Seina duduk dengan kikuk di bangku depan ruangan kepala sekolah. Kakinya naik turun terhentak ke tanah tak henti-henti. Tangannya meremas rompi seragam resmi SMA Harious. Seina tidak bisa diam menunggu keputusan di kelas mana ia akan ditempatkan.Gadis itu menghembuskan napas gusar beberapa kali. Ia sangat gugup, rasanya seperti mimpi bisa bersekolah di SMA favorit ini. Seina menggigit bibir bawahnya yang memerah. Ia menunduk ke arah lantai, membiarkan seberkas anak rambutnya menggantung indah tertiup angin.
Geraldo keluar dari ruang kepala sekolah, gadis yang sedang menunggunya di bangku depan pun langsung mendangak. Matanya menyiratkan berbagai pertanyaan. Geraldo menuntun Seina ke arah koridor yang sepi dengan tangannya.
Ia sedikit membenarkan jasnya sebelum bicara, "Aku sudah berusaha untuk menempatkanmu di kelas yang paling bagus di SMA ini, kelas XII IPA 1. Kau pantas menerimanya."
Seina mengangguk antusias, "Itu kelas yang bagus. Ketua geng motor tersebut juga ada di kelas itu. Dengan begini aku menjadi lebih mudah untuk menjalankan misi ini."
Gadis itu kemudian tersenyum semangat. Mata kucingnya sedikit menyipit, pipi di wajahnya juga memerah. Gadis itu terlihat sangat manis dihadapan Geraldo.
Geraldo pun balas tersenyum melihat semangat Seina atas misi yang ia berikan. Memang keputusan yang bagus untuk memberikan misi ini pada kelompok Elang. Geraldo tidak merasa terbebani jika harus membiayai sekolah Seina di SMA ini, ia merasa Seina pantas mendapatkannya.
"Kalau begitu jangan mengecewakanku ya!" ucapnya.
Tangannya terulur untuk mengelus pucuk kepala Seina dengan lembut. Lengkung di bibirnya masih terbentuk sempurna. Gadis di depannya mengerjapkan mata terkejut. Tidak lama setelah itu, senyuman manis kembali terlukis di wajahnya.
Geraldo menghela napasnya sebelum beranjak pergi. Ia mengangguk perlahan, lalu melangkahkan kakinya keluar area sekolah. Untuk terakhir kalinya, ia menoleh sekilas untuk melihat gadis itu. Seina masih berdiri di tempatnya, manik matanya pun masih terkunci pada Geraldo. Ia menggeleng pelan sambil memalingkan wajah, gadis itu sangat mirip dengan almarhum kakaknya. Senyumnya, semangatnya, bahkan aura yang dikeluarkan gadis itu pun terasa sama.
Selekas Geraldo hilang dari pandangannya, Seina lantas melangkahkan kakinya kearah mading sekolah untuk melihat denah sekolah. Kelasnya adalah XII IPA 1, tepatnya berada di samping ruang guru di lantai dua.
Seina menghela napasnya pelan sebelum berjalan ke arah tangga. Ia berjalan melewati koridor sepi, tatapannya tak berhenti mengamati keadaan sekitar. Ia merasa bangga dan senang karena pada akhirnya ia bisa menjejakkan kakinya untuk belajar di SMA favoritnya ini. Tibalah ia di depan kelas yang senyap. Kepalanya sedikit melongok ke dalam kelas, tangannya terarah untuk mengetuk pintu perlahan.
Guru yang sedang mengajar sontak menoleh dan berhenti dari aktivitasnya menulis di papan tulis. Guru itu membuka pintu sambil menatap Seina dari atas sampai bawah lalu tersenyum ke arahnya. Guru itu mengulurkan tangannya, lalu merangkul tubuh Seina dengan hangat.
Seina memandang seisi kelas, semua tatapan terpusat padanya. Mulai dari bangku paling depan, tengah, belakang, sampai pojok, semua tertuju padanya. Seina menunjukan senyuman andalannya sambil memperkenalkan diri. Ia kira kelas ini adalah kelas yang dihuni oleh siswa dan siswi yang serius dan mempunyai tingkat humor yang tinggi. Namun, pemikirannya pecah saat mendengar beberapa lelucon dan gombalan yang keluar dari beberapa siswa yang duduk di depannya. Suara tawa dan senyuman jahil, Seina rasa ia salah masuk kelas. Tapi beberapa kali ia menegaskan matanya bahwa papan kecil yang menggantung di depan pintu kelas ini bertuliskan XII IPA 1 yang artinya dia tidak masuk ke kelas yang salah.
