Jika rasamu tak terbalas, maka jangan menyalahkan pihak lain. Karena tidak ada yang pantas untuk di salahkan.
Dita masih saja tidak terima jika sekarang Chika banyak di puji oleh kakak kelas. Sedangkan dirinya sudah menguasai teman-teman sekelasnya untuk memusuhinya.
Saat dirinya ingin membuat peringatan untuk Chika, selalu saja ada Radit malaikat penolongnnya yang membuat Dita semakin geram.
"Dit, ntar pulang sekolah belajar bareng yuk!" ajak Chika.
"Gak usah sok care deh lo, lo pasti sekarang puas kan! Jadi juara kelas, jadi ketua osis, dan lagi di puji kakak kelas," jawab Dita nyolot.
"Kenapa sih lo sekarang berubah banget Dit!" tanya Chika. Ia merasa asing sekali dengan sahabatnya yang sekarang.
"Itu bukan urusan lo!" jawab Dita. "Dan satu lagi, gak usah sok baik sama gue," tegas Dita.
Dita berlalu meninggalkan Chika. Kelas rasanya sangat pengap jika hanya ia dan Chika saja yang berada di dalam kelas.
Maka itu Chika lebih memilih untuk keluar dari kelas.
"Dita!" panggil Chika.
Namun Dita tidak menyaut. Ia tetap melanjutkan langkahnya mencari teman-temannya yang lain.
"Eh Chik, udah di kelas aja," sapa Radit.
Semenjak Chika kena marah dari sang ayah ia memang berangkat dan pulang sekolah di antar lagi oleh supirnya.
Jam main Chika juga di batasin. Ia hanya beleh keluar rumah sepulang sekolah kalau benar-benar ada keperluan seperti belajar kelompok atau beli buku.
"Iya Dit, kamu udah sarapan belum?" tanya Chika.
"Kebetulan-" ucap Radit terpotong, matanya memandanh ke arah luar kelas.
"Kebetulan apa Dit!" sahut Chika.
"Kebetulan belum, hehe."
"Yee, kirain kebetulan udah. Nih aku bawa roti, kita makan berdua ya," tawar Chika.
"Emm, roti ya? Duh aku mau banget Chik!" ujar Radit. Cowok itu nampaknya sengaja di buat-buat ketika berbicara karena ada Alex yang barusan lewat kelas mereka.
"Ngomongnya biasa aja ih, geli gue dengernya!" protes Chika.
"Ya kan biar kelihatan manja gitu Chik," sahutnya.
"Apaan sih, udah nih makan!" ujar Chika.
"Suapin lah," pinta Radit.
"Makan sendiri lah," cetus Chika.
"Aku kan maunya di suapin Chik," rajuknya.
"Ah malu, tuh anak yang lain udah pada datang," ujarnya.
"Ya biarin, biar mereka tau kalau kita kan-" ucapnya terpotong. Radit nampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Kalau apa Dit?" tanya Chika penasaran.
"Kalau kita sahabat, ya kita kan sahabat!" ujar Radit.
Hampir saja ia keceplosan kalau tentang perasaannya untuk Chika.
"Ohh, kirain apa? Ya udah di makan sendiri aja. Syukur-syukur udah gue kasih!" cetusnya.
"Gak iklas nih ceritannya," sahut Radit.
"Ikhlas kok," jawabnya.
Dalam hati Chika berfikir, seperti ada yang beda dari sahabatnya.
"Are you okay?" tanya Radit dengan bahasa inggris.
"Yee, sok inggris lo!" ejek Chika.
"Biarin, gimana udah kaya orang bule belum?" tanyanya pada Chika.
"Bukan bule, tapi bulek!" jawab Chika. Gadis itu pun kemudian tertawa lepas.
Hal yang paling suka Radit lihat dari sosok Chika. Adalah Chika yang selalu tersenyum.
Meskipun ia tidak tau beban berat seperti apa yang Chika rasakan, namun ia tau kalau ada sesuatu yang Chika pendam dan enggan untuk di ceritakan pada orang lain.
Apa pun itu, yang jelas Radit hanya ingin melihat Chika bahagia.
