"Kau masak untuk apa?" wanita paruh baya yang berjalan pelan memandang anaknya yang sedang sibuk menata kotak bekalnya. Tatapan gadis itu terfokus pada irisan tomat yang akan ia taruh di atas nasi goreng.
"Bekal bu," jawabnya.
"Tidak biasanya. Memang makanan di sekolahmu yang baru tidak terlalu enak?"
"Aku kurang suka dengan tempatnya, terlalu ramai dan bising. Tapi makanannya lumayan enak."
"Kau mau menghabiskan semuanya?" wanita itu menatap kotak bekal yang penuh dengan nasi. Sangat tidak mungkin jika putrinya menghabiskan semua itu sendirian.
"Ah, tidak. Akan kuberikan separuh untuk temanku."
"Laki-laki?" Wanita itu menatap putrinya dengan wajah yang mengharapkan jawaban 'Iya' dari mulut putrinya.
"Iya."
Ia berdehem melirik putri semata wayangnya, "Memang sudah waktunya kamu-"
"Bukan, dia bukan kekasihku. Bisa dibilang ini salah satu opsiku untuk memudahkanku dalam menjalani misi," mendengar jawaban anaknya yang terlihat serius membuat wanita itu meredupkan senyumnya.
"Dia targetmu? Yang kamu jadikan alasan untuk pindah sekolah?" gadis itu mengangguk menanggapi pertanyaan ibunya.
"Ibu akan kaget saat tau dia siapa."
"Memanagnya siapa?"
"Dia Tristan, orang yang suka mencuri alat tulis teman-temanku saat sekolah dasar dulu. Dia yang berlagak seperti tidak melakukan apa-apa sesaat setelah menyerempet sahabatku dulu. Dia anak nakal yang misterius dengan segala kuasanya."
"Sei, kalau memang dia seperti itu kenapa kamu mau membuatkannya ini?"
Seina tersenyum kecut menatap nasi goreng buatannya. "Karena aku ingin meluluhkan hatinya dan membuat ia jatuh. Kupikir dia orang yang memiliki perasaan lemah tentang cinta. Aku akan menjatuhkannya dan juga segala kekuasaannya, sudah cukup waktunya ia menghancurkan ibu kota ini dengan kebebasan yang selalu memihaknya," Seina merubah wajahnya dengan tatapan dingin. Ibunya terlihat khawatir atas apa yang dikatakan putrinya itu.
"Sei, ibu kira jika ini misi yang bahaya kamu bisa berhenti. Lagi pula jika untuk biaya hidup ibu masih bisa gunakan uang dari toko kue. Ibu tidak mau kamu terluka."
"Seina akan baik-baik saja bu. Seina janji akan baik-baik saja untuk ibu," gadis itu tersenyum manis ke arah ibunya sambil menggenggam erat jemari yang sudah mengkerut karena dimakan usia itu. Seina mengelus pelan punggung tangan ibunya. Mana mungkin ia bisa membiarkan satu-satunya orang yang ia sayangi di dunia ini terlihat sedih. Tak mampu juga matanya melihat peluh di wajah ibunya karena sibuk mencari uang untuk biaya hidupnya.
Dengan ikut organisasi ini, dia rasa perekonomian keluarganya lumayan meningkat. Mengingat betapa baiknya pak Geraldo yang sudah menganggapnya sebagai putrinya sendiri membuat Seina menghargai dan menjalani dengan serius segala misi yang ia terima. Walaupun banyak kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, Seina justru lebih baik menerima kemungkinan itu daripada harus melihat ibunya yang berpeluh keringat.
[YOUNG AGENT]
"Ini apa?" Tristan mendangakkan kepala menatap Seina yang berdiri di sampingnya. Gadis itu menyuguhkan kotak bekal yang berisi nasi goreng ke arahnya. Tristan mengangkat alisnya, agak bingung dengan perlakuan teman sebangkunya ini.
"Sarapan untukmu, ku kira kau belum makan. Atau mungkin sudah makan, tapi belum cukup banyak," jawab Seina dengan ekpresi polosnya.
"Kau menyiapkan ini untukku?"
Seina mengangguk dengan senyumnya, "Iya, aku yang memasaknya sendiri."
"Untuk apa?"
"Untuk bukti bahwa aku perhatian padamu."
"Perhatian?" alis Tristan bertaut bingung. Seina hanya mengangguk menyahuti ekspresi Tristan yang bingung dan langsung duduk di tempatnya.
Tristan membuka kotak bekal tersebut, tampak jelas dari reaksinya kalau ia menyukai aroma dari nasi goreng itu. Sebelum menyuapkan suapan pertama ke mulutnya, Tristan menoleh menatap Seina yang memang sedang memperhatikannya.
"Kau benar-benar tertarik padaku?" Tristan menurunkan sendoknya yang hampir sampai di mulut. Ia menatap lembut teman sebangkunya.