Seina mengedarkan pandangannya dan menemukan sosok Tristan di pojok belakang kelas yang sedang asik dengan pulpen dan secarik kertas di mejanya. Tristan sama sekali tidak menengok ke arahnya. Ia hanya fokus pada kertas yang ada di atas mejanya.
Wali kelas menyuruh Seina untuk mencari tempat duduk. Entah keberuntungan dari mana, Seina bisa langsung duduk di samping Tristan. Penyelidikannya akan lebih mudah jika Tristan menjadi teman sebangkunya.
"Sepertinya kita pernah ketemu," ucap Tristan dengan tatapan yang masih fokus ke arah kertas di depannya.
Seina membulatkan matanya terkejut. Padahal ia belum meluncurkan aksi pertamanya, tapi Tristan sudah mengenalinya. Apa masker yang minggu lalu ia pakai kurang cukup untuk menutupi wajahnya?
"Oh ya? Sepertinya aku tak pernah bertemu dengan orang sepertimu."
Tristan tersenyum sambil memberikan secarik kertas bertuliskan nama Seina dengan gaya graffiti yang keren, "Yang benar? Kau lupa denganku setelah semua hal yang kau lakukan padaku?"
Seina mengerutkan dahinya "Maksudmu apa?"
"Kau Seina, gadis kecil dengan mata tajam seperti kucing yang suka menuduhku pencuri saat ada seseorang yang kehilangan barangnya di kelas. Aku Tristan, orang yang selalu kau curigai di sekolah dasar."
"Kau benar-benar lupa?" lanjutnya.
Seina menghela napasnya lega. Ia sempat lupa jika Tristan adalah temannya saat sekolah dasar. Baguslah jika Tristan masih ingat dengan Seina, jadi ia tidak perlu untuk mengingatkan Tristan bahwa mereka pernah satu sekolah.
"Oh, Tristan? Kau sekolah di sini?" ucap Seina berlagak seperti orang yang tidak tau.
Tristan sedikit tertawa sambil menatap Seina, "Menurutmu jika aku memakai seragam resmi SMA ini dan duduk di sini tandanya apa?"
Seina menunjukan cengirannya lalu mengangguk paham.
Mereka berdua kini mulai fokus kembali mendengarkan guru yang mengajar di depan kelas. Sesekali Seina melirik ke arah Tristan, begitu pula sebaliknya. Sudah beberapa kali mata mereka saling bertemu, menyisakan rasa canggung dan malu.
Beberapa jam pelajaran telah berlalu, bel untuk istirahatpun sudah berbunyi nyaring. Para murid berhamburan keluar kelas. Beberapa dari mereka keluar kelas sambil merenggangkan tangannya dan menghembuskan napas lega karena telah melewati beberapa jam pelajaran dengan lancar.
Seina merapihkan buku tulisnya, karena ia belum punya buku paket khusus yang dipakai sekolah ini untuk kegiatan belajar mengajar, akhirnya ia terpaksa meminjam buku Tristan. Memang terasa sedikit canggung, tapi tak lebih besar daripada rasa bahagianya karena pada akhirnya ia bisa bersekolah di SMA favoritnya ini.
"Tristan, aku hanya kenal denganmu di sini, jadi apa boleh kalau-"
"Seina, apa kau mau istirahat dengan kami?" ucapan dua siswi di sampingnya membuat suara Seina tersamarkan di telinga Tristan. Seina kehilangan kesempatan untuk istirahat dengan Tristan dan mengulik informasi tentangnya. Seina menunjukan senyum paksaan ke arah kedua siswi di sampingnya. Sedangkan Tristan sudah keluar dari kelas dengan teman-temannya yang menunggu di depan kelas.
Seina akhirnya ikut dengan dua siswi yang sekarang berjalan di depannya. Meisya dan Khansa, itulah nama depan yang tertera di rompi mereka. Seina merasakan bahwa Meisya dan Khansa seakan memancarkan keceriaan dari tubuh mereka. Terlihat jelas dari cara mereka bicara, melangkah dan bahkan mereka tak henti untuk tersenyum. Seina yang memikirkan itu merasa dirinya adalah gadis yang aneh. Belum pernah ia tersenyum dan ceria selepas dan sebebas Meisya dan Khansa. Semasa Seina di sekolah lamanya, tak banyak orang yang peduli dengannya. Semua menganggap Seina adalah gadis yang serius dan kurang asik jika diajak untuk mengobrol.
