo itu makin bajingan ya?"

Tangan Aza menyeka ludah yang ada diwajahnya. "Gue akan sopan kalau lawan bicara gue juga sopan. Gue akan bajingan jika lawan bicara gue juga bajingan!"

────────────────────

Ben berlari menuju rumah Vento, berharap jika cowok itu mau membantunya.

"Vento! berhenti di situ!"

Vento yang baru berhenti di depan gerbang rumahnya pun melihat Ben yang tengah berlari ke arahnya.

"Ben? Lo abis dikeroyok sama siapa?" tanya Vento ketika ngeliat Ben yang udah babak belur.

"Gue dikeroyok sama anak buahnya... Sebentar gue lupa. Oh iya, sama anak buahnya Arsya!"

Deg! detak jantung Vento seakan berhenti.

"Di sana, ada Aza! Dia mau habisin Aza! Arsya mau habisin Aza di Gang Berry!"

Mendengar nama Aza disebut, Vento terdiam ditempatnya. Ia berpikir, Arsya yang sudah pergi meninggalkan Aria dan dirinya kenapa datang kembali? Dan kini mantan sahabatnya itu menantang Aza yang notabennya adalah seorang cewek. "Anak-anak Zevior juga dihabisin sama anak buahnya Arsya. Kata Aza, kita harus bawa temen-temen ke rumah sakit! Keadaan mereka udah parah banget, Ven."

Tak perlu berlama-lama bagi Vento untuk hanyut dalam lamunannya. Ia harus membantu Aza dan temen-temen se-gengnya.

"Lo masukkin sepeda motor gue ke dalam, terus gue mau ke bagasi buat ambil mobil. Kita pergi ke Gang Berry sekarang!" titah Vento.

Awalnya Arsya tertawa dengan sangat keras, lalu suara tawa itu perlahan memudar. Tergantikan oleh kobaran api yang berada di kedua bola matanya.

"Terlalu banyak bicara, ayo kawan-kawan serang gadis ini," titah Arsya.

Gerombolan cowok bertopeng itu mulai mengepung Aza. Gadis itu bahkan sudah memasang kuda-kuda.

"AZA!"

Atensi mereka semua kini beralih ke arah suara yang berasal dari bibir gang. Orang itu berlari menghampiri Aza.

"Vento?" lirih Aza.

"Oh, sang pujaan hati Aza ternyata udah dateng. Lama tidak berjumpa, pecundang," cibir Arsya.

Vento menghela napasnya kasar. "Jauhi Aza."

"Gak akan pernah, karena gue mau nantangin dia," balas Arsya.

"Vento, mendingan lo pergi deh." Aza mengucapkan kalimat itu tanpa melihat wajah Vento.

"Gue gak bakalan tinggal diem di saat sahabat gue kesusahan. Gue bakalan bantu sahabat gue dari gangguan parasit macam Arsya ini."

Vento menghampiri Aza dan mereka berdua sudah dikepung di segala arah. Tanpa aba-aba, orang-orang suruhan Arsya tadi menyerang keduanya.

Vento dengan lihainya menghajar orang-orang itu dengan membabi buta. Aza juga tak mau kalah.Beberapa pukulan yang datang ia tepis. Berkali-kali Aza menghindari pukulan itu. Malahan orang-orang tadi dibuat kewalahan dengan tingkah Aza.

Melawan Aza sama dengan melawan ribuan orang.

Sangat menguras tenaga.

Tiba-tiba saja Vento tersungkur karena salah satu suruhan Arsya berhasil menendang perut Vento.

"Vento!" pekik Aza.

Dengan cekatan, Aza menghalangi orang yang ingin menghajar Vento lagi dan langsung memukul telak wajah orang itu.

Topengnya cowok yang dipukul oleh Aza pun terlepas dan menampakkan wajah seseorang yang ia kenal.

"Sialan, ternyata Kevin jadi anak buahnya Arsya!"

Kevin adalah mantan ketua geng Zevior yang kekuasaannya diambil alih oleh Aza. Aza juga tidak sengaja melumpuhkan Kevin karena geng itu sempat memalaknya, karena kesal. ia menghabisi Kevin hingga babak belur.

Anak-anak geng Zevior pun tak ada yang berani melawan Aza dan memohon agar gadis itu menjadi bos mereka yang baru.

Aza pun menyetujuinya dan ia menjadi bos geng Zevior sampai sekarang.

Sekarang kita beralih ke keadaan Kevin yang sepertinya tak sadarkan diri karena pukulan Aza tadi.

"Ternyata lo jadi serendah ini setelah dikalahkan sama Aza," ujar Vento ketika melihat tubuh Kevin yang sudah tak sadarkan diri.

Ia lalu bangkit dari tempatnya tersungkur tadi dan mulai membantu Aza untuk melumpuhkan semua anak buah Arsya.

Keduanya dengan gesit langsung menendang, memukul, dan meninju lawannya satu persatu. Satu persatu orang suruhan Arsya tumbang.

