Hari minggu yang cerah ini seperti hadiah untuk orang-orang yang sibuk di hari biasa dengan kewajibannya, seperti bekerja dan bersekolah. Namun dua pemuda ini lebih memilih untuk bermalas-malasan di dalam ruangan sambil memainkan video game yang tersedia untuk menghabiskan waktu akhir pekan dari pada menikmati cerahnya minggu ini. Dengan tatapan yang fokus menatap layar televisi dan tangan yang tak henti bergerak mengendalikan stik playstation, dua pemuda ini tak peduli dengan keadaan di luar ruangan yang cukup cerah.
Mereka berdua duduk menggeletak di lantai dengan beberapa bungkus snack yang sudah setengah kosong. Jendela kamar sengaja dibuka agar mereka bisa merasakan cerahnya cahaya matahari di minggu pagi ini. Semilir angin sejuk yang masuk menerbangkan gorden cokelat muda dan membuat fungsi kipas angin di kamar Levino menjadi kurang terasa.
Levino menjulurkan tangannya, mencoba untuk meraih bungkus snack yang ada di ujung kakinya. Di sampingnya, Akhtara melirik dengan gerak-gerik yang menandakan bahwa ia butuh air untuk membasahi kerongkongannya. Levino tak menghiraukan kode tubuh dari Akhtara, pemuda itu dengan entengnya lanjut memakan snack dan memainkan sticknya. Sampai pada titik kehausan yang sudah akut, Akhtara akhirnya mencoba untuk memberikan isyarat yang lebih menonjol pada Levino.
Ia berdehem keras sambil memegangi lehernya, "Sepertinya tenggorokanku kering."
Levino melirik dengan datar, "Bernapaslah dengan hati-hati."
Mendengar jawaban dari Levino, Akhtara menggelengkan kepalanya untuk meredam kekesalannya. "Entah kau tidak peka atau memang tidak mau memberikanku minum."
Levino menolehkan kepalanya, "Kau haus?"
"Masih bertanya?"
"Habis tadi kau bilang tenggorokanmu kering, bukan kerongkonganmu yang kering. Tenggorokan itukan untuk udara," Levino meletakkan stick playstationnya dan bangkit berdiri. Akhtara masih dengan ekspresi sama sambil menahan rasa kesalnya.
"Terserah apa katamu," ia memalingkan wajahnya kembali pada layar televisi. Levino tertawa kecil di ambang pintu melihat temannya yang kesal itu. Lantas ia bergegas menuju dapur untuk mengambil minuman.
Beberapa menit berlalu, Akhtara masih menahan rasa hausnya. Levino sama sekali belum menunjukan batang hidungnya sedari tadi, entah apa yang ia buat untuk Akhtara. Karena bosan menunggu kedatangan Levino dan game juga tidak bisa dilanjutkan tanpa Levino, akhirnya Akhtara mencoba untuk mencari hal menarik di kamar Levino.
Ia berdiri, langkah kakinya membawa ia pada sebuah foto yang terpajang di atas meja belajar Levino. Sebuah foto berbingkai yang menunjukkan tiga remaja yang tersenyum ke arah kamera dengan seragam organisasi. Akhtara sedikit melengkungkan senyumnya menatap foto yang diambil dua tahun lalu saat mereka pertama kali mendapat misi lapangan.
Di sampingnya, berdiri sebuah bingkai foto yang tak kalah besar. Empat orang yang terlihat bahagia, duduk di sebuah ayunan kayu dengan pemandangan alam yang asri. Anak laki-laki dengan jaket berwarna merah marun yang ada dalam foto itu adalah Levino saat kecil. Sangat manis dan imut, Akhtara kadang berpikir kenapa saat besar pemuda itu terlihat membosankan?
Lalu manik matanya bergerak ke sisi kanan foto yang menampilkan gadis kecil dengan kepangan rambut rapih yang tengah berdiri mengembangkan bawahan dress yang ia pakai di depan dua orang dewasa yang tengah duduk di ayunan itu. Gadis itu tampak bahagia dengan pakaiannya, terlihat jelas dari lengkung senyumnya.
Manis, satu kata itu terlintas dalam pikiran Akhtara saat memandanginya. Ia meraih bingkai foto tersebut untuk memperjelas penglihatannya pada gadis kecil itu. Saat sudah di depan dada, entah gerakan dari mana, Akhtara membalikkan bingkai foto tersebut. Di baliknya terdapat tulisan tangan yang ia yakin betul bahwa itu adalah tulisan tangan Levino.
