Sabtu cerah ini adalah hari pertama untuk siswa baru mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di adakan.
Sejak kemarin, aku belajar untuk tidak peduli terhadap kak Rangga juga terhadap pandangannya. Setiap kali ia memandangku, aku selalu mengalihkan. Jika dekat, aku selalu menjauh. Kurasa itu adalah cara mujarab agar tidak terlalu banyak meyimpan harap. Karena menurutku, terlalu banyak memikirkan manusia yang belum pasti hanya membuatku lelah.
Ketika berada di kantinpun, aku berusaha untuk tidak melihat kak Rangga. Dan ketika aku melewati kak Rangga, aku selalu menghentakkan kakiku dengan keras. Aku tidak tau mengapa aku menjadi seperti ini.
"Shan, dari tadi kak Rangga lihatin kamu, tuh!" ucap Risma ketika kami sedang menikmati jajanan di kantin.
"Bodo amat! Aku gak peduli." Ucapku seraya terus memasukan jajananku kedalam mulutku. Aku tau aku tengah mendustai hati. Lisanku berkata tidak peduli, tetapi sesungguhnya aku begitu peduli.
Mungkin ego dan marahku yang membuat aku seperti ini. Ketika aku hendak membayar jajananku kepada pelayan kantin, kak Ranggapun hendak melakukan hal yang sama denganku.
Saat aku sadar aku akan berdekatan dengannya, aku segera mundur dan menjauh dari kak Rangga seraya memasang wajah kesal. Jika bisa, saat itu ingin sekali aku memukulnya kemudian mengumpatnya karena marahku yang terlalu itu sudah menguasai fikirku.
Tetapi lain dengan hatiku, hatiku masih mencintainya dan ingin sekali aku juga memandangnya dan tersenyum padanya seperti biasanya. Namun hal itu begitu sulit untuk ku lakukan saat ini.
Aku pernah membaca satu artikel yang membahas tentang cinta. Faktanya, terlalu memikirkan cinta membuat IQ kita menurun 10%. Itu artinya, cinta adalah pembodohan. Dan kurasa itu benar adanya. Maka ku putuskan untuk tidak terlalu memikirkan Tuan Cokelat itu.
Kini, aku hanya akan fokus pada cita-citaku, fokus pada belajar dan fokus pada prestasi. Aku tak ingin menjadi perempuan yang terkena pembodohan cinta. Berbelok pada pangkalan cinta banyak membawa perubahan dari diriku.
Tapi tak apa. Mungkin, Tuhan mau aku berubah. Yang ku tau, aku akan menikmati hidup saja. Nikmati lalu syukuri. Syukuri kemudian Tafakuri. Itu yang dapat aku cerna dari Taqdir-Nya kali ini.
Setelah hari berganti, mungkin bukan aku saja yang menjauh. Kak Ranggapun melakukan hal yang sama. Ini terbukti ketika aku dan teman-teman seorganisasiku hendak melewati anak-anak Paskibra. Kak Rangga melihatku yang sedang berjalan paling depan kemudian Ia keluar dari barisannya dan segera bersembunyi. Setelah aku berlalu, kak Rangga kemudian kembali bergabung dalam barisannya.
Bukan hanya itu saja, kini jika kami hendak bersilangan jalanpun kami akan memilih jalan yang lain untuk menghindari kontak mata. Melihat tingkahnya membuatku semakin geram dan muak padanya.
Dan melihat kami seperti ini, kak Bastian teman dekat kak Rangga selalu melihati wajahku dan wajah kak Rangga bergantian. Aku tidak tau apa maksudnya. Mungkin kak Bastian sudah sadar dengan apa yang terjadi antara aku dengan kak Rangga.
Aku semakin sakit terlebih ketika dalam fikiranku terbesit bayangan ketika kak Rangga tersenyum pada Anis juga bayangan ketika Anis tersenyum girang karena kak Rangga bersedia untuk memberinya tumpangan di sepeda motornya. Hal itu sangat menyakitkan bagiku.
"Nah, langsung saja ya. Kakak kumpulin kalian disini tuh kakak akan menyampaikan perihal kapanitiaan di acara Pekemahan Masa Tamu nanti. Adapun struktur keanggotaannya ada di note book Pramuka. Nanti di bacain sama kak Rahma, ya.
