Dear diary,
Jika boleh bertanya, maka aku ingin bertanya. Mengapa aku harus hadir dalam hidup manusia yang bernama Rangga? Dan mengapa Ia mesti hadir dalam kehidupan remajaku? Apa maunya bumi yang mempertemukanku dengan Ia disaat Ia telah berdua dengan yang lain?
Pagi itu, langit biru dihiasi olesan awan putih bersih di sempurnakan warna kuning dari biasan cahaya mentari pagi.
Kuawali senyum hangat sebagai pembuka hari. Kusapa semua manusia yang aku temui di bumi. Begitulah kebiasaan positifku yang tak pernah alpa dalam hari-hari masa remajaku.
Seperti biasanya, aku selalu akrab dengan keceriaan. Begitupun Jumat ini. Kulangkahkan kaki bersama asma Sang Khaliq untuk menuju suatu tempat yang begitu kurindukan sepanjang malam yang tiada lain adalah sekolah.
Kebetulan hari ini adalah hari perencanaan ngaliwet ditunaikan. Adapun lokasinya dikediaman teman kami, Laila. Supaya acara berjalan efisien, kami membagi-bagi tugas. Ada yang berbelanja bumbu masak, ada yang menyiapkan peralatan memasak ada pula yang hanya duduk manis sembari bermain dengan gadgetnya.
Sementara aku? Jangan ditanya. Aku sedang duduk manis sembari memainkan telepon genggamku. Itu kulakukan karena aku bingung. Sudahlah jangan ditanya aku bingung karena apa.
Inilah saat-saat yang dinantikan oleh semua manusia yang kelaparan. Ya, makan. Ini adalah acara yang diadakan oleh dua kelas dalam rangka syukuran yang merangkap sebagai kegiatan silaturahim antara kelas 10 IPA 3 dan kelas 11 IPA 3.
Dimana Tuan Cokelat itu? Fikiranku berkelibatan dengan pertanyaan demikian ketika aku tiba di sekolah. Pada akhirnya akupun menemukannya. Satu jam sebelum kaum Adam melakukan Shalat Jumat, aku berdiam dikelas bersama sebagian teman perempuanku.
"Hei. Parah banget! Si Anis berdua di kelas sama kak Rangga, haha. Anjir!" teriak Zahara sembari berjalan memasuki kelas.
Seketika jantungku berdegup kecang. Apa aku tak salah dengar? Aku benar-benar tak percaya dengan kalimat itu. Kulihat kearah kelas 10 IPS 1 lewat jendela kelasku untuk memastikan. Dan tidak ada siapapun disana. Pintu dan jendelanyapun ditutup rapat.
Aku menenangkan diri dan fikiran sejenak. Lalu kulihat lagi kearah kelas itu. Dan keluarlah Tuan Cokelat itu dari kelas. Mataku tak henti-hentinya memperhatikan gerak-geriknya. Semuanya begitu jelas. Dan fikiran negatifku mulai menggodaku.
Tidak! Yang kulihat, kak Rangga adalah pemuda baik yang lugu. Tidak mungkin Ia melakukan hal yang ada dalam fikiranku. Setelah itu, Anis akhirnya keluar dari dalam kelas. Kak Ranggapun tersenyum padanya. Aku menjatuhkan badanku diatas lantai. Cepat-cepat kulahap wafer cokelat yang berada di genggamanku.
"Shan, kamu kenapa?" tanya Lulu yang berada di sampingku.
"Benci! Gila! Dasar gila! Gue benci dia! Gue bodoh! Eh enggak. Bukan gue yang bodoh. Dia yang bodoh! Herrggghh..." teriakku seraya melahap wafer cokelatku lebih cepat.
"Emang kenapa, Shan?" tanya Lulu yang mulai khawatir padaku seraya mengusap lembut punggungku.
"Lulu dengar gak yang dikatakan Zahara barusan?" tanyaku setelah aku menenangkan diri perlahan.
"Emang dia bilang apa tadi?" tanya Lulu dengan polosnya.
"Lulu beneran enggak dengar?" Aku tidak percaya Lulu tidak mendengar apa yang dikatakan Zahara tadi. Setelah aku melihat laptop di pangkuan Lulu aku baru faham. Bagaimana Lulu bisa mendengar ucapan Zahara sedangkan Lulu sedari tadi sibuk mengerjakan tugasnya.
Lulu hanya menggelengkan kepalanya. Karena Lulu mendesak, akhirnya aku ceritakan apa yang aku lihat tadi.
"Cuma HTS-an saja 'kan?" tanya Lulu yang mungkin maksudnya untuk menenangkanku.
"Entahlah. Aku tak peduli lagi. Bodo amat! Kenapa sih gue harus bertemu sama cowok yang kaya dia? Sialnya juga kenapa gue harus suka sama dia? Apa sih maunya semesta!" gerutuku pada diriku sendiri. Tetapi aku tidak pernah menyesal karena telah mencintai kak Rangga. Karena aku tau semua ini takdir dari Yang Maha Kuasa.
