Jakarta, dua tahun lalu.
Sinar matahari memanggang area lapangan gedung dengan rasa panasnya yang menyengat. Angin yang bertiup tak bisa menghilangkan rasa panas yang dirasakan puluhan remaja yang sekarang tengah berbaris rapih dengan sikap istirahat. Mereka semua bukan sekedar remaja yang duduk di bangku sekolah menengah atas. Mereka lebih dari itu. Mereka adalah agen intelijen remaja sekaligus detektif junior, bertugas untuk meminimalisir dan mencegah prilaku menyimpang para remaja sebaya mereka.
Semua tampak serius memperhatikan seorang pria yang berbicara di atas sebuah mimbar. Nada bicaranya tegas dan berwibawa. Menjelaskan kasus demi kasus yang harus segera diselesaikan. Dia adalah Geraldo Rios, pemimpin organisasi tersebut. Ia baru saja merekrut puluhan remaja yang mempunyai potensi untuk menjadi agen dan detektif handal. Liburan akhir tahun ini ia gunakan untuk melatih para remaja hasil rekrutannya.
Seselesainya Geraldo berbicara, semua remaja berhamburan. Mereka masuk ke dalam ruangan masing-masing. Sebuah ruangan yang lengkap dengan peralatan detektif yang siap untuk digunakan. Ruangan-ruangan tersebut dibedakan menurut tingkatan kelas. Kelas A ditempati oleh kelompok yang mempunyai sikap menonjol dan siap terjun untuk tugas lapangan. Sedangkan kelas yang paling bawah adalah kelas C untuk para remaja yang masih harus mendapatkan pengarahan dan pelatihan. Setiap kelompok mempunyai kode masing-masing yang dipilih dari nama binatang untuk menyamarkan aksi mereka dan dalam satu kelas terdapat lima kelompok yang terdiri dari tiga orang.
[YOUNG AGENT]
Levino mengikuti Geraldo dari belakang. Tatapannya jahil menatap punggung Geraldo yang lebar. Dia adalah salah satu dari remaja yang direkrut Geraldo. Kemampuan detektifnya mulai terlihat saat Levino berumur delapan tahun. Saat itu dia membantu memecahkan kasus pencurian buku di sekolahnya. Mulai semenjak itu, Levino sering membantu temannya yang kehilangan barang. Mulai dari alat tulis sampai uang saku. Levino tidak pernah memandang barang yang hilang itu berharga atau tidak. Yang ia tau dan sukai adalah proses saat mencari dan memecahkan masalahnya.
Langkahnya terhenti saat Geraldo memutar badannya dan menatap Levino bingung. Seorang pemuda berdarah campuran ini hanya tersenyum kikuk menatap manik mata hitam milik Geraldo dengan alis tegas di atasnya.
"Ada apa? Apa penjelasanku tadi kurang jelas?" Geraldo melipat tanganya di depan dada. Menatap Levino yang berdiri tiga langkah di depanya.
"Tidak, bukan itu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa paman sangat keren tadi. Baru kali ini aku melihat paman seserius itu," Levino tertawa kecil. Tatapan yang diberikan Geraldo membuat tawanya terhenti. Tampak sekali kalau Geraldo sedang tidak ingin bercanda dengan keponakanya ini.
"Levino dengarkan, di sini aku adalah pemimpin, bukan pamanmu. Jadi perlakukan aku layaknya pemimpinmu," Geraldo berjalan meninggalkan Levino di tempatnya berdiri. Ia menoleh ke arah Levino sebelum masuk ke ruanganya. Tatapanya serius, membuat Levino terpaku dan merasa bersalah atas sikapnya.
Ia bergegas masuk ke ruanganya. Kelas A, sangat cocok untuknya. Selain karena Geraldo adalah pamannya, Levino juga mempunyai kemampuan yang bagus dalam memecahkan masalah. Ia berada di peringkat kedua kelas A. Sedangkan peringkat satunya adalah seorang gadis berambut sebahu yang lurus dengan kulit seputih salju dan mata yang terlihat seperti mata kucing. Ia adalah Seina.
Mereka berdua, Levino dan Seina adalah teman satu kelompok. Ditambah dengan Akhtara yang menduduki peringkat tiga. Dengan demikian, mereka adalah tiga teratas. Kelompok yang sudah siap terjun ke lapangan untuk menangani kasus-kasus yang diberikan. Mereka bertiga menamai kelompoknya dengan kode Elang. Selalu ada di puncak teratas, cepat, kuat, dan berotak. Mereka sangat suka dengan filosofi yang mereka buat untuk kode kelompoknya.