Sesaat kemudian, ada rasa hangat yang seakan memancar. Seina menyadari hal itu saat menatap mata pemuda di depannya. Cahaya matahari yang masuk melalui ventilasi kelas terhalang sebagian oleh tubuh Tristan yang tegap, membuat setengah wajah Seina terkena sinar oranye yang indah tersebut. Di saat itu pula angin pagi menerbangkan seberkas rambut Seina yang menutupi wajahnya. Gadis itu membiarkan rambutnya berantakan diterpa angin dan Tristan memilih mengalihkan pandangannya saat dirasa napasnya tak lagi teratur saat melihat wajah gadis di sampingnya.
"Menurutmu?" Seina melembutkan suaranya, ia yakin dengan reaksi yang diberikan Tristan tadi sangat menunjukkan bahwa pemuda di depannya ini merasakan sesuatu saat mereka bertatapan. Seakan kemenangan mengikutinya, Seina makin semangat dengan sandiwara ini.
"Entahlah, aku masih bingung dengan perasaan ini," Tristan menundukkan kepalanya. Ia menatap deretan kramik lantai dengan tatapan khawatir.
"Ah, soal kemarin, kau kenapa tidak masuk sekolah?" Seina menopang wajahnya dengan tangan. Ia pikir saat seperti inilah yang tepat untuk mengulik informasi. Melihat Tristan yang mulai membuka diri membuat Seina semakin mantap dengan rencananya dan lagi, ia bisa membuktikan pada Levino bahwa cara yang ia tempuh cukup ampuh untuk menyelesaikan misi kali ini.
"Aku ada urusan mendadak," hawa yang terasa kembali seperti semula. Wajah Tristan kembali terlihat dingin, kaku, dan tenang.
"Tau jawabanmu seperti itu, lebih baik tidak kutanya," Seina mempoutkan mulutnya. Sejujurnya itu adalah hal yang paling konyol bagi dirinya. Tapi mengingat ini untuk menyelesaikan misi, apa boleh buat? Gadis remaja ini pasti akan melakukan apa saja untuk menyelesaikan misinya, termasuk menjadi gadis yang polos dan manja seperti sekarang.
"Kau yakin ingin tau?" Tristan menoleh kembali. ia meletakkan sendoknya dan menutup kotak bekal yang diberikan Seina tadi. Wajahnya berubah menjadi lebih serius.
"Kemarin aku ada masalah, ini tentang ayahku. Hubungan kami kurang bagus semenjak ibuku meninggal," Tristan kembali menunduk. Kenangan tentang harmonisnya keluarganya dulu membuat Tristan menghela napasnya panjang.
"Kalau kau mau, kau bisa mengatakannya padaku. Mungkin bisa mengurangi bebanmu saat kau mengatakannya pada seseorang."
Tristan mengangguk, "Ya, mungkin saat ada waktu aku akan mengatakannya padamu. Terimakasih ya."
"Untuk?"
"Bekal ini, perhatianmu, usahamu, semuanya. Aku menghargainya," jawab Tristan singkat.
"Hidup itu seperti air ya? Mengalir begitu saja tanpa kita tau apa yang akan terjadi nantinya. Kita hanya bisa berusaha untuk mencegah hal terburuk."
"Kurasa saat aku menatapmu, aku tidak menemukan keburukan di masa depanku."
"Tidak Tristan, semua pasti memiliki sisi yang buruk. Hanya saja kau kurang cukup membuka inderamu untuk mengetahui keburukan itu."
"Kalau begitu kau adalah hal yang berpotensi paling kecil untuk menjadi buruk untukku."
Seina tersenyum pasi, "Ya, terserahmu."
[YOUNG AGENT]
Bel istirahat yang berbunyi nyaring membuat Levino menggerakkan kakinya ke ruangan OSIS untuk menjemput kantuknya yang sudah menunggu. Namun ia dihentikan oleh pemandangan yang cukup membuatnya terhenyut. Hatinya berdenyut lebih cepat, tapi ia sama sekali tidak merasakan adanya kebahagiaan. Ia justru merasa masalah datang kepadanya. Melihat gadis itu yang tersenyum di bangkunya sambil menulis catatan kecil pada kertas berwarna merah muda membuatnya merasa bersalah. Ia mengurung niat untuk masuk, Levino lebih memilih untuk diam dan mengamati pergerakan gadis itu di bangkunya.
"Kalau saja aku bisa jujur, mungkin tak akan ada yang tersakiti. Tapi, rasanya mulutku keluh untuk mengatakannya. Maaf, aku orang yang basi dan payah," Levino mengalihkan perhatianya dan berbalik menjauh. Ia cukup sadar dengan keadaan ini. Langkahnya terlihat berat dengan kepala tertunduk. Masa depan yang buram itu terus ia pikirkan. Akan menjadi seperti apa kisahnya?