"Terakhir, dan bahagialah," ucap Akhtara pelan saat membacanya. Baru ia sadari bahwa memang Levino adalah anak yatim piatu sejak dirinya masuk SMP. Akhtara sendiripun saat tau tentang kenyataan itu cukup sedih mendengarnya. Pantas saja Pak Geraldo sangat perhatian dengan Levino.
"Kakak!" suara nyaring yang menggelegar datang dari arah pintu. Akhtara menoleh, di ambang pintu berdiri gadis yang sedari tadi fotonya ia pandangi. Dengan piyama berwarna merah muda, gadis itu mengikat rambutnya dan belum sadar bahwa ada Akhtara di situ. Leher jenjang dengan warna kulit putih bersih itu terlihat indah di mata Akhtara. Wajah bangun tidur yang natural dan gelungan rambut membuat Levina terlihat manis. Gadis itu merapihkan anak rambutnya, lalu menatap ke arah Akhtara.
Hampir teriak, gadis itu membulatkan matanya. Ia membeku di tempatnya berdiri saat melihat Akhtara yang memandanginya lekat-lekat dari tempatnya duduk. Levina menutup wajahnya malu, pipinya sudah memerah dan terasa panas. Ia memalingkan wajah dan membungkuk.
"Maaf kak, aku kira kakak adalah kak Levino," ucap Levina. Ia berbalik, betapa malunya ia saat membayangkan Akhtara tadi melihat wajahnya yang baru saja bangun dari tidur.
"Kenapa?" suara Akhtara seakan menginstrupsi tubuhnya untuk berhenti. Ia berhenti melangkah tanpa menoleh ataupun berbalik. Membuat keadaan semakin menegang.
"Kenapa malah pergi?" mendengar itu Levina berbalik dengan raut wajah anehnya.
"Lantas aku harus apa? Kakak sedang main dengan kak Levino-kan, harusnya aku tidak mengganggu," Levina berkata dengan nada polosnya tanpa dibuat-buat. Ekspresi itu pula yang membuat Akhtara tertawa kecil di tempatnya.
"Sepertinya kamu tidak mengganggu, lagi pula Levino sedang tidak ada. Harusnya ia sudah kembali dari dapur untuk membawa minuman,"Akhtara bangkit melangkahkan kakinya mendekat pada Levina.
Levina menepuk jidatnya saat ia ingat bahwa dirinya lupa untuk memesan air mineral untuk minum, harusnya minggu ini adalah tugasnya untuk membeli air. "Ah, maaf kak. Tapi air minumnya lupa kubeli kemarin."
Akhtara mengangkat alisnya, saat ia hendak bicara suara handphonenya lebih dulu berbunyi dan membuat ia mengurungkan niatnya untuk bicara. Saat layar handphonenya menyala, terlihat popup chat dari Levino yang mengabarkan bahwa pemuda itu sedang ada di mini market. Akhtara menghela napasnya, sepertinya ia memang harus menahan rasa hausnya lebih lama.
Diliriknya Levina yang tampak kikuk di depannya, Akhtara tertawa kecil, "Levino bilang dia sedang ada di mini market. Katanya kau disuruh untuk menemaniku."
Levina membulatkan matanya mendengar itu, hatinya memang bersorak ria saat tahu ia mempunyai kesempatan untuk dekat dengan Akhtara. Tapi apa yang harus ia lakukan? Apa nanti tidak akan canggung suasananya?
"Kenapa melamun?"
Levina sedikit kaget. Ia menetralkan perasaannya, lantas tersenyum manis ke arah Akhtara. "Tidak, siapa yang melamun?"
"Oh," Akhtara menoleh ke arah televisi yang masih menyala di dalam kamar, lalu tatapannya beralih kembali pada Levina.
"Mau main?"
"Boleh, tapi aku tidak terlalu jago."
"Bermain game ini bukan masalah jago atau tidaknya, kita hanya perlu menikmati game tersebut. Menikmati prosesnya, dan dengan begitu ada rasa kepuasan dalam diri kita setelah memainkan game ini."
"Kalau kau minta untuk kudekskripsikan bagaimana rasa nikmat bermain game ini, maaf aku tidak bisa. Karena kenikmatan bermain game sulit untuk digambarkan," lanjut Akhtara.