"Sebelum kita menerima kasus pertama, aku ingin kita membuat peraturan yang wajib dipatuhi dalam kelompok ini," Seina mengeluarkan selembar kertas dan pulpen hitam dari dalam tasnya.
"Aku baru saja ingin mengatakan itu," Levino mendengus agak kesal.
"Hah, pemikiranmu kurang cepat tuan," ucap Akhtara dengan sedikit terkekeh. Ia mengambil pulpen yang dipegang Seina, menuliskan satu peraturan dengan tatapan jahil lalu meletakanya di tengah meja.
"Dilarang jatuh cinta dengan teman satu kelompok?" Levino mengangkat satu alisnya. Menatap bingung peraturan yang dibuat Akhtara.
"Entahlah ini akan berpengaruh atau tidak. Tapi aku mempunyai firasat kuat tentang ini," kata Akhtara sambil menatap Seina dan Levino bergantian.
"Siapa yang kau maksud? Aku dan dia?" Levino tertawa.
"Impossible" lanjutnya.
"Mulutmu pantas masuk ke kelas C. Kau bahkan tak tahu bagaimana sebenarnya aku, Dasar!" ucap Seina menatap Levino datar.
Levino terdiam. Meruntuki ucapanya tadi yang terkesan meremehkan partner satu kelompoknya ini. Seina membuang muka, beralih menatap kertas di depanya. Ia menuliskan satu peraturan, lalu meletakan kertas itu di tengah meja.
"Mengedepankan kepentingan kelompok, peraturan bagus!" kata Akhtara pada Seina yang dibalas senyuman.
Lalu tatapan mereka berdua mengarah pada Levino. Mereka menunggu Levino menuliskan sesuatu di kertas itu. Dengan tangan yang menopang dahinya dan mulut yang terlihat seperti komat-kamit, membuat Seina dan Akhtara yakin jika Levino sedang berpikir keras.
"Kau taukan apa yang harus kau lakukankan?" tanya Akhtara ragu.
Lima menit berlalu, Levino belum juga menuliskan peraturannya. Levino menatap Akhtara dan Seina bergantian. Tatapnya berhenti pada Seina yang sedang menggelung rambutnya yang pendek.
Gadis itu menatap Levino datar, mengangkat satu alisnya seakan berkata 'Apa yang kau lihat?' lalu Levino membuang muka. Lalu ia memandang kertas peraturan tersebut berharap akan mendapatkan ide.
"Saling terbuka saat menjalani suatu kasus, tidak boleh ada rahasia dan saling menjaga satu sama lain," ucap Levino. Ia langsung menuliskan ucapanya pada kertas peraturan tersebut.
Akhtara mengambil papan tulis berukuran sedang yang disediakan untuk setiap kelompok. Ia menuliskan peraturan tersebut di sisi kanan papan tulis. Ditambah dengan tulisan grafiti 'Elang' di tengah papan tulis. Akhtara juga menggantungkan papan tulis itu pada tembok di depan meja mereka. Mereka bertiga menatap papan kelompok milik mereka dengan harapan semua peraturan tadi dapat dijalankan dengan baik.
"Untuk memulai hal baru pada hidup kita, mari katakan 'Elang!" Akhtara menjulurkan tangannya ke atas tiba-tiba. Kamera yang ada di tangannya berhasil menangkap wajah ketiga remaja itu.
"Elang!" teriak Seina dan Levino bersamaan.
Mereka menampilkan senyum terbaik mereka. Baju resmi organisasi menghiasi tubuh mereka lengkap dengan topi, pin dan bolpen serbaguna.
Mereka sangat antusias menyambut hal baru yang hadir pada kehidupan mereka.
Gelar sebagai Agen Remaja yang mereka sandang sangat dijaga dengan tingginya. Kehidupan remaja mereka yang sesungguhnya baru dimulai. Kode Elang akan terus melekat pada diri mereka, begitu pula peraturan yang baru saja dibuat.
Siapa sangka, tiga peraturan itu membawa mereka pada situasi yang sulit di tahun kemudian. Membuat situasi terasa rumit dan serba salah.