Mana mungkin ia rela seseorang tersakiti saat ini, rasanya ia terlalu buruk untuk menerima cinta gadis manis itu. Matanya yang indah saat menatap tak bisa ia terima. Rambutnya halus yang pernah ia sentuh itu rasanya tak pantas ia sentuh. Levino terkurung dalam dilema hati.
"Kalau memang hidup seperti air yang mengalir, aku akan membiarkanya. Entah akan seperti apa hasilnya, aku siap menerima."
"Bicara apa sih?" Levina merangkul Levino dengan sengaja. Tatapanya jahil terkesan menuntut.
Levino mendecak saat suara nyaring tersebut masuk ke gendang telinganya, "Jangan sekarang, aku sedang ingin sendiri."
"Terus kapan? Kau sendiri susah untuk ditemui di rumah. Kamar selalu dikunci, pulang sekolah selalu diskusi, kadang aku suka berpikir jika kalian bukan berdiskusi tapi malah bermalas-malasan untuk menghabiskan waktu bersama, terlebih lagi ada kak Seina di sana."
"Apa hubungannya?" ketus Levino.
"Kan kakak bisa lebih nyaman di sana, hehehe," Gadis itu tertawa renyah. Levino hanya memutar bola matanya, kadang adiknya ini mengundang dirinya sendiri untuk dipukul.
"Bagaimana ya reaksi Akhtara saat tau kelompoknya dianggap hanya bermalas-malasan setiap diskusi? Mungkin marah? Atau malah lebih parah?" Ucap Levino mencoba untuk meledek balik adiknya.
"Ih, bukan begitu maksudku! Kakak jangan katakan itu pada kak Akhtara!" timpal adiknya cepat dengan khawatir.
"Hm… mulut ini sulit untuk kompromi sepertinya," Levino mengusap dagunya dengan jari. Ia melirik adiknya sekilas, terlihat jelas raut khawatirnya yang justru membuat Levino ingin meledakkan tawanya.
"Aku belikan video game deh, apapun yang kakak mau!"
"Benar?"
"Iya!"
"Memang kau punya uang?"
"Tentu saja! Kau pikir aku sama sekali belum menyelesaikan misi?!" Levina sedikit sewot dengan kakaknya. Ia melengkungkan bibirnya kebawah sambil melipat tangan di dada.
"Wuih, memang seberapa banyak uangmu?"
"Walaupun hanya sedikit, tapi bisa kok jika hanya untuk membeli video game!"
Levino tersenyum ke arah adaiknya, "Simpan saja, itu uangmu. Aku punya banyak di Bank. Tabung ya!" Levino mengelus pucuk kepala adiknya. Membuat anak rambut Levina agak berantakan dan mengenai matanya. Saat gadis itu telah benar-benar merapihkan ramabutnya dan mempertegas penglihatan, Levino telah berjalan tiga meter di depannya sambil bersiul.
Di tempatnya berdiri, Levina tersenyum ke arah kakaknya. Harusnya ia bisa lebih bersyukur mempunyai kakak yang sebaik Levino. Hanya saja ada beberapa waktu yang membuat dirinya terpancing untuk menggoda kakanya ini dan malah menyebabkan pertengkaran kecil yang diakhiri hal manis oleh kakaknya.
"Dasar cacing Alaska," Levina kembali tertawa kecil dan lantas pergi dari tempatnya.
[YOUNG AGENT]
Bel sekolah berbunyi nyaring menandakan selesainya kegiatan belajar mengajar hari ini. Sorak gembira terdengar di sepanjang koridor sekolah. Siswa dan siswi berbondong-bondong keluar dari kelas mereka masing-masing. Koridor yang tadinya sepi tiba-tiba berubah menjadi lorong yang ramai, bising, dan penuh desak. Kebisingan di koridor tak lagi bisa dikontrol. Banyak siswa dan siswi yang membeludak tiba-tiba juga membuat tekanan oksigen seakan turun dan hawa di sekitar pun memanas.
Berbelok sedikit dari koridor utama, di sebuah kelas, masih terdapat beberapa orang di dalamnya. Sebagian sedang melaksanakan tugas piket harian dan sebagian lainnya berbincang-bincang tentang tugas yang besok harus dikumpulkan. Di bagian belakang kelas, seorang pemuda yang enggan bangkit dari kursinya menatap ragu gadis yang duduk di sampingnya.
"Siang ini kau ada acara?" pertanyaan pemuda itu membuat gadis yang ada di sampingnya berhenti dari aktivitasnya yang sedang merapihkan buku. Ia menoleh sesaat lalu menggeleng pelan.
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," ucapan pemuda itu memelan dengan tatapan ragu. Dia menggaruk tengkuknya sambil menunggu jawaban dari gadis di sampingnya.
"Lantas?" mendengar jawaban dari gadis tersebut yang tak bisa dimasukkan dalam kategori jawaban malah membuat pemuda itu semakin ragu dengan ucapannya.
