Waktu telah berganti, aku selalu mensyukuri kehidupan ini. Masa muda yg sangat menyenangkan ditambah dengan hadirnya manik-manik dalam kehidupan remajaku. Tuan Cokelat, dia adalah alasan bahagianya aku ketika mendengar nama sekolah. Jika malam tiba, fikiranku selalu dipenuhi oleh pemuda itu. Jika aku memejamkan mataku, yang terbayang hanyalah wajah Tuan Cokelatku.
Pagipun menjelang, seperti biasanya aku melakukan aktivitas rutin di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Aku sengaja berangkat ke sekolah lebih awal supaya aku bisa melihat kak Rangga menunggangi sepeda motor menuju lapangan dari koridor kelasku di lantai dua.
Dan benar saja, kak Rangga yang berbalut jaket biru tuanya melaju diatas motornya. Setelah ia memarkirkan motornya, ia membuka helm silver yang menempel di kepalanya. Sejenak, ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Oh Tuhan, begitu tampannya Tuan Cokelatku. Pantas saja jika banyak perempuan yang mendekatinya di sekolah ini.
Lamunanku buyar seketika saat kak Rangga menoleh ke arahku. Tentu saja aku terkejut sekaligus senang dengan aksi kak Rangga itu. Dengan segera, aku mengalihkan pandangan dan berpura-pura bergabung bersama obrolan tidak jelas teman-temanku.
"Woy, masuk-masuk! Ada guru!" Seru Nandang yang masih menenteng tas di punggungnya. Seketika siswa-siswi yang masih berada di luar kelas segera berhamburan masuk kedalam kelasnya.
"Kenapa pada diem?" Tanya Nandang setelah berada di dalam kelas. Benar saja, kelas pagi ini terasa sunyi padahal siswa yang berjumlah tiga puluh sembilan di kelas ini tidak ada yang absen hari ini.
"Kata elo 'kan ada guru!" Seru Tria memecah keheningan. Semua orang fokus memperhatikan Nandang dan menunggu tanggapan darinya.
"Emang ada guru. Tuh di ruangan guru!" Sahut Nandang seraya cengengesan. "Iiih, Nandaang!" Teriak heboh para siswa di kelas ini.
Begitulah kami nasib para siswa yang dituntut harus patuh dan taat kepada guru. Jika langkah kaki guru terdengar menuju kelas, tingkah kami seperti seekor rusa yang ketakutan melihat singa.
Belum saja pelajaran pertama usai, aku bersama teman-temanku yang mencalonkan diri sebagai anggota OSIS sudah dipanggil untuk berkumpul. Dengan segera kami memadati ruangan aula.
Tiga hari yang lalu, aku ditunjuk oleh teman sekelas ku untuk mewakili kelas masuk dalam Organisasi Siswa ini. Karena setiap kelas di wajibkan mengirimkan enam orang yang akan menjadi anggota OSIS. Dan aku lulus seleksi di tahap satu.
Selanjutnya, hari ini kami calon anggota OSIS dikumpulkan di ruangan aula ini untuk memilih calon kandidat ketua OSIS dari angkatanku. Karena memang seluruh organisasi di sekolah ini akan mengadakan serah terima jabatan.
Aku bahagia. Karena disini ada kak Rangga juga. Ia duduk di bangku yang berhadapan dengan bangkuku. Ketika aku tertawa, kak Rangga pun tertawa. Aku diam, kak Rangga juga diam. Aku melirik kak Rangga, kak Rangga juga melirikku.
Oh Tuhan, ingin sekali rasanya aku berkenalan dengannya dan akrab dengannya. Entah mengapa jika aku melihat kak Rangga, bumi ini terasa sangat indah. Tuhan, terimakasih sudah menciptakan manusia seindah ia.
Kini acara pemvotingan dimulai. Kakak-kakak senior OSIS membuka kertas hasil voting dan menulisnya di white board didepan Aula sana.
"Fadlan, sah. Siapa ini? Oh Irsyad, sah."
Aku yang masih asing dengan nama Irsyad segera menoleh kepada temanku dan bertanya dengan lantang, "Siapa Irsyad?"
Tanpa aku sadari, Kak Rangga juga mengucapkan kata yang sama seraya bersamaan denganku. Kami seperti paduan suara yang saling beriringan. Tentu saja aku terkejut. Dan sepertinya kak Rangga juga terkejut. Sejenak, kami saling memandang kemudian kami tertawa bersama.
Oh Tuhan, kami satu hati ternyata. Bagaimana aku tidak bahagia? Kak Rangga sudah seperti candu bagiku.
Setelah acara pemvotingan usai, kami semua akhirnya pulang menuju kelas masing-masing. Namun ada keganjalan dalam pandanganku. Ketika aku akan menuruni tangga, aku melihat Kak Rangga. Tetapi tidak sendirian, melainkan tengah bersenda gurau dengan seorang perempuan dari angkatanku.
Setahuku perempuan itu bernama Sintya dari kelas 11 IPA 4, kelas tetanggaku. Melihat mereka, aku sedikit terperanjat tak percaya. Aku fikir mereka hanyalah sebatas teman saja, tidak lebih. Setahuku juga, Kak Rangga masih memiliki hubungan dengan Anis. Tetapi tidak jelas.
