"Happy birthday, Risma!" Teriak seorang teman sekelasku ketika guru di kelas kami belum masuk.
"Oh, hari ini Risma ulang tahun? Kalau gitu selamat ulang tahun, ya Risma. Semoga panjang umur, sehat selalu, bahagia selalu," ucap Yuke teman sekelasku.
Hari ini hari yang spesial bagi sahabatku, Risma. Sebagian teman sekelas mengucapkan selamat ulang tahun untuk Risma. Dan aku? Tentu saja belum.
Tadinya aku akan membuat sebuah kejutan untuk Risma. Namun kejutan untuk Risma berantakan gara-gara satu orang. Tapi tak apa.
"HBD Rismaku, sayang,' ucapku sembari memeluk Risma.
"Terimakasih, Shana," kata Risma seraya membalas pelukanku.
Selasa ini, bumi bersahabat denganku. Entah bagaimana awalnya, aku dan sebagian teman sekelas ku mengadakan pesta kuaci.
"Kurang, nih kuaci nya. Beli lagi, yuk! Pak KM, mau ikut patungan gak?" tanyaku pada Adli yang kini menjabat sebagai Ketua Murid baru di kelas 11 IPA 3.
"Oke. Nih Adli ikutan, ya!" Aku membeli semua kuaci yang berada di kantin. Setelah kuaci kudapatkan, aku menghamburkan semua kuaci dilantai depan kelas kami. Tanpa alas. Aku dan teman-teman duduk melingkari kuaci yang berada ditengah-tengah kami.
"Ayo semuanya ngumpul! ker, ker, ker...!" Teriakku seraya melambai-lambaikan tangannya pertanda mengajak anak-anak lainnya untuk bergabung.
"Kamu, Shana! Kayak manggil ayam saja! Haha," ucap Risa sembari menyenggol lenganku diikuti dengan tawa renyahnya.
"Emang iya, haha..." Ucapku seraya diiringi tawa lepas.
"Guys! Gue foto, ya?" Celoteh Dewi seraya mengeluarkan handphone dari sakunya dan mulai menyalakan kamera kemudian membidik kami semua.
"Ckck. Pengen nyanyi lagu, lihatlah dan bukalah mata hatimu. Melihatnya lemah terluka. Namun semangatnya tak kan pernah—" nyanyian Nandang segera dipotong oleh teman-teman perempuan kami seraya berteriak melengking dan begitu cerewet. Ya, semua tahu jika perempuan adalah makhluk paling banyak bicara.
"Nandang! Diem lo! Kalau mau ikutan gabung!" Teman-teman perempuan cerewet kami akhirnya bersuara.
"Enggak, ah. Gak level gue makan yang gituan," ucap Nandang seraya bergidig sok jijik.
"Elo, Dang! Makan sama kepala ikan asin saja sudah belagu!" Ledek Ihsan diikuti tawa hebohnya.
"Gue masih mending kepala ikan asin. Lah elo, makan tulang ikan asin. Bekas orang pula, haha," balas Nandang tidak mau kalah.
"Dasar Upin Ipin!" Ucap Rifai. Ihsan dan Nandang adalah sepasang sahabat yang apabila sudah bersama maka akan terjadi perdebatan adu mulut. Tetapi sesungguhnya apa yang mereka katakan hanyalah lelucon semata. Maka kami sekelas sepakat untuk memanggil Ihsan dan Nandang adalah si Upin Ipin.
"Haha," tawa kami menggema dalam seisi sekolah ini.
"Hei, jangan kenceng-kenceng suaranya. OSIS sedang rapat", ucap Laila yang kemudian masuk ke ruangan OSIS yang berada disebelah kanan kelas kami kelas 11 IPA 3.
"Lihat si Shana! Mulai kumat jahilnya, tuh!" Aku membawa kulit kuaci dan memasukkannya ke dalam sepatu-sepatu di depan ruangan OSIS sana.
"Kamu parah, Shan! Itu sepatu punya OSIS," ujar Wina.
"Syut... Hehe" Aku tau hal ini tidak benar. Tetapi inilah hobi ku. Dan alhasil setelah rapat OSIS selesai, semua anak OSIS berhamburan keluar dari ruangan. Setelah sadar sepatu mereka terisi kulit kuaci, mereka mengumpat-umpat. Ada yang tertawa, ada pula yang tak peduli dan membersihkan sepatunya. Melihat ekspresi mereka yang bermacam-macam membuat aku ingin tertawa lepas.
