Chereads / YOUNG AGENT / Chapter 5 - Alan dan Ical

Chapter 5 - Alan dan Ical

Hari berikutnya terasa sangat lancar, beberapa opsi Seina juga berhasil membuat hubungannya dengan Tristan menjadi lebih dekat. Mereka sudah saling bertukar nomor telepon dan mengirim pesan. Tristan mulai terlihat menyukai keberadaan Seina sebagai teman sebangkunya. Sudah masuk tahap awal dari pendekataannya, mendekati seorang ketua geng motor tak sesulit yang dibayangkan Seina.

Seina berjalan melewati koridor dengan langkah cepat. Akses transportasi di sekolah ini cukup sulit, harus berjalan sekitar 60 meter dari gerbang untuk menuju halte. Ia pikir, jika tidak cepat maka ia akan tertinggal oleh bus kota jurusannya.

"Soal anak SMA yang kita hajar kemarin itu, sekarang bagaimana?"suara yang datang dari lorong yang mengarah ke toilet khusus siswa itu membuat langkah Seina berhenti. Ia memelankan langkah kakinya, mendekati asal suara hingga sebatas dinding. Seina mempertegas pendengarannya.

"Anak SMA yang menyusup ke basecamp kita minggu lalu?" kali ini suara yang terdengar familiar membuatnya bergetar. Walau tak melihat siapa, tapi Seina merasa yakin bahwa itu adalah suara Tristan. Suaranya terdengar berat, dengan sedikit penekanan-penekanan ditiap kata.

"Padahal belum puas dihajar, dia bahkan menghindar dengan cekatan dari pukulanku. Apa kita serang sekolahnya saja?"

Mendengar itu, tubuh Seina seperti tersengat listrik bervolt tinggi. Ia sedikit gemetar, bergeming dari tempatnya. Tubuhnya masih tersandar di dinding pembatas dengan hati yang harap-harap cemas takut ketahuan.

"Jangan! Untuk saat ini jangan dulu. Kita tidak boleh gegabah, walau bagaimanapun kita harus mencari tahu apa motif mereka sebenarnya, dan kenapa menyusup secara diam-diam ke basecamp kita," suara Tristan terdengar kembali.

Salah satu dari mereka berdecak kesal, "Kau ini, sudah jelas-jelas keberadaan mereka bisa mengancam geng ini. Aku yakin mereka adalah-"

Ucapannya terhenti saat dia melihat bayangan orang dari pantulan lantai. Menyadari akan hadirnya pengintip, Alan bangkit dari duduknya. Matanya yang tajam terfokus pada seseorang yang ada di balik dinding pembatas.

"Kenapa, Lan?" Haikal, yang biasa dipanggil 'Ical' dengan anak-anak gengnya itu angkat suara. Ia mengikuti arah pandang Alan.

"Sialan! Siapa tuh yang berani MENGINTIP?!" teriak Ical, ia melempar botol air mineral yang sudah kosong ke arah dinding pembatas.

Seina sontak terkaget karena suara lemparan botol air mineral tersebut membentur tembok. Ia lantas langsung berlari, keluar dari lorong tersebut secepat mungkin. Ia semakin gemetar saat langkah kaki bergerombol terdengar oleh telinganya. Itu pasti langkah kaki mereka. Napas Seina serasa tercekat, tak ada tempat untuk sembunyi selain…

Seina memberhentikan langkahnya, ia memasang tampang selesuh mungkin dan langsung berbalik. Di belakangnya berdiri Ical dan Alan yang mengepalkan tangan.

"Siapa?" Ical menoleh ke arah Alan dengan dagu yang terangkat. Kulit cokelatnya agak memerah karena ia berlari tadi.

"Entah, anak baru?" Alan tak menoleh ke arah Ical. Ia terfokus pada Seina, tatapannya tajam dengan alis yang mengkerut. Seina mengangguk, mengiyakan pertanyaan Alan barusan.

Dari belakang, Tristan muncul dengan tenangnya. Ia melemahkan pandangannya saat tau siapa yang dimaksud pengintip oleh Ical.

"Ada apa Seina?" Tristan menghampiri gadis itu dengan perlahan, lalu berdiri di sampingnya dengan masih mempertahankan tangannya yang berada dalam saku celana.

"Seina?" Ical dan Alan mengerutkan alisnya. Ical yang penasaran dengan gadis yang berdiri di samping Tristan lantas berjalan mendekat. Seina semakin jelas melihat bagaimana wajah Ical. Pemuda dengan kulit cokelat matang dan rambut ikal itu memiliki badan yang tidak terlalu tinggi. Di wajahnya terdapat beberapa jerawat yang memerah, tapi dari pada itu Ical memiliki bentuk wajah yang bisa dikatakan manis.

"Kau kenal dengan gadis ini?" Ical mengarahkan dagunya ke arah Seina sambil bertolak pinggang.

"Dia teman sebangkuku, baru masuk seminggu lalu." Tristan menatap Seina, tangannya masih tersimpan di dalam saku celananya seakan nyaman dengan posisi seperti itu.

"Kau tidak memberitahu kami, Kenapa?" seseorang melontarkan pertanyaan, suaranya terdengar dari arah belakang yang tak bisa Seina lihat wajahnya.

"Kupikir itu tidak perlu, bukan hal yang penting juga," jawabnya tenang.

