Brakk…
Suara kayu yang dibanting sampai patah itu membuat semua orang yang ada di sekitar terkejut. Mereka langsung menoleh ke asal suara dan mengunci pandangan. Di pusat perhatian, pemuda dengan topeng dan jas hujan di tubuhnya itu berdiri dengan tegap. Di depannya, sekitar delapan orang dengan gaya berpakaian yang hampir sama. Rambut kepang dan kacamata tebal menjadi ciri khasnya. Mereka semua menatap dengan gemetar.
Beberapa orang ini yang nantinya akan mendapat pelatihan selama dua hari di hari libur sekolah. Tujuannya sama seperti saat diskusi kemarin. Untuk membela diri mereka masing-masing dan meminimalisir luka yang mereka terima. Melihat ada beberapa gadis di depannya, pemuda itu merasa terhenyut. Tidak seharusnya seorang gadis mengalami hal seperti ini, bergelut dengan pertarungan untuk membela diri. Sangat menyedihkan.
"Yang kalian butuhkan itu kekuatan," suaranya.
Pemuda itu kembali duduk disamping rekannya. Mereka bertiga ini sengaja datang ke rumah pemuda berkacamata kemarin untuk melatihnya dan beberapa orang lainnya agar tidak dipalak oleh Ical lagi. Pemuda itu cukup terkejut saat melihat betapa besarnya rumah yang mereka datangi.
Dibilang beruntung pun tidak, karena pemuda yang meninggali rumah ini nyatanya adalah korban bullying di sekolah. Orang tua yang bersikap tak acuh dan menyerahkan semuanya pada uang, membuat anak-anak seperti ini kurang memiliki kepercayaan diri. Dorongan orang tua saat usia remaja sangatlah penting. Maka dari itu, pemuda ini merasa nasibnya sama dengan mereka.
Di sini posisinya, pemuda itu memang nyata tak bisa mendapatkan kehangatan orang tua dan sedangakan beberapa orang di depannya ini, bisa dibilang diacuhkan oleh orang tua mereka. Terasa sama, tapi jelas berbeda. Pemuda itu menyunggingkan senyumnya dari balik topeng sambil menggeleng pelan.
"Dan ingat! Kami hanya akan memberikan gerakan dasar, setidaknya cukup untuk membela diri. Jangan sekali-kali menyalah gunakan apa yang sudah kami berikan," pemuda dengan topeng yang lain bangkit dari duduknya. Akhtara melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan menusuk.
"Tambahan, jangan pernah kalian memubiklasi aktivitas ini. memotret ataupun memvideokannya, jangan pernah! Jika sampai itu terjadi lagi untuk kedua kalinya, kalian akan mendapatkan balasan yang lebih parah," Seina angkat suara, mengubah suaranya menjadi lebih berat.
[YOUNG AGENT]
Hari mulai menua, warna jingga mulai menghiasi bentangan langit. Di bawahnya, tiga remaja dengan topeng kayu di wajahnya ini tetap tekun melatih delapan remaja di hadapan mereka. Gerakan dasar yang mulai lancar digerakan oleh delapan remaja itu membuat tiga remaja bertopeng ini merekahkan senyumnya dibalik kayu berukirkan karakter wajah.
Mereka bertiga merasa puas atas usaha mereka selama dua hari ini. Kecepatan dan ketepatan waktu yang memihak mereka bertiga membuat batin masing-masing mereka merasa tenang. Delapan remaja ini paling tidak bisa melindungi diri mereka, walaupun tak sekuat yang dibayangkan.
Levino melirik Seina yang berdiri segaris dengannya. Gadis itu memegangi pergelangan tangannya yang memar karena latihan hari ini. Melihatnya, Levino meraih tangan tersebut. Pemuda itu menarik Seina menjauh dari tempat latihan. Mereka berdua menepi di sebuah pohon besar di belakang taman. Levino berjalan lagi mendekat ke tempat latihan, meninggalkan Seina yang heran dengan perlakuan Levino tiba-tiba.
Pemuda itu meraih kotak obat yang disediakan di atas meja taman. Lalu membawanya ke arah Seina yang terduduk di bawah pohon. Pemuda itu membuka kotak obat dengan perlahan tanpa berkata.
Suasana masih senyap, Seina merasa nyaman dengan situasi semacam ini. Gadis itu pasrah dengan apa yang Levino lakukan pada tangannya. Levino meraih minyak kayu putih yang ada di dalam kotak. Ia menuangkan sedikit cairan itu pada tangannya lalu mengusapnya pelan ke tangan Seina.