Mendengar itu Levina hanya menggeleng sambil mengulum senyum di bibirnya. Ia sendiri belum bisa mengendalikan dirinya di samping Akhtara. Pemuda ini sangat mempesona di mata Levina, dengan perkataan halus dan wajah tenangnya, Akhtara sukses membuat Levina tersipu dengan hanya duduk di sampingnya.
"Eum, Vin, boleh saya tanya sesuatu?"
Levina sontak menoleh, dilihat dari jarak yang lumayan dekat Akhtara tampak lebih tampan. Dan pemikiran itu membuat pipi Levina semakin memanas dan memerah.
"Kamu merasa tidak kalau Levino itu sedang jatuh cinta?"
Levina berdehem dengan tangan yang menempel di pipi seakan menunjukan bahwa ia sedang berpikir. "Sepertinya begitu, tapi dia tidak pernah bicara apa-apa."
"Saya sendiri merasa kalau Levino memang sedang jatuh cinta, tapi yah seperti itu. Dia selalu mengelak saat disindir tentang perasaannya," ucap Akhtara diselingi tawa kecilnya.
"Kalau sejauh pantauanku, kakak tak pernah bersikap khawatir dengan perempuan selain aku."
"Yang benar? Memang kalau di sekolah dia tidak pernah dekat dengan seseorang?"
"Kak Levino itu sok sekali orangnya, mana mau gadis mendekati dia. Kecuali kak Pia, setau aku dia itu wakil Osis. Jadi sekali atau dua kali kak Levino pernah membahasnya."
Akhtara diam, ada satu pertanyaan yang ingin dia katakan, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali. Seperti ada yang mengganjal mulutnya. Akhtara berdehem, ia mencoba untuk memperluas arti katanya dan sebisa mungkin tak langsung menjurus pada apa yang ingin ia tanyakan.
"Kau kenal Seina-kan?" yah, kalau menyebut nama tersebur pasti bisa sangat luas obrolan mereka. Akhtara mencoba untuk menjuruskannya pelan-pelan agar ia tak terlihat seperti orang yang sangat penasaran.
"Siapa yang tidak kenal dengan Ratu Agen Remaja, kak Seina itu benar-benar panutanku!" Levina tampak sangat antusias membahasnya. Akhtara juga akhirnya lupa akan rasa hausnya dan fokus pada topik obrolan mereka.
"Menurutmu dia gadis yang seperti apa?"
Levina terdiam, saat ia melihat wajah Akhtara tampak sekali bahwa Akhtara semangat membicarakannya. Levina juga cukup sadar akan dirinya yang bukan apa-apa bila dibandingkan dengan Seina. Ia sedikit murung, dan menunduk sebentar sebelum mengemukakan pendapatnya tentang Seina.
"Menurutku, Kak Seina itu orang yang berani, cekatan, cerdas, dan cantik. Dia benar-benar Elang yang bermata kucing," Levina tersenyum hambar. Ia melirik Akhtara yang tak lagi fokus dengan game yang mereka mainkan.
"Dia gadis yang menarikkan? Seina seperti memiliki pesona tersendiri untuk menarik seseorang," Akhtara tersenyum. Dia menelengkan kepalanya ke arah Levina.
"Kalau seandainya kau adalah seorang laki-laki, apa kau tertarik dengan gadis seperti Seina?" lanjut Akhtara. Mendengar itu, Levina meremas stick playstationnya sambil mengulas senyum palsunya. Hatinya remuk seketika, dari jalan pembicaraan ini sudah jelas sekali bahwa Akhtara menyukai Seina, menurutnya. Apalah kelebihan gadis seperti dia ini sehingga berani bermimpi untuk mendapatkan pemuda seperti Akhtara ini. Harusnya Levina sadar dari awal.
"Tentu saja! Siapapun pemuda itu, pasti tertarik dengan kak Seina!" Levina melebarkan senyumnya, dan rasanya semakin sakit. Ini seperti kisah cinta yang berakhir sebelum dimulai menurutnya. Kisah cinta yang basi dan payah, Levina tak pernah menyangka akan jatuh pada dirinya.
"Sebenarnya saya punya rencana untuk mendekati-"
"Hei! Kan sudah kubilang jangan main sebelum aku datang!" Levino muncul dari arah pintu dengan tangan yang sarat akan kantung belanja berisi makanan ringan dan minuman. Levino meletakan belanjaannya di depan Akhtara dan Levina. Lantas ia membanting tubuhnya pada kasur kesayangannya.