Aza memegangi sudut bibirnya. Ternyata sebuah pukulan yang sempat mendarat di wajahnya tadi membuat sudut bibirnya terluka.

"Za, lo gak papa?" tanya Vento ketika melihat sahabatnya itu meringis kesakitan.

"Gue gak papa kok, santai aja."

"Kerja tim yang hebat," ujar Arsya diselingi oleh suara tepuk tangannya. Dada Aza naik turun. Ia masih diselimuti oleh amarah yang semakin bergejolak.

Instingnya Aza itu kuat. Buktinya ia tahu jika ada salah satu anak buah Arsya yang hampir memukulnya dari belakang dengan sebuah kayu. Dengan cekatan, lengan orang itu Aza tahan lalu perutnya ditendang.

Orang itu langsung tak sadarkan diri.

"Masih mau nantang gue? Hm?" tanya Aza diselingi suara otot-ototnya lehernya yang mulai berbunyi.

Entah karena lengah, Arsya malah menggores wajah Aza dengan sebilah pisau yang sedari tadi ia sembunyikan dari balik jaketnya dan melengos pergi meninggalkan tempat itu.

"Woy! Jangan kabur lo! Ah sakit banget." Darah mengucur dari goresan yang berada diwajahnya.

"Aza!" Vento lalu menghampiri Aza dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat wajah sahabatnya itu yang digores oleh Arsya.

"Arsya! Jangan kabur lo! Lo sekarang berurusan sama gue!" Baru saja Vento mau mengejar Arsya, lengannya udah di cengkram kuat sama Aza.

"Gak usah dikejar, sekarang kita harus nolongin temen-temen," ujar Aza pelan.

Para anak buah Arsya yang masih sadar langsung pontang-panting meninggalkan tempat itu. Sebagiannya masih gak sadarkan diri.

"Alden, Edgar, Tristan, Moris, bangun." Aza berusaha membangunkan teman-temannya yang tak sadarkan diri.

Salah satu temannya sadar. "Vento, Aza," panggil si Moris.

"Alhamdulillah lo udah sadar, sekarang lo bantu kita buat bawa temen-temen yang belum sadar ke depan gang," ujar Vento sambil mengangkat badan Alden ke belakang punggungnya.

"Si Edgar berat banget anjir!" keluh Aza

"Gar, lo makan apa sih?" mata Aza melirik ke arah Edgar yang sudah ia gendong ke belakang punggungnya.

Moris terkekeh. "Lagian si Edgar bongsor bener dah, udah kayak anak bapak-bapak yang punya anak dua," timpal Moris.

Alangkah terkejutnya Moris ketika melihat tubuh Kevin yang tergeletak di sana. Masih dalam keadaan pingsan.

"Bos lo tuh, Ris," ledek Aza sambil terkekeh.

"Dih, bukan," sangkal Moris.

Vento dan Aza lalu tertawa melihat wajah Moris yang udah asem banget.

Mereka akhirnya keluar dari area gang tersebut. Tampak Ben yang sudah siap untuk membukakan pintu mobil Vento.

"Astaga, parah bener keadaan mereka." Ben sesekali melirik ke arah lengan Alden yang sepertinya patah dan kepala Edgar yang dipenuhi oleh banyak luka.

"Kurang ajar memang si Arsya itu!" omel Vento sambil sibuk menuntun teman-temannya untuk masuk ke dalam mobil.

"Arsya itu siapa sih? Kalian berdua kenal? Sebegitu ngebetnya dia mau ketemu sama Aza." Sebenarnya Ben masih asing dengan sosok Arsya itu.

"Nanti gue jelasin." Vento lalu menutup pintu belakang mobilnya. "Oh iya, Za. Lo sekalian ikut kita gak? Kebetulan jalan ke rumah sakit juga searah sama rumah lo, kan?"

Dengan mantap, Aza menggelengkan kepalanya. "Gue mau ke warung dulu. Baru inget tadi di telpon Enyak disuruh beli kecap."

Awalnya Vento sedikit ragu tetapi akhirnya ia percaya dengan ucapan Aza. "Yaudah, gue sama Ben duluan ya. Inget, langsung pulang," ujar Vento mengingatkan.

Aza menggangguk dan menyimpulkan sebuah senyuman manisnya.

Kini, mobil Vento sudah melaju meninggalkan tempatnya tadi. Aza menghela napasnya lega. Bohong jika Aza disuruh Enyak-nya pergi membeli kecap di warung. Ia tidak ingin langsung pulang ke rumah karena takut jika ia akan diomelin habis-habisan oleh kedua orangtuanya.

"Gue pulang ke rumah pas semua orang rumah ke masjid aja ah. Biar gak kena omelan. Lebih baik ngopi aja di warkopnya Ko Aling," gumam Aza lalu melangkahkan kakinya menuju warung kopi yang ada di ujung jalan.