Aza terus saja berlari tanpa arah. Ia sangat khawatir jika suatu hal yang buruk akan menimpa Arlan. Apalagi dengan kemunculan Cla dalam mimpinya. Image gadis itu seakan-akan semakin buruk di matanya. Ia yakin jika mimpi itu bukan mimpi biasa. Aza yakin, cowok yang bernama Arlan itu terjebak ke dalam marabahaya.
Aza tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan aneh. Ia hanya berlari dan terus berlari. Sesekali menabrak para pejalan kaki yang lewat. Aza tidak peduli. Aza juga tidak mempedulikan omelan orang-orang yang ditabraknya. Ia ingin menemui Arlan. Ia tidak tahu harus melangkah ke mana.
Ia terus berlari hingga tubuhnya menabrak seorang lelaki. Lelaki itu bertubuh tinggi dan memakai topi berwarna hitam. Aza terdiam. Ia berhenti sejenak.
Ia juga tidak meminta maaf ke orang yang ditabraknya itu. Seketika tangis Aza pecah. Ia menutup wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya.
"Astaga, nona. Kamu kenapa?" tanya lelaki bertopi hitam itu.
"Arlan hiks." Tanpa sadar, bibir Aza menyebut nama itu diiringi dengan suara tangisnya. "Gue mau ketemu sama dia."
Lelaki itu terdiam. "Kamu kenal Arlan?"
Aza menurunkan kedua telapak tangannya dari wajah. Dengan mata yang sembab, ia mulai menanyakan suatu hal pada lelaki itu. "Gue kenal dia. Lo siapanya Arlan?"
"Saya sahabatnya Arlan. Kalau kamu tidak percaya dengan ucapan saya, saya akan menunjukkan sesuatu." Lelaki bertopi hitam itu merogoh ponsel yang berada di saku celananya. Ia mengutak-atik benda persegi panjang itu lalu menunjukkan sebuah foto kepada Aza.
"Yang kamu maksud adalah Arlan ini kan?"
Aza mengamati foto itu. Iya, itu adalah Arlan yang ia maksud. Di foto itu, Arlan tengah merangkul seorang lelaki yang sekarang ini ada dihadapannya. Senyum keduanya merekah. Mereka berdua nampak seperti dua orang manusia yang paling bahagia di dunia.
"Kalau memang lo adalah sahabatnya Arlan, gue mau nanya beberapa hal penting sama lo," ujar Aza lalu menarik lengan lelaki asing itu.
---------
Adam yang pada saat itu sedang ngumpul bareng di rumah Jackson pun mendadak panik setelah mendapat telepon dari Joey. Seperti ada yang tidak beres.
"Ck sialan!" umpat Adam sambil membanting stick PS-nya dengan brutal.
"Heh Adam, main ngelempar aja. Ini tuh dibeli pakai uang, bukan hadiah giveaway!" tegur Jackson agak kesal.
"Bukannya PS4 ini memang lo dapat dari hadiah giveaway ya?" Merasa janggal, akhirnya Evan angkat suara.
"Lho iya, lupa gue."
Rasanya Evan pengin musnahin Jackson pada waktu itu juga.
Adam gak menggubris perkataan teman-temannya. Ia malah mengambil jaket yang ia gantung di belakang pintu kamar Jackson dan langsung melengos pergi.
"Hah? Dia kenapa sih?" tanya Justin baru bersuara.
Jackson mengedikkan bahunya. "Enggak tahu, mudah-mudahan semuanya baik-baik aja."
--------
Berakhirlah Aza disebuah cafe dengan seorang lelaki asing yang ia temui tadi. Tangan besarnya mengaduk-aduk orange juice yang ia pesan setengah jam yang lalu.
Mereka tidak berbicara. Aza maupun lelaki asing itu masih bingung untuk memulai percakapan.
"Ekhem." Aza mencoba berdehem agar lelaki yang ada dihadapannya itu mau berbicara dengannya.
"Kenapa?"
Aza mengulas sebuah senyumannya. Ia lalu mengetuk-ngetuk meja itu dengan pelan. Sungguh ia sudah merasa bosan karena tidak diajak bicara hampir setengah jam.
"Lo kenal Arlan?"
Lelaki itu mengangguk. "Dia teman saya."
Aza semakin penasaran dengan lelaki yang ada dihadapannya ini.
"Nama lo siapa?"
"Arjuna, panggil aja Ajun."
Kedua sudut bibir Aza sedikit terangkat. "Nama gue Aza. Salam kenal ya."
"Iya, Aza. Kalau boleh tahu, kenapa kamu menangis? Siapa yang mengerjarmu? Apa yang terjadi dengan Arlan?"
Perlahan senyumnya memudar. Raut wajah itu dengan mudahnya berubah menjadi muram.
