Pagi yang cerah seakan menyambut Seina. Langit biru dan udara yang sejuk membuatnya semangat menyusuri jalan untuk menuju ke sekolahnya. Suara burung yang berkicau terasa tenang di telinganya. Semburat ungu muda bercampur dengan warna birunya langit terlihat indah di matanya. Seina memang sangat menyukai suasana saat pagi selain karena indah, udaranya juga sejuk dan belum tercemar asap atau polusi kendaraan. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Seina sangat menikmati suasana pagi ini.
Pikirannya mendadak melayang kembali saat diskusi kemarin. Ia masih ragu atas apa yang dikatakannya. Seina paham betul raut wajah Akhtara yang khawatir dengan keadaan sekolahnya. Jika benar-benar mereka akan menyerang sekolah Akhtara, mungkin akan terlihat sama seperti POM Bensin yang diserang mereka seperti di video cctv waktu itu.
"Seina!"
Seseorang berteriak dari arah belakang, membuyarkan pikiran Seina dan membuatnya menoleh. Di belakang, seorang gadis berlari kecil menghampiri Seina dengan seulas senyum manis. Gadis itu menguncir rambutnya dan menyisir rapih anak rambutnya yang bergantung cantik di keningnya. Seina balas tersenyum ke arah Meisya, tangannya melambai sambil menunggu Meisya mendekat padanya.
"Kamu gak salah berangkat sepagi ini?" ucap Meisya yang dibalas gelengan kepala oleh Seina.
"Biasanya juga jam segini, kamu sendiri berangkat jam segini jugakan?" jawab Seina.
Meisya menggeleng, "Aku ada jadwal piket."
"Bukannya kemarin?"
"Aku lupa, hehehe."
[YOUNG AGENT]
"Ini punyamu?" Seina menunjukkan sebatang cokelat ke arah Khansa yang duduk di barisan sampingnya. Namun Khansa menggeleng, begitu pula Meisya saat ditanyakan hal yang sama.
"Mungkin memang itu punyamu," Khansa memiringkan posisi duduknya menghadap Seina.
"Punyaku? Maksudnya?"
"Mungkin ada seseorang yang sengaja menaruhnya di situ dan ingin kau memakannya, siapa tahu dia Secret Adrmirer-mu," sahut Meisya.
"Belakangan ini memang banyak hal semacam itu, entah kenapa? Mungkin sedang trend," lanjut Meisya sambil menggedikan bahunya.
"Wah, Seina belum ada sebulan di sini dan sudah punya penggemar rahasia seperti itu. Aku iri," Khansa menatap Seina dengan tatapan iri sekaligus senang. Ia bahkan tak habis pikir bahwa Seina bisa secepat itu mendapatkan penggemar rahasia.
"Apa sih yang kalian bicarakan, mungkin ini untuk Tristan. Orang yang menaruhnya bisa saja salah meja dan berpikir bahwa Tristan duduk di sini. Lagi pula selama ini dia duduk sendirikan?"
"Betul juga, ya sudah kalau begitu taruh saja di bawah meja Tristan," Khansa menunjuk kolong meja Tristan dari tempat duduknya. Lalu kembali duduk mengarah ke depan.
"Tunggu, tapi bisa jadi itu memang untukmu. Lagi pula kalau memang dia ingin memberinya pada Tristan pasti dia sering mengamati Tristan dan tahu kalau kau teman sebangkunya. Iyakan?" timpal Meisya dengan nada bingung.
"Betul juga, coba lihat di bungkusnya siapa tau ada petunjuk," sahut Khansa setuju.
"Di sini ada inisial namaku, tapi aku kurang yakin kalau ini ditujukan untukku."
"Kau ini, sudah jelas itu untukmu, terima saja!" seru Meisya antusias.
Seina berdehem pelan, "Baiklah, tapi kenapa Tristan belum datang? Biasanya dia sudah ada di sekolah pagi-pagi sekali," Seina menoleh ke tempat duduk Tristan yang kosong. Tatapannya curiga, dan mulai sedikit berdebar. Pikiran negatifnya tentang Tristan mulai muncul.
"Oh, aku ingat. Tadi saat ingin masuk kelas aku bertemu dengan Alan, dia bilang bahwa dia hanya ingin memberi tahu bahwa Tristan tidak masuk hari ini karena ada urusan mendadak, tapi tingkahnya terkesan aneh saat mengatakan itu tadi," ucapan Khansa tadi membuat Seina mengingat kejadian kemarin.
