Dita merasa telah berhasil memperngaruhi otak Alex. Karena setelah melihat Radit dan Chika kemana-mana selalu berdua itu menjadi bukti untuknya bahwa Chika menolaknya karena laki-laki lain. Dan laki-laki itu adalah Radit, teman sekelas Chika.
"Oh, gitu! Sayangnya itu bukan urusan gue!" tegas Alex. Cowok itu kemudian berlalu meninggalkan Dita yang masih berdiri di tempat.
Gadis itu masih memandang ke arah Chika dan Radit yang masih asyik bercanda.
"Baguslah kalau mereka semakin dekat," gumam Dita.
Ia kemudian mencari teman-teman barunya. Setelah memutuskan untuk menjauh dari Chika, Dita memang jadi mempunyai banyak teman. Bahkan teman sekelasnnya pun banyak yang respek kepadanya.
"Eh dari mama aja sih lo Dit?" tanya Prita salah satu teman barunya.
"Oh, gue dari toilet," ujarnya.
"Sana lo beliin kita minuman, haus nih dari tadi kita nungguin elo!" suruh Prita.
"Iya, oke."
Dita pun kemudian berlalu untuk membeli minuman untuk teman-temannya. Enggak papa lah di sini ia seperti kacung karena sering di suruh oleh teman-teman barunya. Yang terpenting kalau di depan Chika ia mendapat pembelaan dari teman-temannya itu.
"Nih minumnya," ucap Dita sambil menyodorkan beberapa minuman dingin ke arah teman-temannya.
"Oke Dita! Btw, makasih banyak ya!" ucap teman-temannya.
"Eh gimana rencana pendekataan lo sama Alex?" tanya Prita.
"Ya gitu deh! Masih cuek."
"Ya lo harus pepet terus dong, jangan sampai malahan si Chika yang bisa mendapatkan perhatian dari si Alex," tambah Prita.
"Gak ngerti gue mesti gimana lagi, baru kali ini juga gue ngebet banget sama cowok," ucap Dits jujur.
Gadis itu memang baru pertama kalinya jatuh cinta, maka dari itu dirinya tidak mau jika cinta pertamanya ini belum apa-apa udah kandas duluan.
"Ntar gue ajarin deh!" ucap Prita. Jelas saja gadis itu sangat bersemangat untuk meracuni otak Dita.
"Oke! Makasih banget ya, lo emang teman baik deh!" puji Dita. "Gak seperti Chika, munafik!" tambahnya.
Setelah perbincangannya dengan teman-temannya, Dita pamit buat ke kelas.
Ketika ia sudah sampai di kelas, di sana sudah ada Chika yang duduk di bangkunya sambil membaca buku seperti biasanya.
"Eh, ada penghianat!" ucap Dita.
"Kenapa lo diem, gak bisa protes apa emang udah mengakui kalau lo emang penghianat!" hardik Dita.
"Cukup ya Dit," Chika berucap. "Gue bukan penghianat," belanya.
"Terus apa? Kalau lo emang bukan penghianat. Gue kira selama ini kebaikan lo itu tulus, ternyata busuk!" ucap Dita.
"Gue bener-bener gak habis fikir ya sama elo Dit, kita udah sahabatan lama! Gak cuma sehari atau dua hari. Tapi lo udah bisa nyakitin hati gue segini teganya!" balas Chika. Ia sudah tak kuasa lagi untuk menahan amarahnya.
Bukan hanya Dita saja yang bisa marah. Tapi dirinya juga bisa marah jika kesabarannya terus di uji.
"Elo," ucap Dita. "Berani lo ngelawan gue!" tambahnya.
"Kenapa? Karena lo sekarang udah punya banyak teman?" cerca Chika. "Ingat ya Dit, punya teman banya belum tentu bikin lo bahagia dan tulus berteman sama elo," ucap Chika.
Gadis itu pun kemudian melangkah pergi meinggalkan kelas. Kemana lagi kalau bukan ke toilet tempat ia bisa meluapkan rasa sedihnya saat di sekolah.
"Gue gak nyangka banget lo bisa bilang gitu sama gue Dit," ujarnya lirih.
Dulu ia dan Dita selalu sama-sama. Bahkan setiap Chika sedang ada masalah pun hanya Dita lah yang menghiburnya. Meskipun dirinya tidak menceritakan masalahnya kepada Dita.