"Gue enggak tahu juga. Gue ngelihat dia di sebuah ruangan yang hanya punya satu penerangan. Dan disitu katanya ditutup sama kain merah gitu. Dan lo tau, dia manggilin nama Pak Azka dan Bu Susan..."
"Maaf mencela, tapi saya mau tahu sesuatu."
Aza seketika terdiam. Ia mengamati raut wajah lawan bicaranya dengan seksama. Jika diperhatikan, Ajun sedang dalam mode serius.
"Pak Azka dan Bu Susan? Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Mereka ditarik ke dalam kegelapan. Lenyap gitu aja. Gak tahu kemana."
Ajun mengerutkan dahinya. Jujur ia sangat bingung dengan apa yang dibicarakan oleh Aza.
"Kalau boleh tahu, Pak Azka dan Bu Susan itu siapa? Orang tuanya Arlan ya?"
Lantas Ajun menggelengkan kepalanya. "Bukan, mereka itu bukan orang tuanya Arlan."
"Jadi mereka siapa?"
"Nih, lihat ini."
Ajun menyodorkan sebuah buku tulis bersampul coklat yang kertas-kertasnya sudah mulai usang.
Dengan hati-hati, Aza membuka setiap lembar yang ada. Tak ada yang janggal di dalam buku itu, hingga ia menemukan sesuatu di lembar terakhir. Di sana ia melihat ada sebuah gambar aneh. Nampak seperti potret keluarga tetapi dalam wujud yang menyeramkan.
"Kenapa gambarnya begini? Kedua orang tuanya udah seperti gak bernyawa aja!"
Aza menyodorkan kembali buku tulis itu ke hadapan Ajun.
"Ya memang. Mereka itu bukan orang tua Arlan yang sebenarnya."
Sekali lagi, otak Aza dibuat pusing dengan pengakuan yg dilontarkan oleh Ajun. Arlan itu seakan-akan punya beribu rahasia yang hanya diketahui oleh Ajun saja.
"Ayah Arlan itu namanya Pak Valzo, bukan Pak Azka. Almarhum ibunya bernama Julie. Jadi Pak Azka dan Bu Susan itu adalah orang tua khayalannya Arlan."
Ajun bercerita sembari menyibak rambutnya yang sedari tadi selalu mengganggu penglihatannya.
"Dia itu punya orang tua khayalan semenjak ibunya meninggal. Kamu tahu, dia dituduh membunuh ibunya sendiri oleh ayahnya dan sejak saat itulah ayahnya membenci Arlan. Saya yakin jika kematian ibunya itu ada sangkut pautnya dengan Cla," ungkap Ajun secara terus terang.
"Cla? Cla kenal sama Arlan?"
Ajun menyunggingkan sebuah senyuman, "Kenal dan mereka dulu sangat dekat. Lebih tepatnya teman masa kecil."
Aza yang awalnya antusias dengan cerita itu perlahan mulai menekuk wajahnya. Ia teramat kesal jika mendengar nama perempuan itu. Siapa lagi kalau bukan Cla.
"Oh iya satu hal lagi, dia juga pernah masuk ke rumah sakit jiwa. Waktu itu umurnya baru menginjak 9 tahun. Ayahnya sih yang bawa dia ke sana, soalnya tiap hari tuh si Arlan suka ngomong sendiri. Terus suka ketawa sendiri dan sering main ke kuburan tepat jam 12 malam."
Ajun terus bercerita tentang kehidupan sahabatnya kepada cewek yang baru ia kenal. Ia sangat yakin kalau Aza itu bisa dipercaya.
"Sampai lupa nanya, kamu mau mencari Arlan ya? Atau mau ke rumahnya?" tanya Ajun tiba-tiba.
"Eh e-enggak, gue cuma mimpiin aja kok hehehehe," sanggah Aza.
"Kalau mau samperin dia, kamu saya antar aja. Kebetulan saya satu kostan sama dia. Mau?" tanya Ajun masih berusaha menawari Aza.
"Enggak deh, gue pulang dulu ya. Makasih udah mau nyeritain kehidupan Arlan ke cewek asing seperti gue ini. Gue pulang ya."
Aza berjalan ke luar cafe diselingi dengan segala macam pertanyaan yang masih tersimpan dengan rapi di dalam otaknya. Rasa ingin mengenal Arlan pun semakin besar.
"Ci, aku cariin ternyata malah datang ke sini."
Aza tersentak kaget ketika adiknya sudah berada tepat dihadapannya.
"Ngapain kamu nyariin Cici? Tumben?" selidik Aza.
"Aku disuruh sama Kak Joey kalau Cici berkeliaran. Pulang yuk, udah malem," ajak Adam lalu menarik lengan kurus kakak perempuannya itu.