"Telat, hausku sudah hilang," Akhtara menatap datar belanjaan yang dibawa Levino.
"Harusnya kau berterimakasih! Aku rela panas-panasan di luar sana untuk membelikanmu minum, malah begitu tanggapanmu," ketus Levino.
"Cahaya matahari itu bagus untuk kesehatan, loh," ucap Akhtara. Refleks, Levino bangun dari tidurnya menatap Akhtara dengan kekesalannya.
"Kau pikir ini jam berapa? Kalau masih di bawah jam 9, kau boleh bilang seperti itu. Lihat sana matahari di luar sudah ada di atas kepalamu!" Levino sewot dan turun dari kasurnya. Ia duduk diantara Levina dan Akhtara.
"Kau juga, beraninya bermain game dengan orang lain tanpa mandi dulu! Mandi sana!" tukas Levino. Levina menautkan alisnya bingung, bukannya tadi dia sendiri yang menyuruh Levina untuk menemani Akhtara. Terkadang kakaknya ia suka error jika sedang kesal.
"Kau sendiri yang menyuruhku!" gerutu Levina sambil bangkit dari duduknya.
"Bicara apa sih anak ini?" Akhtara hanya tertawa kecil melihatnya. Levina berjalan keluar kamar dan Levino masih sewot di tempatnya.
"Mana ada aku menyuruhnya, tau dia sudah bangun saja tidak," ucap Levino. Sayangnya Levina sudah hilang dari kamar dan mustahil mendengar ucapan Levino tadi. Di sisi lain, ada orang yang lega karena ulahnya tak diketahui oleh sepasang kakak-beradik ini.
[YOUNG AGENT]
Hari menjelang sore. Langit yang tadinya berwarna biru cerah dengan gumpalan putih yang menjadikannya samar kini berubah menjadi jingga. Semburat merah dan kuning dari cahaya matahari bercampur dengan warna putih dari gumpalan awan dan menghasilkan warna jingga yang indah. Rasanya sangat nyaman saat menatap langit senja berlama-lama, sangatlah memanjakan mata.
Hari menjelang malam, Akhtara akhirnya mengutuskan untuk pulang ke rumahnya setelah lumayan merepotkan sahabatnya hari ini. Ia berjalan di depan Levino, keluar dari rumah dan memasuki pekarangan rumah Levino untuk menjangkau motornya.
"Terimakasih ya, atas makanannya!" seru Akhtara yang duduk di atas motornya. Levino keluar dari rumahnya sambil membawa sebungkus kantung plastik yang sama dengan plastik snack yang tadi mereka makan. Ia berdiri di samping Akhtara yang hendak menyalakan motornya.
Levino menyerahkan kantung plastik yang ada di tangannya ke Akhtara, "Bawa ini."
Akhtara merekahkan senyumnya melihat kantung itu, "Wah, untukku? Terimakasih sekali lagi ya."
"Kalau kau mau ambil saja, aku tidak membutuhkannya," timpal Levino
"Dengan senang hati kuterima pemberian dari kawanku ini," Akhtara menunjukan deretan giginya, cengiran khas yang selalu ia keluarkan jika mendapatkan sesuatu. Sesaat setelah menggantungkan kantung plastik tersebut, Akhtara kembali menatap sahabatnya.
"Soal yang tadi kita bicarakan, aku masih tak percaya," ucapnya tiba-tiba. Levino merotasikan bola matanya.
"Terserah apa katamu," ketusnya.
"Tuh kan, wajahmu seakan memancarkan kecemburuan besar."
"Kau jangan terlalu banyak menghalu, wajahku memang seperti ini dari lahir!" tukas Levino. Akhtara tertawa di atas motornya, ia membuka kembali helm full face dengan corak birunya.
"Aku tau maksud perkataan Tristan di rekaman itu. Perkataannya sangat menunjukan bahwa hatinya sudah benar-benar jatuh pada Seina, tapi kurasa otaknya belum. Dia baru berkata, belum bertindak. Jadi kita belum bisa bernapas lega."
"Pemuda misterius seperti dia susah untuk ditebak," sela Levino.
"Nah, itu kau tahu! Pemuda seperti dia yang terlihat sangar ternyata mudah luluh hatinya. Selagi ia berkata manis, tapi belum melakukan tindakkan, itu berarti otaknya belum sepenuhnya terisi dengan Seina."