Rasa takut mulai mengalir di tubuhnya, mungkin saja mereka akan menyerang sekolah Akhtara hari ini. Seina lantas berlari keluar kelas. Ia mengitari koridor sekolah dengan napas menderu. Ia tak berhenti memperhatikan sekitar untuk mencari sosok Alan ataupun anggota geng lainnya. Walaupun ia telah menyarankan Akhtara untuk waspada, tapi tetap saja rasa takut akan keselamatan Akhtara tetap mengalir. Ia tahu bahwa jumlah anggota geng motor itu lebih dari yang bisa Akhtara hadapi.
Seina mulai gemetar, ia tak juga menemukan Alan atau anak geng lainnya. Ia akhirnya menghentikan langkahnya saat berada di kantin. Ia sudah hampir mengelilingi koridor sekolah dan ini tempat terakhir. Jika memang mereka tak ada di kantin, Seina berniat untuk bolos dan bergegas pergi ke sekolah Akhtara.
Namun keberuntungan berpihak padanya, Alan dan seluruh anggota geng itu berkumpul di pojok kantin. Seina menghembuskan napas lega. Jumlah mereka semua lengkap dan hanya kurang Tristan. Seina menghampiri mereka, matanya yang tadi terlihat khawatir berubah menjadi seperti biasa. Ia berdiri tepat di belakang Alan dan membuat beberapa anggota geng motor itu berhenti dari kegiatannya yang sedang mengunyah makanan dan mengobrol. Alan yang melihat teman-temannya nampak aneh akhirnya menoleh ke belakang, menatap Seina yang berjalan menghampirinya.
Ia melebarkan senyumnya ke arah Seina sambil menatap gadis itu dengan tatapan dalam. Alisnya terangkat seakan menanyakan kenapa Seina menghampiri mejanya.
"Ada apa?" ucapnya. Seina mengalihkan pandangannya, menangkis tatapan Alan yang mengganggu matanya.
"Kenapa Tristan tidak masuk hari ini?" tanya Seina tanpa basa-basi.
"Kenapa menanyakannya?" kali ini Ical yang menyahuti. Dia menatap Seina sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.
Seina memutar otaknya, ia belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan itu. Dia menarik napas dalam sebelum bicara. Jika apa yang diucapkannya itu salah mungkin mereka semua akan mencurigainya.
"Bukan urusanmu, aku hanya ingin tau," jawab Seina. Hanya kalimat itu yang ia temukan di otaknya. Entah akan seperti apa nantinya jalan percakapan ini.
"Bukan urusanmu juga menanyakan Tristan pada kami," ketus Ical.
"Tapi kalian temannya kan?"
"Teman katamu?" perkataan Ical meninggi, ia melempari Seina dengan tatapan tajam. Pemuda itu tampak kesal dengan pertanyaan Seina tadi. Seina sendiri bingung dengan apa yang terjadi, apa mereka bertengkar sampai-sampai Tristan tidak masuk sekolah? Tapi alasan itu sangat kekanak-kanakan untuk mereka yang beringas di jalan raya.
Alan mendecak menatap Ical, "Sudah, biar aku yang urus gadis ini."
Alan menarik lengan Seina menjauh dari komplotannya. Saat ia menyadari bahwa Seina memegang sesuatu yang panjang di tanganya, Alan berhenti dan memandangi benda itu di tangan Seina. Dia menatapnya dengan tatapan aneh. Melihat tatapan aneh Alan, Seina menutupi cokelat yang baru ia dapat di belakang tubuhnya.
"Cokelat?" Alan mendangak kembali melihat wajah Seina.
"Kalau kau tau kenapa masih bertanya?" ketus Seina.
"Kau dapat dari mana?" tanya Alan dengan wajah penuh selidik.
"Bukan urusanmu, sekarang coba jelaskan kenapa Tristan tidak masuk hari ini," sarkas Seina yang tidak mau membuang waktunya dengan pemuda di hadapannya ini.
"Kalau kujawab 'Bukan urusanmu' juga, apa kau marah?"
"Maksudmu?" Seina mulai dibuat bingung dengan perkataan Alan.
"Kaukan hanya teman sebangkunya bukan kekasihnya, untuk apa cari tau sampai seperti ini?"
"Memang kenapa kalau aku ingin tau?"
"Kau mungkin tak akan ia gubris, hatinya sedingin es. Sehangat apapun dirimu dia akan tetap beku," Alan menatap gadis itu lekat-lekat.
"Apa maksudmu bicara seperti itu?"