Terus satu lagi. Besok hari Ahad kalian ke sininya pagi, ya karena akan ada rapat antara Osis dan Pramuka. Sekalian ngaliwet hehe" Terang kak Wildan si Pradana Putra didepan sana ketika kami mengadakan rapat di Organisasi Pramuka.
Setelah rapat selesai, entah dari mana asalnya, note book Pramuka berada disampingku. Rasa penasaran mengundangku untuk meraih buku besar itu dan membaca nama-nama panitia Perkemahan yang tertulis diatas lembaran-lembaran sana.
Ada harapan yang terbesit dalam rasaku yang tak lain adalah Tuan Cokelat. Panitia dalam kegiatan ini adalah kolaborasi antara anak-anak Pramuka dengan anak-anak Osis.
Aku tau betul kak Rangga adalah Osis yang aktif. Kuharap ia juga terlibat dalam acara ini. Karena tidak semua Osis terjun menjadi panitia di kegiatan Perkemahan nanti.
Mataku menyapu seluruh tulisan-tulisan dalam setiap lembaran. Namun nihil. Nama Rangga Rafiqi tak tertulis disana tetapi justru nama Bastianlah yang tertulis dengan jelas. Aku benar-benar risih padanya, terlebih akhir-akhir ini kak Bastian selalu melihatiku sebagaimana kak Rangga melihatiku.
Ah, biarlah. Aku menyerah dan aku pasrah. Biarlah semua mengalir apa adanya. Lagi pula, tanpa kak Rangga juga aku masih bisa bernafas.
Hari Ahad kusambut hangat penuh dengan semangat. Karena Deadline yang kemarin dibicarakan oleh anak Pramuka jatuh dihari ini.
Setibanya di sekolah, kami berlatih untuk mendemontrasikan Organisasi Pramuka sebentar setelah itu kami beristirahat. Mataku menyapu ke seluruh penjuru di tempat parkir sana. Bola mataku terhenti saat melihat sebuah sepeda motor yang tak asing bagiku.
Aku begitu terkejut. Kak Rangga ada disini? Untuk apa? Bukankah dia tidak terlibat dalam kegiatan ini? Semua pertanyaan mulai muncul dalam fikiranku.
Aku dan Diar teman seorganisasiku di Pramuka berjalan memasuki ruang pak Fatih tepatnya ruang pos satpam di sekolah ini yang kebetulan ruangan itu kini sedang kosong. Di meja ruangan ini berjejerlah helm-helm yang ku kira ini semua adalah milik anak-anak Osis atau anak-anak pramuka.
Mataku terbelalak tak percaya saat kulihat ada satu helm berwarna abu tua mengkilap yang ku kira itu adalah milik makhluk yang selalu bergelantungan dalam fikirku.
Berarti benar Kak Rangga berada di sini. Tapi sejak tadi aku tak melihatnya. Seketika, egoku menyeruak menjalar dari kepala hingga terjun ke seluruh tubuhku mencoba untuk menepiskan semua hal yang menyangkut tentang makhluk itu. Tak akan kubiarkan hatiku terus bernoda oleh sebab manusia yang pada kenyataannya tidak saling mengenal.
"Yuk, Shan!" ajak Diar dan bangkit dari duduknya.
"Kemana?" tanyaku yang sedang melihati helm milik kak Rangga.
"Kamu ini! 'Kan mau rapat sama anak-anak Osis di rumah Bu Kana." Celoteh Diar yang mulai kesal padaku.
"Oh gitu? Gue kira disini" ucapku diiringi kekehan.
Aku dan teman-temankupun berjalan menuju Rumah Bu Kana selaku pembina Osis yang rumahnya berada dibelakang sekolah ini.
Aku semakin terkejut ketika aku melihat kak Rangga sudah berada di rumah Bu Kana terlebih dahulu. Untuk apa dia disini? Bukankah namanya tidak tertulis dalam kepanitiaan acara Perkemahan nanti?
Aku hanya terbelalak ketika mata kak Rangga menancap di mataku. Yang semula Ia sedang duduk seraya memainkan ponselnya, setelah melihatku Ia segera bangkit sebab Bu Kana memanggilnya.
Rasa benci dan rindu bercampur disini. Benci saat melihat kak Rangga sok sibuk dan sok menjadi orang penting. Dan rindu dengan sosok menyenangkannya saat Ia memandangku dengan pandangan yang teduh.