"Dan tugas kita, memikirkan apa yang bisa membuat pemuda itu jatuh-sejatuh-jatuhnya ia pada Seina. Hingga otak dan hatinya meronta untuk tetap ada di samping Seina apapun yang terjadi," lanjut Akhtara.
Levino menyunggingkan senyumnya, "Ya, kau benar."
"Nah, sahabatku ini tak usah khawatir. Semakin cepat Tristan jatuh, semakin cepat pula Seina terlepas dari jeratan cintanya. Jadi dia bisa dengan cepat pulang ke padamu juga," Akhtara kembali meledek Levino. Pemuda itu merubah tatapan matanya menjadi tatapan datar yang hambar.
"Aku sudah setuju dengan perkataanmu sebelum kau mengatakan kalimat terakhir itu," Levino menampilkan senyum hambar yang terkesan ia paksa. Melihat itu, Akhtara merasa geli dan lantas tertawa. Ia tertawa dengan gelinya, menatap kedataran wajah Levino.
"Sudah sana pulang! Nanti ibumu mencarimu!" Levino masuk ke dalam rumahnya, menutup pintu tanpa menatap Akhtara lagi.
Pemuda yang ada di depan rumah Levino itu berhenti dari tertawanya. Ia hendak menyalakan motornya kembali, namun perhatiannya teralih pada kantung plastik pemberian Levino tadi. Ia mengintip sedikit, melihat bungkus snack yang tadi ia makan. Merasa janggal, akhirnya ia membuka kantung tersebut dan meraih satu bungkus snack yang ada di dalamnya. Kosong. Saat sadar apa yang ada di tangannya ini adalah sampah bungkus snack, Akhtara meremasnya.
"Ini maksudnya apa?!" ia berteriak dengan kekesalan menyelip pada nada suaranya.
"Sampahmu, bawa saja! Aku tidak membutuhkannya!" Levino berdiri di ambang pintu rumahnya. Ia memegangi knop pintu yang setengah terbuka.
"Sial! Aku kira kau memberiku makanan untuk dibawa pulang!" Akhtara kembali berteriak.
"Mimpi sana!" satu gebrakan pintu menjawab ucapan Akhtara. Pemuda itu akhirnya turun dari motor dan membuang sampah yang ada di tangannya. Ia menarik napasnya dalam-dalam sebelum pergi.
"Untung teman!" pekik Akhtara sembari menyalakan motornya.
[YOUNG AGENT]
Malam mulai larut dan langit pun menggelap. Semakin pekat dan gelap, tak ada cahaya selain lampu-lampu redup jalanan yang dinyalakan. Tidak ada satu pun bintang yang terlihat, bulan juga tak nampak karena tertutup awan tebal. Dirasakan dari hawanya, sepertinya malam ini akan hujan deras. Hawa sejuk menusuk sampai ke tulang dengan angin yang berhembus menggores kulit membuat siapapun yang ada di luar ruangan tak akan mampu pergi tanpa pakaian luaran, seperti jaket atau blazer.
Namun nampaknya suasana dingin menusuk malam ini tak ada apa-apanya bagi Tristan dan komplotannya yang sedang duduk di depan basecamp mereka. Tong minyak yang sudah tak terpakai dibelah menjadi dua dan dijadikan tempat duduk untuk mereka. Di hadapan mereka terdapat sebuah meja panjang yang penuh dengan makanan fast food yang mulai mendingin.
Tetesan air jatuh dari atap yang terbuat dari seng dan membentur permukaan tong-tong besi, menimbulkan suara yang merobek kesunyian di tempat itu. Pemuda yang duduk di hadapan Tristan ini menatap datar. Ia seakan enggan mendengar apa yang ingin Tristan katakan. Pemuda itu memutar kunci motornya dengan telunjuk sambil menggerak-gerakkan kakinya yang dilipat dan bertumpu pada kaki lainnya.
Yang lainnya hanya menatap lekat ke arah makanan di depan mereka. Tidak ada satu pun yang menyerobot dan memakannya. Semua diam menunggu keputusan Tristan. Mereka mengubur rasa lapar yang menjalar di tubuh dan tetap bersikap tenang di hadapan pemimpin mereka. Mau seberapa laparnya mereka, tetap Sang peminpin adalah Tristan dan ia berhak untuk mengeluarkan keputusan apapun yang memang harus dipatuhi oleh semua anggota.