"Mungkin kau harus membuka matamu agar kau bisa melihat siapa yang peduli dan siapa yang tidak," Alan tersenyum menyeringai, hampir terlihat seperti seseorang yang tahu sesuatu. Namun, enggan untuk memberitahu.
Setelah selesai bicara Alan berbalik kembali ke mejanya dengan sedikit berlari. Ia benar-benar tak menoleh sedikit pun pada Seina. Seina hendak memanggilnya untuk meminta penjelasan atas yang ia ucapkan tadi, tapi bel masuk lebih dulu berbunyi dan ia memilih untuk mengurungkan niatnya. Seina kembali ke kelasnya dengan sejuta pemikiran atas apa yang terjadi di kantin tadi. Sepanjang koridor sekolah yang ramai dengan teriakan siswa dan siswi yang mengeluh dengan bel masuk, di telinga Seina semua terdengar tenang. Gadis itu menyusuri koridor tanpa menghiraukan kebisingan yang terjadi.
[YOUNG AGENT]
"Lev, ada seseorang mencarimu di depan."
Levino yang mendengar itu lantas mendangak. Ia yang sedang menghabiskan jam istirahatnya menatap malas teman satu kelasnya itu. Harusnya saat ini ia bisa tidur beberapa menit tanpa diganggu, tapi kenyataan tak memihaknya. Levino langsung berdiri sambil mengkucek matanya.
"Siapa?"
"Vina, kelas X-3. Katanya dia gak akan pergi sebelum kau temui."
Levino melongok keluar kelas, di sana berdiri gadis yang biasa ia temui di rumahnya. Adiknya itu berdiri dengan tampang polos seakan tak merasa mengusik kehidupan sekolah Levino. Levino yang enggan membuat mulut adiknya itu membocorkan status mereka yang adik-kakak akhirnya keluar kelas dengan gontai. Ia mendecak sebal saat berdiri tepat di hadapan adiknya.
"Apa lagi?" ucapnya datar.
"Soal yang semalam-"
"Kan sudah dijawab," sela Levino cepat.
"Tapi belum semua, aku-"
Levino mendecak, "Tanya saja ke Akhtara-nya langsung, aku ingin tidur."
Levino meninggalkan adiknya di depan kelas, ia melangkah cepat ke ruangan OSIS. Menurutnya mungkin hanya ruangan itu yang cocok untuk tempatnya tidur. Mungkin di sana hanya akan ada Pia, itu juga tidak mengganggu yang penting ia bisa lepas dari jeratan pertanyaan konyol dari adiknya.
Jauh dari pengamatannya, Levina mengikutinya tanpa suara dari belakang. Saat Levino sadar diikuti, ia makin mempercepat langkahnya dan berhenti tepat di depan pintu ruangan OSIS. Ia merasa kemenangan ada di pihaknya, dia menoleh untuk melihat adiknya.
"Kakak!!" teriak Levina dengan harapan kakaknya tidak mengacuhkannya lagi.
"Apa sih? Pertanyaanmu tidak penting," tegas Levino dari tempatnya berdiri.
"Tapi penting untukku," mendengar jawaban adiknya Levino memutar bola matanya.
"Basi," Levino berbalik.
Karena tidak mengamati dengan baik apa yang ada di depannya, kepala Levino akhirnya terpelatuk dengan sesuatu. Ia meringis pelan sambil menjelaskan tatapannya. Di depannya ada seorang gadis dengan rambut panjangnya yang terurai rapi. Gadis itu meringis sambil memegang dahinya. Ia mendangak untuk menatap siapa yang menabraknya.
"Levino?"
"Pia?" ucap mereka berdua bersamaan.
"Maaf, ini karena-"
"Aku mau ke toilet, permisi," sela Pia. Gadis itu lantas pergi sambil sedikit menunduk meninggalkan Levino yang bingung dengan sikapnya. Sadar dengan kehadiran Levina yang masih berdiri di belakangnya, Levino langsung mendorong pintu dan masuk ke ruangan OSIS dengan cepat. Ia menghela napasnya lega karena hanya di ruangan inilah ia bisa terhindar dari kejaran adiknya.
Pia berjalan melewati Levina yang masih menatap kesal kepergian kakaknya. Pia meninggikan tubuhnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Levina menatap balik Pia dari tempatnya berdiri. Gadis itu mengangkat satu alisnya dengan tatapan sama angkuhnya dengan Pia. Beberapa detik berlalu, Levina sadar akan keadaan perutnya yang kosong. Ia lantas meninggalkan Pia dan tatapannya. Pia mencengkram buku yang ia pegang dengan gigi yang mengerat. Ditatapnya lekat-lekat tubuh Levina yang mulai memudar dari pandangannya. Setelah benar-benar menghilang, Pia akhirnya berjalan pelan menuju kelasnya dengan tumpukan buku perpustakaan yang ia bawa.
