Chereads / YOUNG AGENT / Chapter 11 - PAHLAWAN BERTOPENG 02

Chapter 11 - PAHLAWAN BERTOPENG 02

Senyap. Kelompok Elang sedang melayangkan pikiran mereka untuk mencari solusi yang tepat. Mereka berdiskusi hari ini, sudah dua jam berlalu. Hari pun makin sore, warna jingga telah muncul di langit. Senja menunggu mereka untuk mendapatkan ide. Levino memegangi keningnya sambil menautkan alisnya berpikir keras. Di hadapannya, Akhtara menunduk lesu memikirkan masalah yang terjadi. Seina yang berdiri sambil menelak pinggang di antara mereka berdua juga melamunkan masalah yang sama.

Sunyinya ruangan menyebabkan suara detik jam seperti nyaring terdengar. Mereka bertiga tak sadar atas waktu yang sudah banyak terbuang. Angin sore menyelinap masuk melalui ventilasi ruangan, menyentuh kulit mereka dengan halus. Bukannya merasa sejuk, Seina malah merinding. Rasanya sore itu sangat berat dijalani, padahal tugas mereka hanyalah berpikir untuk menentukan cara yang tepat.

Akhtara menghela napasnya sebentar, "Mau bagaimana pun, kita harus membantu mereka."

"Levino sudah berjanjikan?" keluhnya. Nada bicara Akhtara seakan menyalahkan keputusan Levino tadi. Lalu kepalanya terangkat menatap pemuda dengan jas hujan yang masih menempel di tubunya. Pemuda itu masih pada gerakan yang sama, menopang keningnya dengan tangan.

"Jadi kau menyalahkan keputusanku?" Levino mendengus. Kepalanya terangkat menatap Akhtara.

"Bukannya seperti itu. Aku hanya tidak suka jika kau mengambil keputusan tanpa berunding degan kita."

"Kau tau kan kalau misi kita belum ada setengahnya selesai, dan ini sudah masuk akhir bulan. Kita harus bisa menyelesaikan misi ini sebelum ujian kelulusan. Tidak ada waktu lagi untuk memikirkan yang lainnya. Belum lagi tujuan kita masih samar, bagaimana kalau kita gagal?" Lanjut Akhtara. Pemuda itu menghela napas kembali sambil menatap kosong ke arah depan.

"Kau benar, tapi kita juga tidak bisa membiarkan mereka selalu diperlakukan seperti itu. Memangnya kau tidak khawatir dengan mereka yang dipalak tadi? Jumlahnya juga lumayan, ini bisa disebut dengan tindak pembullyan juga," Seina mengeluarkan suaranya.

Levino mengulum bibirnya, "Melihat mereka diperlakukan seperti itu, aku pun tak bisa membiarkannya. Belum lagi dengan gaya mereka yang memang terlihat lemah dan culun. Kita tidak bisa terus memantau mereka ataupun terus menjaga mereka. Yang bisa kita lakukan hanya satu…"

Levino menghentikan perkataannya sambil mengangkat kepala. Ia berdiri dari duduknya lalu berjalan mengitari sofa dan berhenti di depan papan tulis. Pemuda itu berdiri dengan tegapnya sambil memandang kedua rekannya yang bingung. Raut wajah Seina dan Akhtara seakan menuntut kejelasan atas apa yang diucapkan Levino tadi. Pemuda yang berdiri di samping papan tulis itu tersenyum dengan artian yang sulit digambarkan.

"Bela diri," ia menorehkan tinta spidol pada permukaan putih papan tulis yang tingginya sebatas dada.

"Kita bisa melatih mereka semua dengan bela diri yang kita punya, yang kita pelajari selama ini di organisasi. Tidak terlalu rumit, kita cukup memberikan gerakan dasar. Setidaknya sampai mereka bisa mengelak dan membela diri mereka sendiri. Sampai mereka yakin dengan kemampuan yang mereka punya."

"Anak-anak semacam mereka umumnya tidak punya rasa kepercayan diri yang tinggi. Dengan otomatis mereka sering pesimis atas kemampuan mereka. Tugas kita adalah memberikan dorongan dan bekal bela diri. Dengan begitu, mereka bisa melawan saat diri mereka terancam," selesai bicara, Levino menghembuskan napasnya. Ia segera duduk kembali setelah menuliskan inti dari apa yang ia ucapkan tadi.

"Kau yakin waktunya cukup? Kita harus mengatasi dua masalah ini?"