"Rencana penyerangan SMA Si Pengintip, kunyatakan dibatalkan!" kata Tristan menggema diantara sunyinya tempat mereka berkumpul. Wajahnya dingin dan datar, tak ada ekspresi setitikpun di wajahnya. Tristan mendangak dengan gestur angkuhnya. Ia menatap langit kelam, berharap menemukan keindahan di sana.
"LOH? KENAPA?" pekik Ical. Ia berdiri dari duduknya sambil menghempaskan jaket yang tadinya ada di pangkuannya ke tanah.
"Tidak ada alasannya," jawab Tristan cepat. Ia belum memalingkan pandangannya. Di sampingnya, Ical mengeratkan giginya dengan tangan terkepal.
"Kau ini sakit jiwa ya? Jelas-jelas geng ini sangat membenci orang yang mengintip ataupun menguping. Kau lupa orang-orang yang seperti itu pasti berakhir terbaring lemah di rumah sakit karena pelajaran yang kita berikan?" Ical tak habis pikir dengan keputusan Tristan itu.
Ia meremas kepalanya tak percaya. Mengingat bahwa gengnya sangat membenci hal semacam itu, Ical heran dengan langkah yang Tristan ambil. Pemuda yang duduk di sampingnya dengan tenang ini, apa salah minum obat?
"Terus terang, aku sih menerima saja jika kita tidak jadi menyerang sekolah itu. Yang tidak bisa kuterima itu alasanmu, semua yang terjadi pasti ada alasannya," Alan menyahuti. Pemuda itu duduk dengan tenang di hadapan Tristan. Ia bersikap lebih tenang dari pada Ical, walaupun memang dirinya tak kalah herannya dengan Ical.
"Memang tidak ada alasannya."
"Kau tau? Semua ada alasannya. Apapun yang terjadi di bumi ini, ada alasannya. Kecuali kau memang tidak ingin mengatakannya pada kami. Jadi…" Alan menyunggingkan senyumnya.
Tristan menoleh, ia memandang pemuda yang ada di depannya dengan tajam. "Jadi apa?"
"Kau menyembunyikan alasannya dari kami. Kau berbohong tentang tidak ada alasannya. Kau enggan untuk mengatakannya, betul?" Alan mengangkat kedua alsinya dengan raut wajah yang menjengkelkan menurut Tristan. Pemuda itu mengepalkan tangannya, menyadari kekesalan Tristan, Alan terkekeh sarkastik.
"Kau menyembunyikan alasannya dari kami? Kenapa?" salah satu dari mereka berucap. Suaranya terdengar dari arah belakang Tristan. Pemuda dengan tubuh gempal itu memegangi ujung bajunya. Ia terlihat khawatir menatap punggung Tristan.
"Apa kau tak lagi menganggap kami ada?" lanjutnya. Pemuda yang berdiri di sampingnya lantas merangkulkan tangannya. Ia mengusap punggungnya sambil memberikan dorongan batin agar suasana tak tambah menyedihkan.
"B- Bukan, aku hanya…" gagap Tristan. Ia sedikit menoleh ke belakang. Si gempal yang berdiri di belakangnya ini memang gampang sekali terbawa suasana, dan perasaannya sedikit sensitif.
"Hanya apa?" Ical menekan. Pemuda itu mengeluarkan nada bicara yang angkuh.
"Aku hanya tidak ingin kita terus-menerus mengundang keburukan pada diri sendiri. Aku juga berpikir bahwa apa yang kita lakukan tak pernah ada manfaatnya yang nyata. Kita hanya dapat rasa puas atas kemenangan yang sesaat. Lalu luka lebam dan darah yang mengucur sebagai imbas dari rasa kemenangan tersebut."
"Seseorang mengatakan sesuatu padaku, hidup seperti air yang mengalir. Kita tak tau akan menjadi apa di masa yang akan datang. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha untuk memperkecil keburukan," Tristan menghela napas.
"Bisakah kita mulai memperkecil keburukan? Setidaknya untuk diri kita sendiri," lanjutnya.
Alan menyunggingkan senyumnya, "Siapa yang mengatakan hal konyol seperti itu?"
Entah, rasa ingin menghabisi Alan yang duduk di hadapannya semakin besar. Tristan mengeratkan giginya menatap tajam pemuda yang duduk santai di depannya. Saat melihat ekspresi Alan, Tristan terasa seperti diejek secara tidak langsung.