Di dalam ruangan, Levino duduk di bangkunya, ia menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan tangan sebagai alas. Namun, ada sesuatu yang mengganjal tangannya. Sebuah benda batangan yang jika dikira-kira sepanjang penggaris. Ia mengangkat kepalanya kembali, di atas mejanya tergeletak sebatang cokelat dengan pita merah muda dan catatan kecil bertuliskan kata 'Semangat!'. Levino mengeryit heran, ia sama sekali tak membeli cokelat atau memesannya.
Mungkin milik anggota OSIS lainnya, tapi jika memang benar kenapa harus di taruh di mejanya? Posisinya ada di tengah ruangan dan jauh dari meja anggota lain. Apa mungkin memang ada yang menaruhnya dengan sengaja?
Levino mengambil cokelat itu dan membalik catatan kecil yang tergantung indah. Di baliknya tertulis namanya dengan tulisan tangan yang cantik. Seulas senyum terlukis di wajahnya. Ia meletakkan cokelat itu di pojok mejanya sebelum akhirnya kembali untuk tidur.
[YOUNG AGENT]
Suasana hening sesaat setelah mereka bertiga masuk ke ruangan. Seperti biasanya, Akhtara selalu ke toilet sebelum mulai untuk rapat. Entah pantas disebut rapat atau tidak, sebab tak ada hal serius yang bisa disampaikan oleh masing-masing mereka. Seina dan Levino sama-sama diam dalam lamunan mereka. Wajah mereka tampak lelah, tapi ada setitik keceriaan yang terlihat. Secara bersamaan senyuman tercetak di wajah mereka dengan tiba-tiba. Akhtara yang baru saja keluar dari toilet heran melihat dua rekannya ini.
Akhtara hampir tertawa melihat kekompakan yang terjadi tanpa sengaja ini. Ia duduk di samping Seina dan mengamati wajah kedua rekannya secara bergantian. Walau terlihat lelah karena kegiatan sekolah, wajah mereka terlihat sedikit berseri. Akhtara semakin bingung dengan apa yang terjadi.
"Kalian kenapa sih?" ucapnya. Akhtara tak henti mengamati Levino dan Seina bergantian. Mendengar pertanyaan Akhtara tadi, Seina dan Levino sama-sama merogoh tasnya. Mereka mengeluarkan cokelat yang sama berbarengan dengan senyum yang masih terlukis.
"Aku dapat cokelat," ucap mereka bersamaan sambil menunjukan cokelat yang mereka miliki. Akhtara semakin geli melihat tingkah kedua rekannya ini.
"Kau dapat dari mana?" lagi-lagi mereka bicara bersamaan dengan tatapan kikuk saat wajah mereka saling berhadapan.
"Bukan urusanmu!" pekik keduanya. Akhtara akhirnya mengeluarkan tawanya. Kedua rekannya itu menoleh, melemparkan tatapan tajam pada Akhtara yang sontak membuatanya terdiam.
"Kenapa?" tanyanya. Akhtara menatap balik kedua rekannya.
"Dasar aneh," umpat Seina. Ia kembali memasukkan cokelatnya kedalam tas.
"Bagaimana bisa kalian berdua sama-sama mendapatkan cokelat di hari yang sama?" tanya Akhtara sambil menahan tawanya.
"Memang apa yang tidak bisa di dunia ini?" sahut Seina ketus.
"Ini hanya kebetulan!" tukas Levino.
"Begitu juga dengan kalian yang bicara bersamaan tadi? Semua ini hanya kebetulan?" Akhtara mulai memainkan kata-katanya. Membuat Levino terdiam, begitupula dengan Seina.
"Menurutku di dunia ini tak ada yang kebetulan. Semua telah direncanakan, kalian yang sama-sama mendapatkan cokelat, kalian yang bicara secara bersamaan, aku yang duduk di hadapan kalian sebagai penengah, kita yang ada di gedung ini sebagai kelompok nomor satu dan semua yang terjadi di dunia ini. Semua itu telah direncanakan oleh Tuhan dan ada alasannya."
"Lalu apa maksudmu Tuan yang suka berkata bijak?" Seina menelengkan kepalanya ke Akhtara.
"Ini takdir," Jawabnya dengan senyum mengembang.
"Berhenti bicara bijaknya. Tuh makan saja jika kau mau," Levino melempar cokelatnya ke arah Akhtara dengan sigap dan senang hati Akhtara menangkapnya.