Seina mengesampingkan pikiran tadi dengan cepat. Tak ada waktu untuk memikirkan hal sepele seperti itu. Dengan pendengaran dan tatapan yang dipertegas Seina duduk di bangku kantin. Tatapannya fokus memperhatikan gerak-gerik Tristan dan kawan-kawannya.
"Sei, kau suka dengan Tristan ya?" Meisya memicingkan matanya sambil menunjuk ke arah Seina, ia mencoba untuk terlihat akrab dengan murid baru di depannya ini. mendengar tuduhan tiba-tiba dari Meisya, Seina sempat terkejut sebelum merubah wajahnya menjadi datar.
"Tidak."
"Lalu kenapa terus diperhatikan seperti itu?" Khansa menelengkan kepalanya ke arah Seina dengan senyum jahilnya. Khansa sebisa mungkin membuat Seina nyaman saat menghabiskan waktu istirahatnya bersama Khansa dan Meisya.
"Aku memperhatikan Tristan atau tidak bukan urusan kalian," sahutnya ketus.
Meisya dan Khansa saling memandang. Respon yang diberikan Seina membuat mereka agak terkejut. Dibanding berpikir bahwa Seina kurang nyaman berada di dekat mereka berdua, mereka berdua yakin malah bertambah yakin bahwa Seina benar-benar tertarik pada Tristan. Meisya dan Khansa adalah tipe gadis yang mengedepankan pikiran positif. Jika dipikir-pikir juga, bukan hal yang tidak mungkin jika ada gadis baru yang menyukai cowok putih, tinggi, mancung dan pintar seperti Tristan. Cowok yang masuk ke dalam daftar most wanted sekolah, Tristan adalah pacar idaman para siswi di SMA ini.
"Oke, lupakan yang tadi. Sekarang apa yang mau kita makan?" Meisya mengalihkan pembicaraan agar suasana di meja yang ditempatinya lebih cair dan Seina merasa lebih akrab dengan mereka berdua.
"Siomay?" Khansa mengangkat kedua alisnya.
"Boleh," Seina mengangguk.
Meisya berjalan ke arah stan makanan yang menjual siomay. Sedangkan Seina dan Khansa duduk dengan tenang. Tidak ada topik yang dibicarakan oleh mereka berdua sampai Tristan datang membawa sepiring nasi gorengnya ke meja yang Seina tempati.
"Kau mengamatiku dari tadi, ada apa?" Tristan meletakan piring nasi gorengnya dan mengambil posisi duduk di hadapan Seina. Seina hanya menggeleng pelan tanpa melihat Tristan. Sedangkan Khansa menampakan wajah terkejutnya atas kedatangan Tristan.
"Kalau ada yang ingin dikatakan, katakan saja. Tidak nyaman rasanya jika kau memperhatikanku dari kejauhan seperti tadi."
"Tidak ada," ucap Seina singkat. Tristan tersenyum sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
"Kenapa senyum?"
"Tidak apa-apa," Tristan tersenyum kembali. Kali ini Seina menatapnya.
"Nyaman tidak kalau ada orang yang senyum padamu seperti ini?" ucap Tristan yang dijawab gelengan oleh Seina.
"Begitu juga aku, aku tidak nyaman saat kau memperhatikanku dari jauh seperti tadi."
Meisya memberhentikan langkahnya saat melihat Tristan duduk di mejanya. Tangannya penuh membawa tiga piring siomay. Mata Meisya dan Khansa bertemu, lantas ia memberi kode pada Khansa untuk menjauh dari Seina dan Tristan. Khansa mengerti dan mengangguk pelan. Ia berdiri dengan kikuk, sambil melayangkan senyum paksaannya agar terlihat normal.
"Maaf ya, aku mau ke toilet," Khansa bangkit dari duduknya dan meninggalkan Seina bersama Tristan. Trinstan membalas senyuman Khansa, lalu beralih kembali menatap Seina.
"Jadi benar tidak ada apa-apa?"
Seina berpikir keras. Jika ia jawab dengan kata 'tidak ada' seperti tadi, Seina takut hubunganya dengan Tristan tidak ada kemajuan. Ia harus melakukan suatu langkah yang bisa lebih mendekatkan dirinya dengan Tristan. Meisya dan Khansa benar, jika Seina pura-pura mempunyai rasa terhadap Tristan ia akan mempunyai alasan untuk mengulik informasi dan bisa jadi Tristan luluh dengannya. Seina harus mengambil hati Tristan sebagai langkah awal rencananya. Buat Tristan terbiasa dengan keberadaannya.
"Aku ingin lebih kenal denganmu," ucap Seina lantang. Tristan terkejut, lalu tersenyum kembali pada Seina.