"Tentu, kita bisa memanfaatkan hari libur sekolah dan hari biasa kita gunakan untuk diskusi," Seina menyahut.

"Baiklah, kalau memang bisa. Aku tak punya alasan lagi untuk membantah ini," Akhtara menyerah. Ia merebahkan punggungnya di sandaran sofa sambil menatap plafon.

[YOUNG AGENT]

"Lelahnya…" keluh Meisya sambil meletakkan kumpulan karton dan print foto di mejanya. Ia menjatuhkan tubuhnya pada bangku dan langsung bersender. Matanya menatap nanar tugasnya bulan ini yang harus segera dipasang istirahat nanti.

Khansa yang sedang melamun di sampinya menoleh, tatapannya heran dengan tangan yang menopang kepala. "Ada apa, sih?"

"Itu, tugas mading bulan ini," Meisya mengangkat dagunya ke arah tumpukan karton di depannya.

"Ya sudah kerjakan saja kalau memang tugasmu," ucap Khansa tak acuh. Gadis itu kembali melamun di tempat duduknya sambil menatap keluar jendela.

Meisya medengus kesal melihat tanggapan teman sebangkunya. Ia menarik satu lembar karton yang sudah dihias dengan tulisan tangannya. Meisya membaca apa yang sudah ia tulis, terlihat menggelikan, tapi jika dia mengingat lagi video yang tersebar di grup sekolah itu membuat rasa gelinya hilang.

Saat karton itu sudah menutupi semua bagian mejanya, Meisya mulai menempelkan gambar yang ia dapat dari grup sekolahnya. Inti dari madding yang ia buat tidak jauh dari topik pembicaraan yang sedang ramai diperbincangkan di sekolah. Harusnya Meisya mengerjakan ini di ruang mading, tapi berhubung sedikit lagi bel masuk berbunyi akhirnya ia membawa tugasnya itu ke kelas.

Tersisa satu foto lagi untuk ditempel, tapi bel sekolah lebih dulu berbunyi. Mesiya mempercepat gerakannya dan langsung menggulung kembali karton itu dengan hati-hati. Dari depan kelas, Seina menghampiri meja Meisya sambil mengerutkan kening.

"Apa itu?" tanyanya.

"Tugas bulananku, membuat mading sekolah," jawab Meisya setengah lesuh. Seina hanya ber'Oh' panjang sampai ia tiba di tempat duduknya. Gadis itu baru saja keluar dari toilet untuk merapihkan pakaian olahraganya yang tercampur dengan kostum yang ia pakai kemarin.

Selang lima menit, guru mata pelajaran fisika masuk ke kelas mereka dengan map-map di tangannya. Kacamata tebal menghiasi bentuk wajah perseginya yang tegas. Semua murid di kelas itu mengunci mulut mereka dan memfokuskan pandangan ke depan. Seina melipat kedua tangannya di atas meja untuk menandakan bahwa dirinya telah siap untuk menerima pelajaran. Di sampingnya, Tristan melirik sekilas dengan ekor matanya. Pemuda itu tersenyum saat melihat tingkah teman sebangkunya yang menggemaskan menurutnya.

[YOUNG AGENT]

Kerumunan orang menghalangi jalan Seina yang hendak pergi ke kantin. Gadis itu merasa kurang nyaman dengan kebisingan yang ada di sekitarnya. Kepalanya menoleh ke arah Meisya dan Khansa untuk meminta kejelasan atas apa yang sedang terjadi di depan mading itu. Kedua temannya berdehem sebelum menjawab pertanyaan Seina. Meisya yang merupakan bagian dari anak mading juga merasa tidak yakin saat ingin mengatakannya.

"Emm… itu, mereka sedang melihat mading," jawab Meisya kikuk.

Seina menatap datar teman sekelasnya sambil mengangkat satu alis, "Kalau begitu juga aku tahu!"

"Maksudku, apa isi dari mading itu sampai-sampai mereka berkerumun seperti ini?"

"Itu… mungkin kau tidak akan percaya jika aku mengatakan ini, tapi semua ada buktinya. Saat aku menepis kabar itu, aku merasa bahwa ini kabar yang nyata. Buktinya juga jelas terlihat," jawab Meisya.

Seina berdecak, "Ya, memang apa sih berita itu?"

"Katakan saja to the point, di sekolah kita ada pahlawan bertopeng," lantang Khansa. Gadis itu berucap dengan polosnya membuat Seina mengeluarkan raut wajah yang rumit dibaca.