"Tapi kurasa kau sepertinya tidak akan suka dengan tempat itu."
"Kenapa? Akukan belum ke sana. Mana bisa kau katakan seperti itu," gadis itu menunjukkan wajah cemberutnya. Gadis itu menggendong tasnya dan hendak bangkit dari duduknya. Namun, pertanyaan dari pemuda itu membuatnya mengurungkan niat untuk pergi.
"Kau yakin mau ke tempat itu?"
"Memang seperti apa sih tempat itu?" gadis itu semakin dibuat penasaran. Mata kucingnya yang sudah berubah tajam semakin terlihat menusuk.
"Di sana hanya ada tanah, pohon dan beberapa bangunan yang sudah tua," pemuda itu tertunduk. Rasanya sangat bimbang untuk mengajak gadis yang duduk di sampingnya ini ke tempat keramat yang ia sendiri jarang mengunjunginya.
"Tristan, kalau memang ingin mengajakku pergi silahkan saja. Jangan bertele-tele, toh aku juga sedang tidak sibuk," mendengar jawaban positif dari gadis itu, Tristan bernapas lega. Tapi masih ada lagi yang ia bingungkan, apa langkah yang ia ambil adalah langkah yang baik. mau bagaimanapun, gadis di sampingnya ini belum genap satu bulan dekat dengannya. Apa mengajak gadis ini ke tempat yang ia maksud adalah hal yang benar?
Dilema dengan pikirannya, Tristan menggeleng pelan dan mencoba untuk berpikir positif. Ia menarik tangan gadis itu keluar dari kelas dengan harapan gadis itu tidak keberatan ia bawa ke tempat yang ia maksud. Sampai di koridor utama, Alan dan kawan-kawannya sudah menunggu Tristan. Wajah mereka sedikit suram. Cahaya yang sedikit redup menambah kesan seram pada mereka.
"Kau mau kemana?" cegah Ical. Ia menghalangi jalan Tristan dengan tangannya.
"Pergi, hari ini kalian bisa kumpul tanpa diriku," Tristan berkata dingin. Ia sama sekali tak menoleh ke arah Ical yang terlihat jengah karena sesuatu.
"Bicara apa sih? Kejadian kemarin harusnya kau jelaskan pada kami dulu!" suara Ical meninggi. Tatapannya semakin tajam mencukil tatapan dingin Tristan.
Alan menarik bagian belakang seragam Ical yang membuatnya mundur beberapa langkah. "Biarkan dia, Tristan kita sedang ingin menghabiskan waktu dengan 'teman sebangkunya'." Alan menekankan kata terakhir pada kalimatnya. Tatapannya tajam menusuk ke arah gadis yang digandeng Tristan.
Pandangan gadis itu seakan tiba-tiba teralih pada Alan. Pemuda tersebut menyunggingkan senyuman menakutkan di tempatnya berdiri. Satu alisnya naik disertai dengan tatapan yang sulit diartikan.
Tristan membuang wajahnya, "Aku pergi, kalian tak usah mengikutiku. Biarkan aku berdua dengan Seina."
Sedetik kemudian, tangan Seina ditarik oleh Tristan. Kali ini genggamannya lebih erat juga lebih hangat. Pemuda itu membawa Seina ke parkiran dan langsung menyiapkan motornya. Tak menoleh lagi ke tempat teman-temannya, Tristan langsung melajukan motornya membelah jalan raya. Di belakangnya Seina masih menoleh ke arah Alan yang setia menatapnya dengan tatapan tajam.
Setelah bayangan Tristan dan Seina memudar ditelan jarak, Alan mendecih. Membuat Ical yang berdiri di sampingnya menoleh sekilas. Pemuda dengan rambut ikal itu menatap kesal kepergian ketua gengnya dengan tangan mengepal.
"Dasar anak itu! Belum sebulan penuh ia dekat dengan gadis itu, sudah seberani ini," cibir Ical. Ia duduk pada anak tangga yang berada di belakangnya. Giginya mengerat sebal.
"Seina, dia memang punya pesona lain," Alan bergumam dalam tatapan kosongnya. Tak ada yang menanggapi dengan serius, mereka hanya menggelengkan kepala saat mendengar ucapan Alan tadi.
"Apa tidak sebaiknya kita ikuti saja?"salah satu dari mereka angkat suara.
"Tidak perlu, dia sendiri yang mengatakan bahwa kita tak perlu mengikutinya," Alan menyahuti masih dengan tatapan kosongnya.
"Akhir-akhir ini kau terlihat aneh," Ical menoleh ke arah Alan.
"Kan sudah kubilang, aku sedang menemukan hal baru dalam diriku."
"Sudahlah jangan dipikirkan omongannya, aku lapar. Ayo ke basecamp, kemarin kudengar ayah Tristan kembali mengirim makanan ke sana," mendengar ucapan tadi, Ical menoleh ke arah suara dan langsung memukul perut temannya yang lumayan besar itu.