"Oh iya Dit, nanti istirahat mau gak ke kantin beli bakso?" tanyanya.
"Emmm, tumben lo gak ngajakin gue ke perpus," heran Radit.
"Ya kan bekelnya udah kita makan, ya lapar lah kalau gak makan," ujarnya.
"Oke, boleh juga sekali-kali biar lo tau rasanya bakso kantin. Gue jamin lo pasti ketagihan."
Cowok itu berucap dengan yakinnya. Seolah kalau bakso di kantin adalah bakso terenak yang pernah ia makan.
"Ah masak, ntar gak enak lagi!" sahut Chika.
"Lo kan belum nyoba, lagian gak baik tau ngatain masakan orang gak enak!" protes Radit.
"Yee, kok elo yang baper sih! Wahh, jangan-jangan ada apa-apanya lagi sama tukang baksonya."
"Sembarangan lo, yang jualan tuh laki. Gue masih normal kalik!" protesnya tidak terima.
"Kalem bos, canda doang."
Chika menjadi anak yang lebih riang setelah mengenal Radit. Persahabatannya dengan Radit mampu mengubah sebagian dari hidupnya.
Tak lama kemudian kelas pun di mulai. Seperti biasa semua sudah diam dan memperhatikan guru yang menerangkan di depan kelas.
"Bagus! Ibu bangga sama kalian semua. Kalau jam pelajaran damai gini kan kalian jadi cepet menyerap materi yang ibu kasih!" ujar Bu Vina di depan kelas.
Setelah meninggalkan tugas di kelas untuk mereka semua kerjakan, bu Vina pun berlalu untuk kembali ke kantor.
Katanya hari ini ada rapat tentang pentas seni yang persiapannya sudah mencapai 90%.
Chika selaku ketua osis pun turut andil dalam rapat tersebut.
"Males banget sebenarnya liat muka Alex," ujarnya.
Tapi mau tidak mau Chika harus siap kapan pun mereka akan bersama dalam satu organisasi.
Dan untuk hal itu, yang Chika harapkan adalah pengertian dari Dita. Tapi sepertinya gadis itu sudah tidak lagi mau tau tentang Chika.
Semua yang di lakukan Chika jika itu menyangkut Alex maka ia akan di cap penghianat.
"Chik," panggil Dita.
"Ada apa?" tanya Chika.
"Gue ingetin ya, lo jangan dekat-dwkat dengan Alex. Awas aja lo!" ancam Dita.
Padahal Dita tidak berhak berkata seperti itu. Dia bukan siapa-siapa Alex, dan hak Alex mau dekat dengan siapa pun.
"Iya, lo tenang aja. Kita bersama juga karena organisasi kok, gak lebih."
"Lo buktiin ya Chik, jangan hanya kata!" ujarnya kemudian melangkah kembali ke kelas.
Sementara Chika hanya menghela nafasnya pelan. Tidak menyangka sama sekali jika Dita akan menjadi sebrutal itu saat ini.
Chika kembali melanjutkan langkahnya untuk menuju ruang rapat. Di sana sudah ada Alex dan guru-guru yang lainnya.
"Bagaimana Chika? Apakah masih ada yang kurang?" tanya salah sati guru.
"Kurang dua orang yang menjadi putri dan pangerannya Pak.
"Setelah saya cek, semua sudah kebagian. Gimana kalau kalian aja?" saran Bu Vina.
"Kita kan yang mengurus berjalannya acara Pak," protes Chika. Jelas saja gadis itu menolak karena ia tidak mungkin kan kalau harus jadi putri, apalagi di pasangkan dengan Alex.
"Sudah tidak ada lagi Chika. Lagian kan pangeran dan putri nanti munculnya di bagian akhir cerita."
"Gimana sama kamu Alex?" tanya Bu Vina.
"Saya ngikut aja gimana baiknya Bu," jawab Alex.
"Oke, berarti kalian ya yang jadi pangeran dan putrinya. Chika saya mohon kerjasamanya ya supaya persiapan ini cepat kelar," ujar Bu Vina.
"Baik Bu!" pasrah Chika.
"Duhh, gimana inu kalau sampai Dita tau!" batinnya.