"Jadi dia teman sebangkumu?" Alan mendekat. Wajahnya juga makin jelas terlihat oleh Seina. Kulit putih, alis tajam, dan postur tubuh yang hampir sama seperti Tristan, namun bedanya Alan terlihat lebih manis. Jika bibir Tristan tipis dan berwarna pasi, Alan berbeda. Ia tampak seperti orang timur tengah dengan perawakannya.

Tristan mengangguk, "Iya."

"Kenapa? Kau biasanya sulit menerima kehadiran orang baru," Alan menajamkan tatapannya pada Seina. Para anggota yang ada di belakang hanya diam, beberapa ada yang berbisik dan beberapa lainnya tidak perduli sambil menyenderkan tubuhnya pada dinding.

"Dia bukan orang baru, di dalam hidupku dia adalah seseorang yang hadir kembali," Tristan menatap Alan dingin. Entah tak mengerti perkataan Tristan tadi, Seina hanya ingin dirinya bisa cepat meninggalkan situasi ini.

"Benar, dia hanya sebatas teman sebangkumu?" sekali lagi Alan bertanya dengan nada yang sama.

"Iya! Harus berapa kali kuucapkan bahwa dia hanya teman sebangku?" Tristan mulai meninggikan suaranya.

"Baguslah kalau kau yakin bahwa dia hanya teman sebangkumu."

Ical mengerutkan dahinya kembali, "Kau bicara apa sih?"

"Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya merasa ada hal baru di diriku," Alan menyinggungkan senyumnya lalu melengos melewati Seina. "Aku ada urusan, kalau kalian ingin kumpul, duluan saja. Nanti kususul."

"Anak itu kenapa lagi sih?" Ical menggaruk kepalanya menatap Tristan.

"Entah, aku tidak peduli. Kau, mau apa?" Tristan mengalihkan pandangannya dari kepergian Alan ke gadis bermata kucing di depannya. Gadis dengan mata yang tak kalah tajam dengan Alan.

"Eh…" Seina membulatkan matanya terkejut. Ia barusan terfokus dengan punggung bidang Alan yang perlahan samar menjauh.

Lantas kepalanya mendangak, menatap wajah dingin Tristan dengan kikuk. Jadi, alasan apa yang harus dipakai detektif remaja ini? Bukan Seina namanya jika ia tidak mempunyai rencana. Ia sudah merencanakan sesaat sebelum ia berbalik tadi. Hanya saja, ia merasa mulutnya keluh dan kaku untuk mengucapkan kata-kata yang ada di otaknya.

"Em… Aku…"

"Kenapa? Baru kali ini kau bicara seperti itu."

"Aku… Aku… Tadinya aku ingin memintamu untuk mengantarku pulang, tapi sepertinya kau harus bersama teman-temanmu. Jadi…"

"Tidak. Kau salah, aku akan mengantarmu," Tristan mengangguk dengan senyuman di bibirnya.

"Tapi…" Seina melirik ke arah Ical dan para anggota geng motor yang bergerombol di belakang.

"Mereka bisa menungguku. Alan juga sedang ada urusan. Aku bisa menyusul seperti Alan," perkataannya tadi membuat Seina mengangguk.

Baru kali ini dia bicara dengan seorang pemuda menggunakan nada tinggi khas perempuan. Biasanya Seina bicara dengan suara berat, tegas, dan berwibawa seakan menegaskanbahwa dia adalah orang yang serius tidak seperti anak gadis seusianya. Terlebih lagi dia adalah kelompok atas di organisasi rahasia remaja. Seina tak akan mau dirinya dianggap rendah oleh orang tingkat bawahnya.

Tristan mengeluarkan tangannya dari saku celana, manautkan jarinya di sela-sela jemari Seina dan lantas menariknya ke arah tempat parkir. Seina agak sedikit terkejut dengan perlakuan Tristan yang mendadak. Walaupun wajahnya terlihat dingin, tapi entah kenapa Seina merasakan kehangatan mengalir dari tangan Tristan ke tubuhnya.

Dengan kejadian tadi, Seina sadar langkahnya semakin dekat. Tristan mulai terbiasa dengan kehadirannya, dan langkah berikutnya adalah masa pendekatan hati. Seina harus lebih kuat lagi untuk langkah ketiganya ini. Selain itu, ia juga harus bisa menjadi perempuan yang tak mudah membuat Tristan bosan. Ia harus bisa mengambil hati sang ketua geng motor tersebut.

Angin sepoi-sepoi menyapu seberkas rambut Seina di kala ia duduk di jok belakang motor Tristan. Tangannya berpegangan erat dengan besi belakang. Seina menatap punggung Tristan dengan tenang. Entah sebenarnya bagaimana Tristan ini, Seina masih ragu untuk menetapkannya. Melihat dari pengamatan Seina di hari ini, Tristan tergolong pemuda yang baik, ramah, dan mungkin mudah bergaul, maka dari itu ia memiliki banyak teman. Tapi jika membayangkan betapa sangarnya Tristan dan kawan-kawan di rekaman cctv itu, Seina seakan menolak jauh-jauh pemikirannya yang tadi.

Pemuda ini misterius dengan segala karakternya. Seina bahkan baru selangkah maju dalam rencananya. Masih banyak yang harus ia ulik lebih dalam. Terutama mengenai relasi keluarga Tristan.