Chereads / Tuan Cokelat / Chapter 29 - Menyebalkan

Chapter 29 - Menyebalkan

Acara Perkemahan Masa Tamu bagi siswa baru di sekolahku telah usai. Libur setelah pembagian raport juga telah berakhir. Kini saatnya seluruh siswa kembali masuk sekolah.

Untuk hari pertama kembali sekolah, semua siswa sibuk berbenah dikelas baru mereka. Termasuk kelasku.

Sebenarnya, kelas kami ada sedikit masalah mengenai keluhan sebagian teman sekelasku yang mereka anggap tidak betah berada di kelas IPA 3 yang dicap oleh kepala sekolah sebagai kelas unggulan, bahkan prestasi kelas kami mengalahkan kakak-kakak kelas kami.

Meskipun prestasi-prestasi itu diraih oleh sebagian teman sekelas kami, yang sebagiannya lagi hanyalah siswa biasa dengan prestasi yang biasa pula.

Setelah mendengar beberapa keluhan mengenai gelar kelas unggulan, akhirnya kepala sekolah menyerahkan segala keputusan kepada kelas kami, IPA 3 antara kelas akan dipecah atau tidak. Jika keputusan akhir kelas dipecah, maka semua kelas IPA seangkatan dengan kami maka akan dipecah pula.

"Aku gak mau kelas kita dipecah," lirih Tria yang nyaris menangis ketika kami berada di kelas.

"Iya. Lagian siapa, sih yang ngadu ke Pak Kepala Sekolah? Kalau mau keluar dari kelas ini, keluar saja sendiri jangan bawa-bawa kelas. Mentang-mentang kelas unggulan dijadikan alasan!" sentak Euis.

"Kata yang ngadu, alasannya gak kuat berada dikelas unggulan. Dia kira kalau berada dikelas unggulan berarti dituntut buat berprestasi juga," terang Agni.

"Emang dia kira dia doang yang bloon dikelas ini?" Seloroh Euis kembali.

"Eh, haha. Nyablak banget, sih! Tanpa sensor gitu. Haha." Seloroh Zahara diiringi oleh tawa sinis sebagian teman-teman sekelas.

"Sama gue juga. Jujur, gue juga lemah dalam bidang akademik. Tapi gue gak gitu. Masih banyak teman-teman yang pinter-pinter bersedia membantu mengajari yang bodoh—" lanjut Euis yang dipotong oleh Zahara, "Bukan bodoh, tapi belum pintar, Euis, hehe.."

"Iya. Maksud gue gitu. Pokoknya yang ngadu, kalian itu egois!" tutup Euis.

"Tenang dulu, jangan pada emosi. Gimana kalau keputusannya kita voting. Suara mana yang terbanyak antara dipecah atau tidak. Setuju, gak?" Rifai akhirnya bersuara dan melerai kata-kata pedas teman-teman perempuan sekelasku.

"Setuju. Gitu aja." Semua teman sekelas mengangguk setuju. Setelah prakata dari pak Akmal mewakili kepala sekolah mengenai pemvotingan dipecah atau tidaknya kelas kami, akhirnya acara inti didalam ruangan kelas berlangsung lancar meskipun kami saling menggerutu.

Sebagian ada yang ingin dipecah, sebagiannya lagi ada yang tidak ingin dipecah membuat kelas kembali sedikit bergemuruh karena gumaman teman-teman sekelas.

"Shan, kamu mau dipecah atau enggak? Jangan ya, kalo dipecah aku nanti sebangku sama siapa? Aku sudah nyaman loh sama kamu. Sama teman sekelas juga. Kamu jangan setuju ya, Shan?" Risma memelas padaku sebelum pemvotingan dilakukan.

Aku tertawa ringan. "Hm, gimana, ya? Aku masih bingung, Ris. Dipecah atau tidak menurutku gak masalah." Jawabku dengan enteng.

"Ih, Shana mah! Kamu mah orangnya mudah akrab sama siapa saja. Buat kamu, nyari temen itu gampang. Tapi aku sulit nyari temen baru, Shan," celoteh Risma kembali seraya memasang wajah dongkol.

Pagi kembali menyapa. Mentari kembali bersinar seperti biasanya. Langitpun masih setia menampakkan keindahannya diatas sana. Cuaca hari ini cukup cerah dan alam terlihat berseri. Aku kembali disadarkan oleh hari, bahwasannya tidak selamanya hati berbahagia.

Sejak mengenal manusia bernama Rangga Rafiqi membuat perasaanku seperti diubah-ubah oleh takdir. Tuan Cokelat itu kini adalah sumber masalah hatiku. Tetapi dia juga sumber kebahagiaanku. Terkadang aku membencinya, terkadang pula aku bahagia karenanya.