"Kalau kau banyak makan, bagaimana mau berkelahi?" omel Ical.
"Kan ada kau yang melindungiku," sahut si gendut itu. Ical memutar bola matanya malas dan langsung berdiri.
"Kita bukan berkelahi, tapi menutupi. Benarkan?"
Alan menoleh mendengarnya, lalu tersenyum hambar, "Terserah apapun namanya itu, yang penting aku bisa hidup enak!"
Selepas bicara Alan langsung berlari ke parkiran dan disusul oleh teman-temannya. Mereka menyiapkan motor masing-masing, lantas menarik pedal gas dan melajukan motornya. Membelah jalan raya dengan kecepatan tinggi dan suara knalpot yang nyaring. Orang yang melihat adegan itu pasti langsung ketakutan dengan gelagat mereka yang ada di atas motor. Tampak jelas sifat beringas mereka, seakan memancar terang. Mereka berteriak satu sama lain, menambah kebisingan di jalan raya.
[YOUNG AGENT]
Pelataran parkir yang dipenuhi oleh tanaman liar di sisi pojok-pojoknya menyambut kedatangan Seina dan Tristan. Di depan mereka, berdiri kokoh pohon besar yang tak terurus membuat siapapun yang melihatnya tiba-tiba merinding. Suasana alam yang terkesan menyeramkan ini membuat bulu kuduk Seina berdiri merinding. Ia tak henti-henti memperhatikan sekitar.
"Kan sudah kubilang kau mungkin tidak menyukai tempat ini. Di sini hanya ada tanah, pohon, bangunan tua dan…" Tristan berjalan pelan setelah memarkirkan motornya. Ia berdiri di samping Seina yang terlihat sedikit takut dengan suasana tempat itu.
"Dan?" Seina menoleh. Ia mendangak menatap Tristan. Tatapannya dingin menatap lurus ke arah bangunan tua di depannya. Di depan bangunan tua itu berdiri plang besi yang berkarat sehingga tulisannya pun tak lagi bisa dibaca. Seina semakin penasaran tempat apa yang ia datangi ini dan apa alasan Tristan mengajaknya.
"Tempat peristirahatan terakhir," pemuda itu menunduk lesu menatap tanah gembur di bawah kakinya. Seakan kesedihan terbesit di hadapannya, tatapan Tristan yang dingin akhirnya melemah.
"Maksudmu makam? Atau-"
"Ya. Makam," ia tersenyum pasi. Sedetik kemudian, setelah ia menghela napas, Tristan menarik tangan Seina dan membawanya masuk ke dalam bangunan tua di dapannya itu.
Hawa yang dirasa semakin panas dengan wangi khas tanah yang bercampur dengan air bunga. Jika memang ini adalah pemakaman, untuk apa Tristan mengajaknya ke tampat ini? Seina terus bertanya-tanya di otaknya sambil menatap tangannya yang di genggam erat.
"Pak, bunganya satu kantung," Tristan berhenti di depan pintu bangunan tua itu dan melepaskan tangan Seina dari genggamannya. Yang dilihat Seina sekarang bukanlah bangunan seperti apa yang ia pikirkan tadi di halaman parkir. Ini sama seperti sebuah gerbang tua besar yang menjadi pembatas antara pemakaman dan pelataran parkir.
Setelah Tristan selesai membayar bunga, ia kembali menarik tangan Seina. Langkahnya semakin dipercepat hingga mereka berada di depan sebuah makam dengan rumput yang sudah memanjang menutupi bagian makam tersebut. Terlihat sangat berantakan seperti tak pernah diurus. Di depan makam itu Tristan berlutut.
Tatapannya semakin melembut. Tangannya bergerak perlahan mengusap kepala nisan makam tersebut. Di nisan itu tertulis nama seorang wanita yang meninggal sepuluh tahun yang lalu, sesuai dengan apa yang tertulis. Seina mulai sadar dengan keadaan ini. ia mengusap pelan punggung Tristan dan berjongkok di samping Tristan.
"Ini ibumu?" Seina berkata lembut menatap makam yang terlihat menyedihkan itu.
Tristan tersenyum sedikit sambil mengangguk, "Iya. Sudah tiga tahun aku tidak ke sini."
Mendengar itu, Seina agak terkejut. Namun saat melihat keadaan makam di depannya sangat masuk akal jika tidak ada yang mengunjungi makam ini selama tiga tahun. Rumput yang tumbuh di atasnya sudah memanjang, kramik di pinggirannya juga terlihat kotor dengan tanah.
"Kenapa?" gadis itu menoleh. Tristan yang sudah terduduk di depan nisan mengusap matanya yang mulai membasah.