Pemuda itu memijat-mijat pergelangan gadis itu dengan telaten. Tatapannya terkunci pada pergelangan tangan Seina yang memerah. Levino mencoba untuk menghilangkan pegal dan lelah pada lengan gadis itu. Di sampingnya, gadis itu mengulas senyum dari balik topeng. Tatapannya melembut memandang perlakuan Levino.
Sayang topeng kayu menutupi wajah keduanya, mereka tidak bisa melihat ekspresi yang dikeluarkan satu sama lain. Levino yang teliti memijat dengan tulusnya dan Seina yang terkesan serta merasa nyaman diperlakukan sedemikian rupa. Raut wajah mereka berdua tersimpan hanya untuk diri sendiri. Kenyamanan dan kehangatan yang terbangun di sekitar pohon rindang itu membuat mereka berdua tak sadar dengan ramainya orang yang berlatih. Kalau saja topeng di wajah mereka tak menutupi, mungkin saat ini mereka telah larut dalam pesona manik mata masing-masing dari mereka.
Berdiri beberapa meter di depan, Akhtara masih memfokuskan dirinya pada delapan orang di hadapannya ini. mereka semakin lancar berlatih dan Akhtara pun makin yakin untuk melepas mereka. Selama dua hari ini, mereka semua berlatih tanpa henti. Tujuannya sangatlah simple. Ini semua dilakukan agar mereka semua tak lagi ditindas dan dapat menjaga diri mereka masing-masing.
"Mungkin cukup untuk hari ini," Akhtara berhenti dari akhtivitasnya. Pemuda itu menyapu setiap sudut taman dengan matanya. Didapati kedua rekannya yang berada di bawah pohon rindang di bagian belakang taman. Satu lengkung misterius terlukis dibalik topengnya, pemuda itu melangkah sambil merentangkan tangannya.
"Ayo segera masuk, ini sudah petang," pemuda itu menggiring delapan orang di depannya agar masuk ke dalam rumah mewah di hadapan mereka. Akhtara sengaja berbuat seperti itu agar kedua rekannya tidak ketahuan oleh orang-orang asing di depannya ini.
[YOUNG AGENT]
"Pelatihan kita sudah selesai sampai di sini, dan aku harap kalian bisa memanfaatkan apa yang kami berikan dengan sangat efektif."
"Kalian hanya butuh keberanian dan kepercayaan diri lebih agar mereka berhenti menindas kalian."
"Setiap ada kemauan, pasti ada jalan. Seberat apapun masalah yang kalian hadapi, jika kalian mempunyai kemauan untuk melawan itu, kalian pasti bisa."
"Di sini, lawan kalian bukanlah anak-anak yang kemarin memalak kalian. Lawan kalian yang sebenarnya adalah ketakutan."
"Jadi jangan biarkan ketakutan mengakar kuat di dalam diri kalian."
"Kami akan pergi, dan mungkin tak akan menampakkan diri kami lagi di hadapan kalian."
"Anggap saja pertemuan kita adalah mimpi yang berhasil merubah kalian menjadi seseorang yang lebih berani."
"Kami permisi…"
Akhir kata, mereka bertiga akhirnya keluar dari rumah tersebut. Langit malam yang segelap tinta menyertai perpisahan mereka dengan delapan orang yang sedang berdiri di pekarangan rumah. Kelompok Elang melangkahkan kakinya dengan lega dan rasa bangga yang mengalir.
Satu masalah telah selesai mereka tangani, rasanya seperti mendapatkan kemenangan yang tersirat. Sebelum benar-benar pergi, Kelompok Elang memberikan hormat perpisahan yang biasa mereka lakukan saat setelah selesai diskusi di gedung organisasi.
Levino dan Akhtara menyalakan motornya. Menarik gas dengan kencang, membelah atmosfer jalanan yang dingin. Rasa lelah karena latihan sepanjang hari telah terbayarkan dengan sebuah ucapan terimakasih dan tatapan penuh arti dari mereka. Hanya senyum yang bisa terlukis di balik topeng mereka bertiga.
Hari yang panjang, dan juga sangat melelahkan. Semua telah selesai, dan untuk esok hari, mereka harus mempersiapkan diri kembali. Masalah utama yang harus mereka hadapi menunggu dengan setia untuk ditangani.