Aku disadarkan oleh akal sehatku bahwa apa yang aku rasakan ini adalah suatu kebodohan. Dan lebih parahnya lagi, aku berfikir bahwa kak Rangga juga mencintaiku. Terkadang, aku juga selalu mendustai hati.

Dihadapan teman-temanku aku bersikap seolah aku tidak peduli dengan tatapan kak Rangga. Namun sebenarnya aku begitu peduli dan selalu ingin tahu apa yang selalu Ia lakukan. Satu yang aku inginkan dari kak Rangga. Kepastian.

Setelah aku tahu kak Rangga Hubungan Tanpa Statusnya Anis, dalam hari dihatiku seperti ada yang mengganjal. Dan aku tidak suka itu. Langit dihatiku selalu berubah-ubah cuacanya. Terkadang mendung, terkadang juga cerah berseri yang mengalirkan energi kebahagiaan dalam hidupku.

Yang membuat aku semakin mendung adalah di hari acara Permata waktu itu. Semua siswa di ekstrakulikuler masing-masing menampilkan kebolehan dalam aksi mereka.

Saat itu, Anis juga menampilkan kebolehannya dalam bidang Seni. Semua berjalan lancar, aksiku juga. Namun saat Anis tampil, kak Rangga menonton aksi Anis dengan penuh perhatian tanpa sedikitpun melirikku.

Cesh! Seperti ada belati yang mengganggu anganku dan aku tidak suka ini. Perasaan apakah ini aku belum faham. Sesak dan nyeri yang terasa. Aku ingin bernafas lega seperti dulu.

Oh, bahagia. Dimanakah engkau? Kini aku tahu, terlibat dalam masalah cinta itu sangat merepotkan!

Setelah selesai pemvotingan, hasil akhir menyatakan bahwa kelas IPA 3 tidak jadi dipecah. Mau tidak mau, yang tidak setuju harus tetap mengikuti.

Aku bersama teman-teman sekelasku yang perempuan bersama-sama memindahkan piala-piala dan barang-barang milik kelas kami dari kelas yang dulu ke kelas yang baru. Setelah rampung, aku dan teman-temanku hendak keluar gerbang karena ada keperluan. Dan ini yang tidak aku suka.

Kak Rangga bertugas sebagai penjaga gerbang. Aku dan teman-teman harus siap diintimidasi oleh kak Rangga dan temannya sebelum keluar dari gerbang.

Dulu aku memang senang kak Rangga yang bertugas sebagai penjaga gerbang. Aku akan sengaja melakukan kesalahan agar aku ditanyai oleh kak Rangga. Bahkan aku pernah melepaskan tali sepatuku dengan sengaja agar aku ditegur oleh kak Rangga. Namun apa yang aku dapatkan? Cuek. Huh, menyebalkan!

Anak-anak yang lain yang melanggar tata tertib diintimidasi begitu lamanya. Tapi aku? Aku yang terlihat mencolok melanggar tata tertib hanya dilirik olehnya sembari berpangku tangan dengan santai.

Setelah teman-temanku ditanyai oleh kak Rangga, akhirnya kami diizinkan untuk keluar gerbang dengan syarat tubuh kami harus masuk kedalam pintu gerbang yang hanya dibuka kira-kira 10 cm. Gila dia memang!

"Kak, waduh jangan gitu dong! Kita juga gak bakalan kabur kok. Kalo kabur juga besok balik lagi ke sekolah. Kak Rangga, ih!" ucap Nisa sebal.

"Iya, kak. Gak bakalan masuk badan aku segitu mah!" timpal Wina.

"Gak mau tahu! Pokoknya harus bisa masuk segini, hehe." Sahut kak Rangga diikuti kekehan pelannya.

"Ya sudah kalau gitu. Yuk, Shan kita balik lagi ke kelas. Kita keluarnya lewat jendela saja deh!" Ujar Laila pasrah.

"Oke oke, nih jalan sini saja. Cepetan!" sahut kak Rangga dan dia pun membukakan pintu gerbang untuk kami.

Kak Rangga masih memegangi pintu dan pintu yang dibuka juga hanya secukupnya untuk badan kami satu persatu. Ketika aku yang melintas, kak Rangga seperti menghalangiku secara tiba-tiba. Kami bahkan sangat dekat. Aroma parfum dari jaket yang membalut tubuhnya tercium. Bahkan deru nafasnyapun terdengar.

Astaghfirullah. Aku segera berlari keluar sembari menunduk. Jantungku berdetak begitu kencang. Antara rasa takut dan malu kini menguasai diriku.