"Masalah itulah yang ingin kuceritakan. Saat melihatmu, aku selalu teringat dengan ibu. Kau yang sering memarahiku saat aku nakal di sekolah dasar dulu sama seperti ibu. Kau juga yang memberikanku tatapan yang sama seperti ibu dan saat kau berikan aku sarapan tadi pagi, aku seakan melihat bayangan ibu di belakangmu. Senyummu membuat hati bekuku mulai menghangat. Ku pikir kau adalah orang yang tepat yang mau mendengarkan keluh kesahku."
Mendengar ucapan itu keluar dari bibir Tristan hati Seina sedikit bergetar. Dilihat dari wajahnya, Tristan sama sekali tidak mengarang atas apa yang ia rasakan. Memang ada sedikit rasa menang di hati gadis ini, namun saat melihat wajah Tristan sekali lagi, rasa kasihan seperti datang tak diundang. Perkataan Tristan tadi jelas menandakan bahwa ia sudah jatuh dalam pesona Seina. Pemuda itu dengan polosnya tak sadar bahwa semua yang Seina lakukan adalah sandiwara terbaiknya.
Seina berdehem bingung atas apa yang harus ia katakan, lantas saat ia teringat dengan bunga yang dipegang Tristan, Seina langsung tersenyum sambil menarik rumput liar yang memenuhi makam itu, "Kita harus membersihkan makam ini, lalu kau baru bisa menaburkan bunga itu."
"Hatiku memang tak salah jatuh pada gadis sepertimu," Tristan menggumam pelan menatap Seina. Untungnya gadis itu sama sekali tak mendengarnya dan fokus mencabuti rumput yang ada di atas makam.
Setelah puas memandangi Seina, akhirnya Tristan membantu gadis itu untuk mencabuti rumput liar di atas makam ibunya. Terlihat sekali bahwa Tristan sangat menikmanti waktu yang ia habiskan ini bersama Seina. Dan yang lebih membuatnya tambah bahagia adalah kesediaan Seina yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Ia seperti didatangkan malaikat baik yang bersedia menemani dan memahami dirinya. Tristan sangat berharap bahwa hubungannya dengan Seina akan terus berlanjut sampai ia berdua harus berpisah karena takdir.
Seina sendiri mengalami dilema hati. Ia merasa bersalah saat mendengar betapa seriusnya perasaan Tristan atas dirinya, namun disisi lain ia merasa berhasil dengan usahanya untuk mendapatkan hati pemuda ini. Ekor mata Seina yang menangkap pergerakan Tristan malah semakin membuatnya bimbang dengan yang ia rasakan. Harusnya gadis yang berstatus anggota kelompok nomor satu dalam Agen Remaja itu merasa yakin atas apa yang ia kerjakan untuk menyelesaikan misi, tapi kenapa kali ini ia merasakan dilema pada dirinya? Tak mungkin jika ini masalah hatinya yang perlahan jatuh. Seina bukanlah gadis yang mempunyai perasaan lembut pada lelaki, hati pasti bukan penyebabnya.
Sudah hampir setengah jam mereka berdua mencabuti rumput dan akhirnya Tristan menaburkan bunga di atas makam ibunya yang sudah bersih dari tanaman liar. Ia tersenyum hangat menatap tempat peristirahatan terakhir ibunya. Seina ikut berdiri menatap makam yang terlihat lebih baik dari tiga puluh menit yang lalu itu.
Setelah bunga yang berada dalam kantung itu habis, Tristan menarik Seina ke arah pohon yang ia temui tadi saat di parkiran. Akar besar yang mencengkram tanah pemakaman dijadikan tempat duduk oleh mereka berdua. Tristan duduk dan diikuti oleh Seina. Rasanya sedikit seram saat duduk di atas akar pohon tersebut, ditambah lagi suasana pemakaman yang sepi. Hanya ada satu-dua orang dan itupun berdiri jauh dari tempat mereka duduk.
Melihat wajah Seina yang kurang nyaman, Tristan berniat untuk membelikan sesuatu untuk gadis itu. Sekaligus untuk tanda terimakasihnya karena sudah mau ikut mengunjungi makam ibunya.
"Kau tunggu di sini ya, aku mau beli minum," Tristan bangkit sambil membersihkan celananya yang sedikit kotor dengan tanah. Seina tersenyum mengangguk.
Saat Tristan sudah benar-benar jauh, Seina langsung menyalakan handphonenya dan memulai panggilan grup. Tatapannya mengedar untuk mengamati bahwa Tristan belum kembali. Sesaat setelah panggilan terhubung, Seina langsung mendengar ocehan dua rekannya yang khawatir karena ia belum juga sampai di gedung organisasi.
"Diam! Aku tak akan bicara banyak. Aku sedang ada di pemakaman di mana ibu Tristan dikuburkan. Aku baik-baik saja, Tristan tak ada niat untuk melukaiku. Gerak-geriknya juga menunjukan hal positif untuk rencana kita. Dia sepertinya sudah menyukaiku. Kalian tak perlu khawatir, aku akan mengirimkan rekaman percakapanku dengannya secepatnya," Seina megucapkan itu dengan sekali napas. Matanya harap-harap cemas dengan kedatangan Tristan.