"Shan, ini sudah takdirnya Shana. Percaya deh! 'Kan kata Shana juga 'Tuhan itu Romantis', jadi Shana harus percaya bahwa cerita Shana ini adalah cerita yang paling indah dan manis yang Tuhan berikan untuk Shana" sahut Lulu menenangkanku.
"Kayaknya aku yang kegeeran deh, Lu. Kata Kak Irhas juga 'kan si Cokelatnya juga suka sama si Lampir" kataku menyanggah pendapat Lulu.
Uniknya diriku. Aku mengganti nama Anis dengan sebutan Lampir. Artinya Nenek Lampir. Nenek Lampir adalah tokoh yang jahat didalam salah satu cerita rakyat. Aku tak berani memanggil nama Anis. Aku takut padanya seperti ketakutanku pada tokoh Nenek Lampir itu.
Setiap kali aku berpapasan dengan Nona Lampir itu, aku selalu menjauh atau sok berani didepannya. Dan setiap kali aku melihatnya, seperti ada yang menyayat sesuatu yang ada didalam dadaku. Dan aku terasa sesak.
Aku tak tau mengapa demikian karena aku tak mengerti. Sebelumnya, hidupku belum pernah ada yang seperti ini. Semuanya mengalir begitu saja tanpa aku mau. Mungkin, Tuhan mau aku juga perlu merasakan patah hati.
Patah hati yang pertama ini berhasil membuat air mataku mengalir begitu saja. Dan sialnya, dimana-mana aku selalu mendengar musik yang super cengeng dan lebay yang membuat tangisku menjadi-jadi.
Aku benci terhadap diriku yang seperti ini. Ini bukan diriku. Ini bukan Shana Aqiba! Setahuku, dimana ada Shana, disanalah ada keceriaan. Dimana ada kebahagiaan, disitu pula ada Shana.
"Kakak nangis ya?" Ziyah menghampiriku dikamarku ketika aku sedang belajar malam.
"Apaan sih! Enggak. Kakak gak nangis kok. Kelilipan saja. Coba tiupin mata kakak. Sial banget sih nih debu!" Memang sengaja kusembunyikan. Karena kurasa ini sangat, sangat, sangat tidak penting bagiku dan bagi semua orang.
Dalam keadaanku yang seperti ini, terlintas dalam fikiranku tentang Risma yang diputuskan oleh kak Yofa. Setelah mereka putus, setiap hari Risma selalu termenung. Bahkan sekali-kali Risma selalu menangis dihadapanku dan mengutarakan kesedihannya padaku.
Benar kata Risma, saat itu aku bisa saja mengatakan dengan entengnya, "kenapa harus bersedih?" Karena saat itu aku belum mengetahui bagaimana rasanya patah hati.
Dan kini aku faham dan mengerti mengapa Aji waktu itu terlihat sangat layu ketika mendengar bahwa aku tidak mencintainya. Itu semua karena patah hati. Dan patah hati itu sangat menyakitkan.
Aku tidak faham mengapa semuanya jadi begini? Patah hati yang pertama ini sangat mengganggu kelangsungan hidupku. Aku benci patah hati!
Dalam sunyinya malam ini, tiada yang dapat aku ajak bicara kecuali Tuhan. Aku mengadu pada-Nya atas semua yang aku rasakan ini. Mengapa hatiku harus berlabuh pada manusia yang bernama Rangga? Dan sialnya, mengapa aku harus jatuh hati kepada lelaki yang sudah berdua dengan perempuan lain?
Apapun nama hubungan antara kak Rangga dengan Anis itu tetap saja hatiku terasa nyeri bila melihat mereka berdua.
Seperti tadi siang ketika kelas 10 IPS 1 dan kelas 11 IPS 1 akan mengadakan acara ngaliwet pula seperti di kelasku. Aku yang saat itu sedang berada di kantin dikejutkan oleh pemandangan yang tidak sedap.
"Kak Rangga! Ini Anis mau ikut katanya" sahut seorang gadis dari kerumunan anak-anak kelas 10 IPS 1. Kak Rangga yang saat itu sedang melajukan sepeda motornya berhenti didekat kerumunan gadis-gadis itu.
Sebelum kak Rangga berkata, kak Rangga memandangku dengan pandangan yang aku tebak merasa bersalah. Ia memandangku dengan penuh syarat. Dan aku yang berada di balkon kantin hanya melihati kak Rangga dengan pandangan kesal.
"Boleh, kak?" tanya Anis menghentikan adegan saling memandang antara aku dengan kak Rangga itu.
"Em, ya. Boleh" ucap kak Rangga seraya menoleh sebentar kepada Anis kemudian Ia menancapkan kembali matanya padaku.
Tidak ada yang bisa aku lakukan disini. Aku hanya bisa mematung melihati kak Rangga membonceng Anis yang sedang kegirangan itu. Apakah ini yang disebut dengan cemburu? Mengapa cemburu itu sangat menyebalkan dan menyakitkan?