Sepertinya ada rasa sedikit cemburu pada Sintya. Betapa beruntungnya Sintya yang bisa akrab dengan kak Rangga. Aku tahu aku dengan Sintya tidak saling mengenal, tapi sebagai teman satu angkatan dan tetangga kelas, aku sedikit tahu tentang dia.
Oh Tuhan, cobaan apa lagi yang menimpaku? Lagi-lagi aku harus menahan kekecewaan karena aku tidak lulus sebagai anggota OSIS, padahal ini kesempatanku untuk lebih kenal dekat dengan kak Rangga.
"Gak papa, Shan. Sabar. Kakak kelas punya alasan sendiri kenapa kamu gak dilolosin masuk OSIS." Ujar Dewi salah satu temanku dari Organisasi Pramuka.
"Iya, Dew. Makasih ya. Tetap semangat kok!" Sahutku berpura-pura tegar seraya mengembangkan senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Namun sebenarnya kecewa, begitu kecewa.
"Eh, Shan. Aku denger, kamu sengaja gak dilolosin masuk OSIS karena kamu bakalan jadi kandidat ketua di Pramuka. Ciye, calon Ibu ketua!" Celoteh Dewi menggodaku.
"Ah masa? Belum tentu bener 'kan?" Ucapku yang belum percaya apa yang di katakan Dewi tadi.
"Iya, aku denger dari Kak Yofi, kak Yofi dari ketua Pramuka. Katanya, kalo kamu masuk double organisasi kasihan ke kamunya. Nanti capek. Masuk OSIS itu bakalan jadi orang sibuk, di tambah sama megang jabatan di Pramuka, 'kan gak kebayang capeknya," terang Dewi meyakinkanku.
Bel istirahat pertama pun berbunyi, aku bersama Lulu, Risma dan Eva berkumpul di kantin Abah seperti biasanya. Tapi kali ini kak Rangga tak kunjung datang ke kantin ini. Berulang kali aku memastikan dan melihati orang-orang yang berlalu-lalang di dalam kantin dan berharap kak Rangga ada diantara mereka.
Berulang kali pula aku melihati kelas kak Rangga. Namun tak ku temui sosok yang ku rindukan itu. Kemana kak Rangga? Hatiku bertanya-tanya. Namun aku sadar diri, tak sepantasnya aku bersikap berlebihan seperti ini.
Ketika bel masuk telah berbunyi, aku dengan Lulu lantas tidak segera masuk ke dalam kelas. Aku ingin buang air kecil terlebih dahulu. Sebelum aku masuk kedalam toilet, aku menghabiskan jajananku terlebih dahulu.
"Shan, coba deh kamu tengok ke atas sana!" Perintah Lulu seraya menyenggol pelan lenganku.
"Di atas dimana?" Tanyaku yang masih belum mengerti dengan ucapan Lulu.
"Itu di lantai dua, di depan kelas kita. Itu kak Rangga bukan, Shan? Tapi kak Rangga kayaknya. Iya, Shan. Itu kak Rangga!" Tunjuk Lulu seraya menunjukkan ekspresi wajah yang tidak tenang.
Sementara aku yang masih belum sadar menyeretkan mataku ke koridor lantai dua kelasku, "Mana sih, Lu?"
"Itu, Shan! Dia lagi berduaan sama Sintya. Eh, cewek yang disana Sintya 'kan?" Tanya Lulu yang kini memasang wajah serius.
Setelah beberapa lama, akhirnya aku melihat kedua sosok yang ditunjukkan oleh Lulu. Benar saja, itu kak Rangga dengan Sintya. Tapi ketika aku melihat mereka, Kak Rangga menenggelamkan wajahnya di dalam tangannya seolah tidak mau dilihat.
"Tapi aneh loh, Shan. Waktu kamu lihat ke atas, kak Rangga kayak nutupin wajahnya gitu. Tapi waktu kamu gak lihat, kak Rangga biasa lagi, malah dia lihatin kamu, Shan. Kak Rangga itu bener-bener misterius banget, Shan!" Celoteh Lulu yang kini lebih serius.
"Masa sih, Lu? Penglihatan Lulu kali yang salah. Jelas-jelas aku yang kegeeran, Lu," sanggahku dengan perasaan yang bercampur aduk disini.
Setelah dari toilet, aku dan Lulu kembali ke kelas. Namun ternyata guru belum masuk kelas, tidak ada tugas juga. Aku mengambil novelku dan melanjutkan membacanya dengan hati yang tidak tenang.
Karena di dalam kelas berisik, maka aku mengambil langkah untuk pergi keluar kelas dan duduk di kursi koridor depan kelasku. Kulihat, kak Rangga masih berbicara dengan Sintya disana. Akupun pura-pura tidak peduli.
Tak lama setelah aku duduk, kak Rangga baru beranjak meninggalkan Sintya dan melintas di belangku. Seraya berjalan, kak Rangga ternyata melihatiku. Aku tahu karena aku sedikit mengerlingkan bola mataku kearahnya.