"Satu lagi, tak usah menungguku di ruangan Elang. Selesainya ini, aku akan langsung pulang dan mengirimkan rekaman percakapannya. Kalian pahamkan? Kalau begitu, selamat siang tuan-tuan."
Ttuut… ttut...
Seina mematikan panggilan grup tanpa mendengar jawaban dari kedua rekannya. Di hadapannya sudah berdiri Tristan dengan dua botol minuman dingin dan dua bungkus siomay. Seina langsung menyalakan fitur perekam pada handphonenya dan menaruhnya di saku seragamnya. Seina hampir terkena serangan jantung melihat Tristan yang sudah dekat dengannya dan untungnya Tristan sama sekali tak sadar akan gerak-gerik Seina tadi.
"Ini siomay, makanan kesukaanmukan?" Tristan memberikan satu bungkus siomay di tangannya pada Seina. Seina menerima dengan senang hati, begitu pula dengan minumannya.
"Kau tau dari mana aku suka siomay?" Seina sedikit tertawa. Ia hanya memakan siomay saat mulutnya menginginkan rasa siomay. Itu bukan berarti ia menyukai makanan yang sering dijual di pinggir jalan itu.
"Saat pertama kali kita makan satu meja, Meisya sedang membelikanmu siomaykan?"
"Kau masih ingat?" Seina terkejut dan Tristan mengangguk dengan wajah polos.
"Mungkin memori otakku menyisihkan ruang berbeda untuk kenanganku denganmu agar aku bisa mengingatnya dengan mudah," Tristan tersenyum. Senyuman yang tulus dari hatinya yang membuat Seina semakin bersalah atas perlakuannya. Untungnya pikiran gadis ini tak mudah goyang, otaknya kembali mengingat betapa sangarnya pemuda di depannya ini saat merusak fasilitas umum dan merusak beberapa mobil yang terparkir tidak bersalah di jalan. Rasa benci yang terbesit kemudian membuatnya tersenyum hambar.
"Sei, kau tadi pagi bertanyakan kenapa aku kemarin tidak masuk sekolah?" Seina mengangguk menjawab pertanyaan Tristan sambil menyuapkan siomay ke mulutnya.
"Ayahku kemarin berulah. Ia di umurnya yang sudah setua itu, masih saja bermain wanita. Bahkan saat melihat wajahnya aku jijik. Pria berlumur dosa itu terus-terusan membawa wanita ke rumah dan membuatku muak," Tristan mencengkram botol minum yang ia pegang.
Seina tersenyum getir menanggapinya. Ia tak habis pikir pemuda di sampingnya ini bisa mengklaim ayahnya sendiri sebagai manusia yang berlumur dosa dan sedangkan dirinya? Tristan dan komplotannya yang beringas bagai setan menghancurkan apapun yang ada di depannya. Video itu cukup faktual untuk menyatakan bahwa Tristan tak ubahnya manusia pengrusak. Harusnya ia sadar atas apa yang ia katakan saat ini.
Begitulah manusia, menyalahkan kesalahan orang lain dengan enaknya tanpa sadar dirinya tak lebih baik dari orang yang ia salahkan. Saat mulut bicara tanpa berkompromi dengan otak, saat itulah manusia menjadi makhluk terbodoh yang ada di bumi dengan segala opininya.
"Lantas apa hubungannya dengan kau tidak masuk sekolah? Itu bukan alasan untuk tidak masuk sekolahkan?"
"Aku tidak masuk sekolah karena menyelesaikan rasaku. Saat melihat wanita itu, rasa benci berbondong-bondong menghampiriku. Di saat seperti itu, otak sulit kukendalikan. Aku tanpa sadar menghabisi wajah wanita itu di hadapan ayah. Mereka bercumbu di depanku dan aku tak bisa tinggal diam. Apa lagi di hadapan mereka ada foto ibu, itu sama seperti merendahkan harga diri ibuku!" nada suaranya meninggi. Cengkraman tangannya semakin keras. Seina mengamatinya, Tristan pasti sangat membenci kejadian itu dan juga wanita yang bersama ayahnya itu. Tapi saat Seina sadar ada kata 'menghabisi' dalam kalimat Tristan gadis itu langsung membulatkan matanya.
"Kau menghabisinya?" Seina memperkecil volume suaranya dan menatap Tristan yang mengeluarkan aura suram dari pandangan Seina.
"Ya, tapi sialnya wajahnya itu tidak benar-benar habis. Dia masih bisa menghirup oksigen walau wajahnya tak lagi terlihat seperti manusia."
Seina menelan ludahnya kasar mendengar ucapan itu dan langsung menanggapinya, "Berarti kau mengharapkan wanita itu mati?"