"Kenapa diam? Masih mau merahasiakannya?" Alan mendengus meledek.
"Itu sama sekali tidak ada hubungannya. Siapapun yang mengatakan hal tersebut, tidak ada hubungannya," tegas Tristan.
Alan menyunggingkan senyumnya kembali. Ia menatap sekitar, melihat satu persatu teman-temannya yang menjadikan dirinya pusat perhatian. Pemuda itu menyilangkan tangannya di atas dada, menatap Tristan dengan satu alis yang terangkat. Terlihat sekali bahwa Alan sangat ingin memancing amarah Tristan. Pemuda itu melontarkan tatapan angkuhnya, sebelum berucap.
"Seina-kan? Gadis yang menjadi teman sebangkumu."
"Kau benar-benar berlutut di bawah perkataannya ya?"
"Yaah, memang sudah waktunya pemimpin kita ini mengenal cinta sih, tapi bukan berarti kau menomor duakan kami!"
Selesai mengoceh, Alan menyambar jaketnya dan langsung beranjak pergi. Derap langkah kakinya terdengar jelas dikarenakan kesenyapan yang mengelilingi tempat itu. Tristan hanya bisa diam, menatap kepergian Alan yang mulai samar di pandangannya. Sebagian dari mereka saling tatap, tak habis pikir akan apa yang baru saja terjadi.
Apa itu tandanya Tristan dan Alan akan bertengkar karena nada bicara Alan tadi terkesan meledek? Melihat Tristan yang diam, semua paham dengan jawabannya. Gadis itu yang membuat Tristan mengambil keputusan mengejutkan malam ini. Mereka menunduk lesu. Suasana yang terbangun tak lagi nyaman, rasa lapar akan makanan yang tertata rapih di meja tak lagi menggugah.
"Makanlah, kalian tidak usah memikirkan yang tadi," Tristan berdiri.
"Kalian masih nomor satu di pikiranku. Jangan khawatirkan masalah tadi," Tristan tersenyum pasi. Hampir tidak ada yang menyadari bahwa dia sedang tersenyum.
Selekas bicara, Tristan melangkah menjauhi meja makan. Ia tak menghiraukan tatapan teman-temannya yang sarat akan pertanyaan. Tatapan menuntut kejelasan yang lemah dengan dinginnya ucapan Tristan. Mereka akhirnya hanya bisa menghela napas dan mulai mengenyangkan perut dengan makanan yang sudah dihidangkan.
[YOUNG AGENT]
Hampir tengah malam. Suasana yang semakin menyeramkan ini membuat gadis dengan jaket tebal berwarna coklat muda ini merasa merinding. Ia menyusuri jalan sepi yang mengeluarkan aura tidak nyaman di setiap pojok-pojoknya yang gelap. Lampu jalan yang redup hanya cukup untuk memperjelas langkahnya, sedangkan pandangannya samar menatap jalan lurus yang suram.
Tangannya bersembunyi dibalik kantung hangat jaketnya, gadis itu menghembuskan napasnya sesaat. Ia sangat sebal dengan keadaan ini, dimana ia harus ke mini market terdekat hanya untuk membeli sebungkus pembalut. Jika menunda untuk membelinya, ia tidak akan bisa berangkat ke sekolah besok.
Rasa tidak nyaman di antara kakinya membuat gadis ini berjalan dengan sangat aneh. Anak rambutnya menutupi sebagian matanya, ia sama sekali tak mengikat rambutnya yang panjang. Telinganya semakin jelas bekerja jika saat dalam keadaan seperti ini. Walau dibilang ini masih daerah komplek perumahannya, tapi tetap saja rasa khawatir mendekap dirinya.
Gadis itu memberhentikan langkahnya di depan bangunan dengan tulisan 'Buka 24 jam' di bagian tengah pintu masuk yang terbuat dari kaca. Ia melirik ke arah kasir yang terlihat dari kaca tembus pandang yang membatasi bangunan tersebut. Saat melihat kasir mini market tersebut bergender sama dengan dirinya, ada sebuah rasa lega pada gadis ini.
Akhirnya ia melangkahkan kakinya masuk, membiarkan dinginnya angin malam yang menyentuh kulitnya tergantikan dengan dinginnya Ac yang menyala. Ia berjalan ke bagian rak yang menyajikan pembalut dengan berbagai jenis dan ukuran. Kakinya tertekuk, meraih pembalut yang ia inginkan.