"Nah, takdirku hari ini mendapatkan cokelat dari sahabatku," senyum Akhtara semakin mengembang sambil mengangkat cokelat dari Levino. Ia lantas membuka bungkusnya dan langsung memakan cokelat itu.
"Payah," sahut Levino dan hanya dibalas cengiran oleh Akhtara.
"Jadi apa yang kau dapat hari ini?" lanjutnya.
"Tidak ada, dia tidak masuk hari ini," Seina menjawab dengan lesuh sambil menyandarkan tubuhnya.
"Kenapa?" Akhtara berhenti mengunyah cokelat di mulutnya.
"Entah, saat aku tanya teman geng motornya mereka tak mau memberi tahu. Anehnya lagi saat kutanya mereka seperti kesal dengan pertanyaanku."
"Maksudmu?" Levino mulai serius menanggapi perkataan Seina.
"Saat kukatakan bahwa mereka adalah temannya, seseorang dari mereka seperti hendak menyangkal perkataanku. Entah apa yang terjadi aku sudah lebih dulu di tarik oleh Alan," jelasnya.
"Alan?" Levino dan Akhtara berkata sambil saling tatap. Mereka menautkan alis bingung.
"Alan adalah salah satu anggota geng motor itu, dia menarikku menjauh. Kukira dia akan menjelaskan kenapa Tristan bisa tidak masuk, tapi dia malah bicara aneh yang aku sendiri tidak mengerti," Seina menopang kepalanya dengan tangan yang bertumpu pada meja. Ia terlihat lesu dan tak semangat.
"Seperti apa orangnya?" tanya Levino.
"Tinggi, putih, alisnya lumayan tebal, wajahnya cukup manis, lebih berwarna dibanding Tristan. Dia seperti orang timur tengah, sedikit mirip dengan Akhtara," jawabnya.
"Hei, jangan samakan aku dengan anak sangar seperti dia," tukas Akhtara.
"Sejujurnya dia tak begitu sangar di sekolah. Mereka terlihat seperti murid biasa."
"Mungkin kau belum menemukan bagaimana mereka sebenarnya. Kau belum cukup jauh mengenal mereka, mata dan telingamu belum cukup terbuka untuk mengetahui segalanya tentang mereka. Kau harus lebih terbuka dengan keadaan. Jangan terpaku hanya pada Tristan, kau harusnya bisa mengulik dari anak lain."
"Dan soal Alan, aku ingat anak ini, dia yang menguasai teknik bela diri karate. Aku pun masih hafal dengan gerakannya waktu itu," sambung Levino. Tatapannya tak beralih dari Seina.
"Ya, aku ingat. Tampan memang, tapi gerakannya cukup mematikan untuk orang biasa yang tak mengerti bela diri," Akhtara menganggukkan kepalanya seakan yakin dengan perkataannya.
"Tapi jika dibandingkan dengan kita, kurasa kita satu tingkat lebih pandai dari pada dia karena kita punya kecepatan yang bagus. Dalam berkelahi, lebih penting menghindar dari pada melawan karena dengan menghindar kita tidak hanya menyelamatkan diri tapi juga mengulur waktu dan membuat tenaga lawan habis secara perlahan," sambung Akhtara. Levino dan Seina sama-sama mengangguk dan paham atas analisis Akhtara.
Akhtara berdehem di tempatnya sambil melirik Seina, "Soal mereka yang ingin menyerang sekolahku itu bagaimana kabarnya?"
"Karena tadi Tristan tidak masuk dan aku juga kehilangan kesempatan untuk mencari tahu, jadi aku belum bisa mengatakan apapun. Mendengar percakapan mereka kemarin, memang mereka ingin menyerang sekolahmu tapi…" Seina memutus perkataannya.
"Kenapa?" Akhtara menatap Seina dengan wajah serius yang penasaran.
"Tristan seperti mencegah rencana komplotannya, bukan dalam artian mereka tidak jadi menyerang. Dilihat dari caranya bicara saat itu Tristan seperti meminta komplotannya untuk tidak gegabah. Aku takut jika mereka membuat rencana yang lebih besar."
"Sepertinya kau harus lebih hati-hati dan waspada mulai saat ini, Bung. Aku akan turut menjaga keamanan sekolahmu sebisaku," Levino menepuk pelan pundak Akhtara sambil tersenyum dengan niatan untuk menyemangati rekannya ini.
Akhtara sedikit tertunduk, ia hanya mengangguk pelan. "Terima kasih."