Dita lah yang selalu memberikan ia semangat untuk kembali menjalani hari-hari yang mungkin terasa berat untuk Chika.
Namun, tidak di sangka hari ini Dita telah memberinya luka. Dan luka itu benar-benar terasa sakit untuk Chika.
Ia merasa terhianati setelah pengorbananya tanpa Dita ketahui.
"Andai kamu tau Dit, aku lebih memilih mengorbankan perasaanku demi bahagiamu," lirihnya. Gadis itu masih terisak.
Dadanya sungguh terasa sangat sesak sekali.
Jika di bandingkan dengan cintanya yang hanya dapat ia pendam, Chika lebih sakit kehilangan sahabatnya.
***
Sepulang dari sekolah, Chika hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Rumahnya selalu saja terasa sepi, tidak ada keramaian yang mewarnai hari-harinya sepulang dari sekolah.
Ayahnya sibuk bekerja untuk menyiapkan masa depannya. Sedangkan ibunya, bahkan sejak perceraian itu terjadi ibunya tidak pernah lagi datang ke rumah untuk mengunjunginya.
Siang…
Di luar yang penuh keramain itu..
Namun hampa ku rasa, jika hanya berteman dengan sepi…
Sepi yang kerap menemani hari-hariku..
Membuatku jenuh akan hidupku..
Membuatku kehilangan semangat..
Namun, aku sadar jika hidupku
Bukan hanya tentangku saja…
Ada orang tersayangku yang harus ku bahagiakan…
Dan mereka harus bahagia tanpa
Terkecuali…
~Chika~
"Non, makan dulu sudah bibik siapkan!" ujar Bi Sari dari luar kamar.
"Iya Bi, nanti aja! Chika masih sibuk mengerjakan tugas," balasnya.
Sebenarnya itu hanyalah sebuah alasan saja agar Bi Sari tidak lagi memaksa ia untuk makan.
Chika sedang kehilangan selera makan. Banyaknya masalah yang harus ia fikirkan membuat otaknya bekerja 3 kali lebih berat.
Di tambah lagi jabatanya di sekolah sebagai ketua osis membuat kesibukannya bertambah.
Chika ingin selalu menjalani semua itu dengan tenang dan berusaha yang terbaik untuk itu.
Namun, hatinya selalu saja sakit saat ia harus dekat dengan Alex seperti orang asing yang tak saling mengenal.
Sedangkan mereka slaing cinta, walau kata itu mungkin belum pernah terlontar dari keduanya.
Saat Chika tengah memandang ke arah luar jendela, tiba-tiba saja ponselnya berdering.
Nama Radit tertera di layar ponselnya.
"Iya Dit," sapa Chika dari balik latar ponselnya.
"Keluar yuk, ke Taman nyari udara segar!" ajak Radit tanpa basa-basi.
"Aduhh, gue lagi mager banget lagi," cetus Chika.
"Justru karena lo lagi mager makanya gue ajak lo ke Taman bukan ke Mall," celoteh Radit.
"Yee, gak modal banget lo jadi cowok," cercanya.
"Biarin, yang penting kan bisa bikin orang senyum," ujarnya.
"Kaya tau aja lo kalau orang lagi sedih," kelakar Chika. Gadis itu terlihat heran sekali.
Di setiap kesedihan yang tengah ia rasakan selalu ada Radit di dalamnya.
Entah mengapa lelaki itu seperti di utus untuk menjadi penghibur di setiap kesedihannya.
"Udah buruan keburu sore entar!" ujar Radit.
"Iya, gue ganti baju dulu!" jawab Chika.
Dan ternyata, lelaki itu sudah ada di depan rumahnya.
"Kok udah di sini aja elo?" tanya Chika.
"Gue juga lihat kok pas elo ngelamun dari jendela kamar elo," jawab Radit.
"Ohh, jadi lo dari tadi ngintipin gue ya?" tanya Chika lagi.
"Enggak! Cuma gak sengaja saja lihat," elak Radit.
"Awas lo ntar naksir sama gue gak bisa tidur lo tiap malam!" goda Chika.
"Enggak lah, naksir sama elo sama aja ntar gue juga pacaran sama buku!" sahut Radit.
Mereka pun kemudian memutuskan untuk segera berangkat mengingat hari keburu sore.