Mulai hari ini sekolah kembali efektif seperti biasa. Setelah berlibur ke Yogyakarta, aku mendapat tambahan energi. Karena memang, sekali-kali liburan itu perlu untuk kembali menyegarkan suasana hati dan menyegarkan fikiran.
Seperti biasanya, sebelum bel berbunyi aku menyempatkan berdiri dikoridor depan kelasku hanya untuk melihat Kak Rangga berjalan ke kelasnya. Dan benar saja, Kak Rangga berjalan mengenakan jaket biru dongker serta gayanya yang maskulin.
Jantungku berdegup kencang bersamaan dengan langkah kakinya yang sedikit cepat, namun jantungku berdetak lebih cepat dari itu. Lima hari aku tidak bertemu dengannya hati ini begitu rindu.
Setelah ia berjalan melewatiku, iapun menoleh padaku. Matanya mengusap seluruh koridor dan berhenti tepat dimataku. Setelah matanya berhasil menemukanku, iapun sedikit tersenyum kecil.
Tunggu, benarkah senyum itu untukku? Aku memastikan seraya melihati di sekitarku dan ternyata diada satupun orang di koridor ini. Hanya aku saja yang berdiri disini. Berarti benar senyum ini untukku. Bagaimana aku tidak bahagia dengan ini. Berulang kali aku bersyukur dalam hati seraya membalas senyum Kak Rangga.
Tuhan, dia begitu indah. Semakin hari, Kak Rangga terlihat semakin keren saja. Rambut yang semula berantakan tak terurus, kini menjadi rapi terawat. Bau badan yang semula tak tercium apapun, kini selalu wangi khas lelaki maskulin. Wajah yang semula hitam tak terawat, kini menjadi sedikit putih dan terawat.
Tuhan, ingin rasanya menggambarkan keindahannya melalui bait-bait dalam puisiku.
Seandainya...
Karya: Shana Aqiba (11 IPA 3)
Waktu demi waktu kian menyulam masa
Alur cerita yang berjalan semakin menggugah rasa
Cinta dan Harapan yang terbangun, terulas Nelangsa
Kau bawa terbang hati dan jiwa ini ke angkasa
Ku terima segudang perhatianmu
Ku sadari indahnya pesonamu
Ku balas kembali ketulusanmu
Dan ku urai kembali memori tentangmu
Seandainya Kau berada di kegelapan,
Maka Akulah yang menjadi Rembulan
Aku mampu mengangkatmu dari keresahan
Karena Engkau yang selalu menguatkan
Seandainya Aku terluka,
Kau siap mengobatiku dengan Raga
Kita yang Serupa dan saling Menjaga
Duniapun menjadi Saksi nyata
Kesetiaan itu terkadang di goyahkan
Jiwa demi jiwa selalu berdatangan
Tapi keteguhanku pada sebuah Kepercayaan
Sehingga Aku mampu untuk bertahan
Namun, Kebaikanmu tiada tara
Cinta lain yang datang, Kaupun balik Menyapa
Seandainya Kau harus Memilih Satu antara Tiga,
Maka Aku yang akan Mundur dan Mengalah
Seandainya Kau harus Memilah
Maka Aku yang akan Pergi berbelok arah
Biar ku tahan rasa Nyeri dan Marah
Ketahuilah....
Melodi kesetiaanku tak pernah berubah
Seandainya Kau di selimuti bimbang
Satu dari Tiga yang akan Menang
Sebelum Ibamu menggebu dalam Kalbu,
Maka Aku yang akan menghilang dari Matamu
Ku tau Hatimu hanya untukku
Tapi Dua Insani itu Menunggumu
Dan Kau tak Tega menggores Perasaannya di Kalbu
Inilah akibatnya Kebaikanmu yang Terlalu
Kasih....
Lanjutkanlah Perjuangan Kisah kasihmu
Bersama Satu dari Tiga Gadis pilihanmu
Semoga cerita dan cinta yang Kau pilih itu,
Tuhan selalu Melimpahkan Restu.