Setelah mendapatkan apa yang ia mau, gadis itu hendak mendengakkan kepalanya. Namun, langkah kaki janggal yang tak sengaja tertanagkap oleh ekor matanya membuat ia mengurungkan niatnya. Gadis itu menaruh kembali pembalut yang tadi ia ambil dan malah mengikuti arah langkah kaki tersebut sampai membuatnya terpatuk rak yang ada di depannya.
Gadis itu mendengus, lalu berdiri. Tingginya rak membuat ia tak bisa menatap Sang Empunya kaki tersebut dengan jelas. Gadis itu berinisiatif untuk mendekat. Entah dorongan dari mana, rasanya instingnya memaksa ia menghampiri pemuda yang mempunyai kaki itu.
Gadis itu menelengkan kepalanya, "Kau?"
Ia melirik tangan pemuda yang ada di depannya. Satu kaleng bir dan satu bungkus rokok. Gadis itu langsung menampilkan wajah jijiknya. Ia mengerutkan keningnya dan mengambil paksa kaleng bir dan bungkus rokok yang ada di tangan pemuda tersebut. Dengan santainya ia meletakkan bir itu kembali ke dalam lemari es dan meletakkan bungkus rokok itu asal.
"Anak SMA mana boleh merokok dan minum bir!" serunya.
"Dua hal itu bisa membuat tubuhmu rusak, jangan dibeli lagi!" lanjutnya. Ia mendangak menatap pemuda di depannya yang tersenyum getir.
"Apa urusanmu? Kau tidak bisa melarangku," ketus pemuda itu.
"Memang kau siapa?" lanjutnya dengan nada sarkas.
Gadis itu mendecak, "Kaukan temanku!"
Pemuda itu menelengkah kepalanya dengan satu alis terangkat, "Sejak?"
"Teman Tristan, temanku juga," ia tersenyum tipis.
"Teman?" pemuda itu melangkah maju, mengikis jarak antara mereka berdua yang semakin sedikit.
"Kau ini temannya Tristan kan? Jadi kau juga temanku! Sesama teman harus saling melindungi," gadis itu mendorong tubuh pemuda yang ada di depannya dan langsung mengalihkan pandangannya.
"Baiklah, teman. Permulaan yang bagus," pemuda itu menyunggingkan senyumnya.
"Lalu gadis sepertimu sedang apa tengah malam seperti ini berada di mini market?" ia kembali menelengkan kepalanya.
Gadis itu tergagap, "A- Aku, ingin beli…"
"Beli?"
"Beli…" ia memanjangkan perkataannya.
"Pembalut," ucapnya pelan. Sangat pelan sampai tak bisa didengar oleh lawan bicaranya.
Menatap ekspresi gadis di depannya, pemuda ini langsung menyadari sesuatu.
Akhirnya ia tersenyum geli dan meninggalkan gadis itu yang masih kikuk berdiri. Pemuda itu keluar dari mini market dengan tangan kosong. Barang yang tadi diambilnya tidak jadi ia beli dan akhirnya barang tersebut kembali bersandar pada rak.
Gadis itu langsung mengambil barang yang ingin ia beli dan lekas membayarnya. Saat ia sadar akan malam hari yang suram ini, dirinya kembali merinding di depan mini market. Ia menatap jalanan yang gelap itu dengan muram.
"Ayo pulang," pemuda tadi meraih tangannya. Menariknya melintasi jalan gelap tersebut dengan sedikit paksaan.
"Hei?" gadis itu menghentikan langkahnya heran.
"Kau yang bilang sendirikan, teman harus saling melindungi. Daripada kau kenapa-kenapa lebih baik kuantar pulangkan?" gadis itu terdiam mendengarnya. Lantas menggeleng cepat.
"Tidak usah," jawabnya singkat.
"Seina, kita bertemankan? Jadi wajar jika aku mengantarmu pulang untuk memastikan kau selamat sampai rumah. Lagi pula ini sudah tengah malam, apa kau tidak takut?"
Seina menimang ucapan pemuda di depannya tadi, dan akhrinya mengangguk pasrah, "Baiklah, tapi hanya sampai perempatan terakhir ya? Aku tidak mau merepotkanmu, lagi pula besok hari Senin. Aku tidak mau menjadi alasan kau terlambat ya, Alan."
Alan bergumam, sangat pelan dan hampir tak terdengar, "Kau ingat juga dengan namaku."