"Hanya itu? Kita bahkan teman sebangku. Kau pasti akan mengenalku nanti."
"Tidak bukan itu, maksudku aku tertarik padamu," Seina menarik napasnya, "Tristan, aku meyukaimu."
Tristan terkejut, membulatkan matanya dengan tatapan tidak percaya. Teman satu sekolah dasarnya yang bahkan baru bertemu dengannya sekitar tiga jam yang lalu menyatakan bahwa ia tertarik padanya. Tristan tidak habis pikir, gadis cantik, berkulit putih dengan rambut bergelombang dan mata kucing yang dimilikinya ini mengutarakan isi hatinya di kantin sekolah.
"Maksudmu-"
"Ya!" Sela Seina. Ia menunjukan senyum andalannya dengan tatapan yang serius. Hatinya meruntuki seberapa bodohnya ia di saat seperti ini mengutarakan perasaannya. Sedangkan otaknya merasa antusias saat menangkap gelagat Tristan yang terlihat menerima dengan baik pernyataannya. Wajah Tristan memperlihatkan bahwa ia juga tertarik pada Seina. Jika Tristan mengatakan 'ya' untuk ajakannya, maka Seina berhasil pada langkah awalnya.
"Ya, kita bisa kenal lebih jauh dari ini," Tristan tersenyum dengan semburat merah di pipinya.
Otak Seina bersorak, langkah awalnya berhasil. Sangat mudah baginya untuk dekat dengan Tristan. Seorang bos dari geng motor juga bisa luluh jika dihadapkan dengan gadis cantik dan pintar. Jadi tahap selanjutnya adalah pendekatan menuju hubungan yang sudah lazim di kalangan remaja. Pacaran. Mungkin ini memang terlalu cepat dan singkat, tapi memang harusnya seperti itukan? Lebih cepat, lebih baik. Jika misi ini selesai dengan cepat, pasti Seina juga yang mendapat keuntungan.
"Benar dugaanku kalau Seina memang menyimpan rasa pada Tristan," Meisya duduk di pojok kantin sambil memakan siomay dan menatap Seina yang asik bercanda dengan Tristan. Khansa mengangguk sambil menyuapkan potongan siomay ke mulutnya.
"Memang pantas jika Tristan banyak disukai oleh gadis."
"Dia pintar, ayahnya pengusaha sukses dan mudah bergaul. Jadi apa lagi yang harus di khawatirkan jika kita jadi pacarnya?" Khansa menopang kepalanya dengan tangan.
"Ada, kau pikir memang apa alasan Tristan tidak memiliki kekasih sampai saat ini?" Meisya meniakan satu alisnya sambil menatap punggung Tristan dari jauh.
"Tristan itu bos sekaligus pemimpin geng motor di kawasan sini. Musuhnya banyak, jadi siapapun yang menjadi kekasihnya berpotensi menjadi target penculikan musuh-musuhnya. Banyak wilayah yang ditaklukan Tristan dengan cara tawuran dan balapan liar. Tidak semuanya menerima kekalahan dengan damai, beberapa dari mereka menyimpan dendam pada Tristan dan siap menyakiti siapa saja yang ada di dekatnya."
Khansa bergedik ngeri mendengar perkataan Meisya barusan. "Tapi bagaimana bisa dia bernapas bebas setelah tawuran dan balapan liar?"
Meisya memutar bola matanya malas, "Tristan punya uang, ayahnya akan melakukan apa saja untuk Tristan. Dia juga pintar, jadi guru-guru di sini masih mempertimbangkan jika harus menskors Tristan. Dan untuk alasan kenapa dia tidak di keluarkan, itu karena ayahnya adalah donatur terbesar di sekolah ini."
"Tunggu, dari mana kau tau semua itu?"
"Aku… em..., tidak penting dari mana aku tau hal itu," Meisya tergagap menjawab pertanyan Khansa barusan.
Khansa menatap Meisyadengan senyuman jahilnya, "Pasti dari Alan, gebetanmu ya?"
Meisya hanya bisa diam dan memakan siomaynya dengan kikuk. Ia pura-pura tidak mendengar apapun yang tadi dikatakan Khansa. Pipinya memerah saat nama Alan terdengar masuk ke gendang telinganya.
Khansa memicingkan matanya ke arah Tristan dan Seina. Khansa berpikir jika Seina menyukai Tristan dan begitu pula sebaliknya. Otomatis mereka berdua akan berpacaran dan Seina menjadi kekasih Tristan. Dan jika apa yang dikatakan Meisya barusan benar, maka…
"Seina dalam bahaya!" Khansa berkata pelan ke arah telinga Meisya.