Meisya mencubit pinggang teman sebangkunya diam-diam sambil tersenyum kikuk ke arah Seina. Sedangkan gadis yang ia cubit tadi hanya bisa meringis sambil menatap Meisya dengan sebal.

"Bukannya aku merahasiakan ini darimu, cuma kau kan masih terbilang baru di sekolah ini. Aku tidak mau dianggap konyol denganmu," Meisya mengulum bibirnya dengan harapan Seina tidak mengeluarkan ekspresi aneh yang ia bayangkan di pikirannya.

"Maksud dari pahlawan bertopeng sekolah ini, itu karena kemarin ada yang menyebarkan video dan foto yang menampilkan tiga orang bertopeng sedang menghajar Ical dan kawan-kawannya. Tidak terlalu jelas sih videonya, tapi cukup akurat untuk dijadikan bukti. Sudut pengambilannya juga diambil dari sudut pandang orang yang berada di belakang tiga pahlawan bertopeng itu. Jadi kami anak mading pun sulit untuk mendapatkan gambarnya."

"Selama ini, tidak ada yang pernah berani melawan Ical dan kawan-kawannya. Guru-guru pun diam seribu bahasa saat ditanyakan tentang permasalahan Ical dan kawannya ini. Dan yang membuat kabar ini semakin panas dibicarakan adalah wajah Ical dan kawan-kawannya yang terlihat lebam. Banyak yang menyangka bahwa itu hasil dari pertarungan mereka dengan pahlawan bertopeng di video itu," lanjut Meisya. Gadis itu dengan wajah seriusnya menceritakan hampir seluruh isi dari mading yang ia buat itu. Sedangkan gadis yang mendengarnya menampilkan tatapan kosong menatap lantai.

Seina merasakan jiwanya mencelos saat sadar akan siapa yang menjadi pembicaraan satu sekolah saat ini. Tentu saja dia juga sadar bahwa dialah Sang Pahlawan Bertopeng yang dibicarakan itu. Dia merasa lemas di sekujur tubuhnya. Kerongkongannya mendadak kering, otaknya tak pernah berpikir bahwa masalah ini akan merembet sampai menjadi headline sekolah.

"Kamu baik-baik saja, Sei?" Khansa memegang pundak Seina dengan tangannya.

"Dia kenapa sih?" gadis itu berkata pelan ke arah Meisya yang menggeleng heran.

"Kita ke kantin ya, kau sepertinya lapar," Khansa memapah Seina menuju kantin dan Meisya berdiri di sampingnya sambil memegangi tangan Seina.

"Duduk di sini biar kupesankan makanan," Khansa berdiri dari duduknya dan meninggalkan Meisya dan Seina setelah Meisya mengangguk menanggapi perkataannya.

"Apa kau tadi tidak sarapan? Sepertinya lemas sekali," Meisya menatap Seina dengan tatapan khawatir. Gadis itu masih memegangi tangan temannya yang lesuh.

"Mungkin aku terlalu lama bicara tadi ya? Makanya kau sampai lemas seperti ini," ucap Meisya lesu. Gadis itu menundukkan kepalanya sebentar sebelum seseorang menjajah mejanya dengan tiba-tiba.

"Hai," sapanya.

Meisya mendangak sedikit dan lantas mengembangkan senyumnya saat tau siapa yang duduk di depannya. Pemuda itu merekahkan senyumnya, menyeruput jus jeruk yang ia beli sebelum menghampiri meja itu.

"Apa aku boleh duduk di sini?" Alan mengembangkan senyumnya lebih lebar.

"Tentu," jawab Meisya antusias.

"Halo teman!" sapa Alan. Ia menyeringai menatap Seina yang sedikit mengangkat kepalanya. Gadis itu menyunggingkan sedikit senyumnya, lalu kembali menunduk.

"Ah, ada apa kau duduk di sini?" Meisya mengalihkan percakapannya. Melihat Seina yang tidak menanggapi sapaan Alan tadi membuat gadis ini takut jika nanti Alan akhirnya kembali berdiri dan meninggalkan meja ini karena keadaan yang canggung.

"Oh, aku ingin menanyakan sesuatu," Alan menjauhkan minumannya, lalu menopang kepalanya dengan tangan sambil menatap Meisya lekat-lekat.

"Bulan ini tugasmu untuk membuat madingkan?"

Meisya mengangguk pelan sambil mengaitkan seberkas rambutnya ke belakang daun telinganya.