Bel istirahat berbunyi. Aku, Lulu, Risma dan Eva bergegas ke kantin untuk sekedar membeli makanan ringan. Kami hendak kembali ke kelas. Ketika kami tiba di belokan tangga, anak-anak OSIS berhamburan menuruni anak tangga.
Aku terkejut, di sana pula ada kak Rangga. Saking girangnya, aku menepuk bahu kanan Laila yang berada disebelah ku sembari tersenyum girang.
"Kenapa kamu teh, Shan?" Tanya Laila bingung.
Aku tak menjawab, aku hanya tersenyum girang. Aku kemudian berlalu meniti tangga satu persatu. Ketika berpapasan dengan kak Rangga, aku menjauh dan ku alihkan pandang.
Saat aku sudah tiba di tangga terakhir, aku berbalik dan melihati kak Rangga sesaat. Saat kulihat, kak Rangga menepuk bahu kiri Laila dengan sebuah buku sembari tersenyum girang dibawah sana.
"Ini lagi kenapa?" Samar-samar aku mendengar celotehan Laila. Aku hanya tersenyum.
Pagi yang cerah telah berlalu, kini langit siangpun menyapa bumi di kotaku. Ketika rapat OSIS telah selesai, kumpul bersama teman sekelas juga telah selesai, tiba-tiba Laila menghampiriku yang sedang membaca sebuah novel di koridor depan kelasku.
"Shan, aku mah heran sama kalian berdua. Apa maksudnya itu? Kamu tepuk bahuku yang kanan, terus kak Rangga tepuk bahuku yang kirinya. Terus senyum-senyum sendiri. Kalian berdua aneh," celoteh Laila sembari menggeleng kepala.
Aku hanya tersenyum girang. Aku tidak mau tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu, hari ini aku bahagia. Terimakasih, Tuhan. Masa mudaku begitu bahagia.
Setelah istirahat shalat Zuhur, anak-anak OSIS kembali menghadiri rapat yang tertunda. Aku sengaja tak masuk kedalam kelas.
Aku naik keatas pagar tembok dan duduk di sana sembari bersenda gurau dengan Risma. Mungkin yang kulakukan itu adalah tebar pesona. Karena aku tahu kak Cokelat itu berdiri sedikit jauh dari tempatku.
"Meng, meng, meng, meng, meng.." Canda kak Rangga kepada kak Alya sembari menggerakkan sebuah tali didepan wajah kak Alya layaknya seorang majikan yang tengah bermain bersama anak kucingnya.
"Ish, si Rangga! Emang aku kucing apa! Tau, ah!" Celoteh kak Alya kesal kemudian berlalu meninggalkan kak Rangga dengan teman-temannya yang lain.
Tuan Cokelat itu lucu juga. Aku terkekeh sendiri. Aku turun dari tembok dan menghadap kelapangan sana. Satu ide muncul di kepalaku begitu saja tentang kode.
"Ehem," aku berdehem agak keras.
"Ehem, ehem,u tak percaya. Kak Rangga membalas kodeku.
"Ehem, ehem," aku kembali berdehem seraya sedikit menoleh pada kak Rangga.
"Ehem, ehem, ehem," aku masih tak percaya kak Rangga membalasnya lagi.
"Ehem, ehem. Aduh, uhuk, uhuk, uhuk..." Sial! Aku malah tersedak dan batuk yang tiada henti.
"Eh, ada botol, gak? Air, air. Botol, ada gak botol?" Celoteh kak Rangga yang ku kira adalah singgungan untukku.
"Botol apaan?" tanya kak Fajri tak faham.
"Botol apa? Kata gue, tuh motor. Balapan motor. MOTOR!" Ucap kak Rangga yang sedikit melirikku.
"Lo ngomong apaan, sih, Ga?" tanya kak Fajri yang masih belum mengerti.
'Ya jelas tak mengertilah. Orang ngomongnya juga sebagai kode!' Kata batinku sembari terkekeh ditengah batuk kering yang tak dapat berhenti.
Aku berlari kedalam kelas untuk mengambil minum. Kepastian. Hanya kepastian yang aku perlukan. Jika hanya isyarat, itu hanya akan semakin menumbuhkan harapan pada Tuan Cokelat itu. Aku takut itu hanya harapan yang hampa.