"Iya, dia pantas untuk menerima itu."
"Kalau wanita itu mati, apa kau tak takut di penjara?"
"Tidak, toh ayahku pasti akan mengeluarkanku bagaimanapun caranya, termasuk dengan cara menyogok oknum dengan uangnya. Kupikir itu akan lebih baik daripada ia harus menghabiskan uangnya untuk wanita haus harta seperti mereka."
"Kenapa? Maksudku, apa ayahmu tidak akan marah karena bagaimanapun kau sudah mendatangkan masalah pada ayahmu dengan mencoba membunuh wanita itu."
"Kau harus tau bahwa ayahku adalah orang yang sangat memikirkan ego dan harga diri. Ia mana sudi membiarkan namanya tercemar karena perbuatanku, anak semata wayangnya. Maka dari itu ia selalu menutupi kesalahanku dengan uangnya. Ia tak mau harga dirinya hancur dan akupun tak mau harga diri ibuku direndahkan. Lebih baik ia menghabiskan uangnya untuk melindungi harga dirinya dengan menutupi kesalahanku dari pada untuk bermalam bersama wanita lain."
"Apa kau sadar bahwa yang kau lakukan ini termasuk tindak kriminal. Seberapa bersalahnya wanita itu, tak pantas jika kamu menghabisinya apa lagi sampai menghilangkan nyawanya. Kamu akan terlihat lebih berlumur dosa daripada ayahmu."
"Kau benar, jika dipikir dua kali, aku mengundang dosaku untuk menghilangkan rasa dendam di hatiku. Terhenti satu dosa, dosa lain menghampiriku. Dan begitu pula ayahku, mungkin inilah sesuatu yang sama dari kami berdua."
"Kau benar, hidup seperti air yang mengalir. Kita tak tau akan menjadi apa di masa yang akan datang. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha untuk memperkecil keburukan," Lanjut Tristan.
"Saat bersamamu juga, keburukan pada diriku seperti berkurang. Jadi tolonglah, tetap ada di sisiku walau seburuk apapun diriku."
Seina kembali tesenyum getir. Sungguh perkataan pemuda ini tak lagi bisa dimengerti.
"Mungkin bisa saat aku sanggup," sahut Seina. Ia menatap kosong siomay yang ada di tangannya.
"Jika aku bertanya sesuatu yang menjurus ke hal pribadi, apa kau mau menjawabnya?" ucap Seina. Ia menoleh sesaat dan melihat anggukan kepala dari Tristan.
"Sudah berapa lama kau seperti ini? bergelut dengan hal-hal seperti itu. Kesedihan, kebencian, keegoisan, dendam dan semacamnya, apa kau tak lelah dengan itu?"
"Kau tak akan bisa merasakannya, aku tak punya kehangatan dalam diriku sekarang. Segala kehangatan yang kupunya dulu, terkubur dalam dengan ibu. Semua yang tersisa hanya dingin, dan ketidakpedulian. Kesepian yang aku hadapi ini tak berujung, tak ada yang memperhatikanku, bahkan ayah sendiri."
"Itu sebabnya, karena ayahmu yang bersikap tak acuh padamu?"
"Ini lebih dari itu, aku, ayahku, kami berdua lebih buruk dari yang kau pikirkan."
"Sekali lagi, aku hanya memintamu untuk tetap di sisiku, seburuk apapun aku. Kau yang memotong kesepianku, kau yang melelehkan dinginku. Jadi jangan pergi, apapun yang terjadi. Aku mohon," Tristan menarik tangan Seina. Mengelus punggung tangannya sambil menatap mata kucing gadis itu yang masih menatap kosong.
"Saat aku ingin memintamu untuk mengantarku pulang, apa kau masih ingat?" Seina masih menatap kosong kedepan, Tristan mengangguk menatap wajah gadis itu.
"Kau bilang ingin menyerang sekolah, apa itu benar?"
Tristan sedikit tergagap, dirinya tak mengerti kenapa jalan pembicaraan ini sampai pada titik ini, "Ya, mungkin saja."
"Kau bilang, kau menyetujui perkataanku bahwa kita hanya bisa mencegah hal agar tak lebih buruk. Tapi kenapa kau malah mengundang keburukan itu?"
Suasana senyap. Tristan tak bisa menjawab pertanyaan Seina yang menjebak. Ia menundukkan kepalanya. Gadis itu menyunggingkan senyumnya dengan mata yang masih menatap kosong ke arah depan.
"Kenapa diam? Kalau kau memang sangat menyayangi ibumu, buat dia bahagia di atas sana. Jadilah Tristan yang baik, dan kalau memang kau serius denganku, ikuti apa kataku…" Seina menggantungkan ucapanya. Ia menoleh, menatap wajah Tristan dengan serius.
"Jangan lakukan itu, atau aku akan menjauhimu."