"Kalau begitu, mading hari ini kau yang buat?" sekali lagi, gadis itu mengangguk menanggapi pertanyaan Alan.

"Bukti-bukti itu didapat dari mana? Apa kau sendiri yang melihat kejadian itu?"

Meisya menggeleng cepat, "Tidak, aku dapat dari grup mading. Itu juga mereka dapatkan dari grup anak-anak kelas satu. Asal-usulnya masih samar, tapi dilihat dari sudut pengambilan gambar kemungkinan yang menyebarkannya adalah Si korban pemalak itu sendiri."

Alan mengangguk menimang penjelasan Meisya, "Jadi begitu ya? Sebenarnya aku kasihan dengan teman-temanku. Mereka jadi kurang percaya diri untuk keluar kelas. Kalau bisa, besok kau cabut ya madingnya. Tristan juga bisa marah jika melihat itu."

Pemuda itu menyeringai kembali sebelum berdiri dan pergi. Meisya hanya mengangguk perlahan dan tidak berani menatap mata tajam milik Alan. Gadis itu meremas rok abu-abunya hingga kusut di bagian ujungnya.

"Kau mau mengikuti apa perkataanya?" Seina membulatkan matanya terkejut. Gadis itu tak habis pikir jika Meisya dengan mudahnya menuruti permintaan Alan.

"Mau bagaimana lagi? Jika yang memohon adalah dia, aku mana mungkin bisa menolak. Lagi pula aku juga takut jika Tristan marah. Bisa-bisa aku dalam bahaya," jawab gadis itu lesuh. Wajahnya berubah muram sambil tertunduk lebih rendah.

Seina berdecak sebal, "Apa kau tidak memikirkan mereka yang dipalak itu? Lagi pula kau kan hanya perantara antara Si Korban dan para murid di sekolah ini. Berita itu juga sudah luas tersebarkan? Jadi untuk apa khawatir?"

"Kau tidak tau rasanya, aku sangat menyukai Alan!" teriaknya. Seina sedikit terkejut mendengarnya. Gadis itu memejamkan matanya cepat untuk menetralkan emosi.

"Apa kau juga siap membongkar identitas ketiga pahlawan bertopeng sekolah itu jika Alan menyuruhmu?" Seina melemaskan bahunya berkata lirih.

Meisya mengangkat wajahnya dengan mulut yang mengerucut, "Maksudmu apa?"

Seina menggeleng, dia mantap nanar deretan kramik putih yang ada di bawah sepatunya. Gadis itu melamun memikirkan langkah apa yang harus ia ambil untuk mencegah temannya ini jatuh cinta terlalu dalam pada pemuda yang salah. Seina sangat menyayangi perasaan Meisya yang tulus, gadis itu harusnya bisa mendapatkan pemuda yang lebih baik.

Alan, pemuda itu, walaupun ada detik dimana ia terlihat biasa saja, bahkan terkesan manis. Tapi jauh dari itu, Alan adalah tangan kanan Tristan yang sama sangarnya dengan Sang Pemimpin. Jika Ical saja bisa berbuat sejahat itu, sudah dipastikan Alan pun bisa berbuat lebih kejam dari pada apa yang Ical lakukan.

Ia harus menarik Meisya keluar dari ekspetasinya yang bagus terhadap Alan. Meisya harus berhenti mencintai pemuda yang salah ini. Seina terlalu sayang dengan temannya sampai ia tak rela melihat Meisya menangis karena terluka. Jika ia punya kesempatan untuk membantu, maka Seina akan ambil kesempatan itu. Seberat apapun konsekuensinya.

"Kalian kenapa saling menunduk seperti itu?" Khansa datang dengan nampan yang sarat akan makanan yang barusan ia beli. Tangannya terasa agak pegal hingga ia meletakkan nampan tersebut pada meja mereka.

"Ih, kenapa kalian malah diam saja?" Gadis itu lagi-lagi mengeluarkan raut wajah polosnya.

"Tidak ada apa-apa, hanya…"

"Hanya kita terlalu lapar menunggumu."

Meisya menoleh ke arah Seina sesaat setelah ucapannya dipotong. Ia melihat Seina yang merekahkan senyumnya ke arah makanan yang dibawa Khansa, membuatnya juga mengembangkan senyum. Sekali lagi ia berpikir, apa yang sebenarnya dipermasalahkan tadi? Rasanya perasaan Meisya sangat tidak nyaman saat percakapan singkatnya tadi.

"Kalau begitu makanlah!"