Setelah aku menulis sebuah puisi dan menuangkan segala perasaanku didalamnya, aku rasa Kak Rangga harus mengetahui puisi ini. Ya, puisi ini untuk Kak Rangga. Sebuah ide muncul dikepalaku begitu saja. Aku lihat belum ada siswa yang menempelkan karyanya di Mading sekolah.
Akupun menghampiri Laila sebagai anggota OSIS dan memintanya untuk menempelkan puisiku di Mading.
"Ciye, ini pasti puisi buat Kak Rangga, ya?" ucap Laila menggodaku.
"Kamu tahu saja, Laila" ucapku diakhiri kekehan pelan.
"Aku juga mau dong dibuatin puisi!" ucap Laila seraya setengah memohon.
"Puisi buatanku jelek. Aku malu" sahutku sedikit tidak percaya diri. Aku memang hobi membuat sebuah karya sastra seperti puisi atau cerita pendek. Tapi itu hanya untuk konsumsi pribadi. Jika dihitung mungkin sudah puluhan puisi yang aku buat. Semua berisi tentang isi hatiku dan paling banyak tentang Kak Rangga.
"Enggak ih! Puisinya bagus. Aku aja yang bacanya sampai baper. Kamu punya bakat dalam bidang sastra, Shan. Jadi kalau aku minta dibuatin puisi pasti Shana bisa kok. Iya, 'kan?" ucap Laila terus meyakinkanku.
"Iya, deh. Tapi nanti, ya!" jawabku seadanya. Bukannya aku tidak mau membuatkan puisi untuk orang lain. Tetapi, aku malu. Karyaku tidak sebagus para penulis populer di Negeri ini. Sebenarnya aku tidak percaya diri jika puisiku dibaca oleh orang banyak.
Ini saja puisi untuk Kak Rangga, aku memaksakan diri untuk tetap memajangnya di Mading meskipun ada sedikit rasa takut dan malu.
Ketika istirahat tiba, segera Laila menempelkan puisiku di Mading. Tak lama setelah puisi ditempelkan, banyak orang berdatangan untuk membacanya. Bahkan ada diantaranya yang memotret puisiku.
Bahkan Pak Zainpun ikut membacanya. Setelah ia membaca puisiku, iapun menoleh padaku seraya tersenyum dan mengacungkan kedua jempolnya.
Bukannya aku tidak senang puisiku dibaca orang banyak. Namun puisi itu hanya diperuntukkan oleh Kak Rangga. Tetapi Kak Rangga belum juga membacanya.
Setelah istirahat pertama itu, puisiku jadi topik pembicaraan siswa di sekolah ini. Bahkan tak sedikit yang menghampiriku hanya sekedar mengatakan puisiku bagus dan ia minta dibuatkan puisi untuknya. Atau bertanya dimana aku belajar membuat puisi dan berapa banyak puisi yang sudah aku buat. Tak bisa dipungkiri, ada rasa bahagia. Ternyata karyaku digemari banyak orang.
Setelah istirahat kedua aku masih memperhatikan Mading sekolah. Berharap Kak Rangga membacanya. Setelah lama menunggu, akhirnya Kak Rangga dengan teman-temannya muncul juga. Saat melewati Mading, Kak Rangga sekilas melihat. Kemudian ia seperti mulai penasaran dan menghampiri Mading dan akhirnya membaca puisiku.
Setelah selesai membaca puisiku, Kak Rangga celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Kemudian ia menoleh ke arahku seraya memandangiku cukup lama.
"Ciye dilihatin terus tuh, Shan!" tegur Lulu yang ternyata ia sadar dengan kehadiran Kak Rangga.
"Ish! Apaan sih, Lu?" tanyaku seraya menahan panasnya pipiku. Mungkin pipiku telah memerah dari tadi karena menahan malu.
Akupun melihat teman-teman Kak Rangga yang sadar dengan sikap Kak Rangga yang terus melihatiku akhirnya ikut menoleh padaku dan dengan gaduhnya bersiul menggoda Kak Rangga. Akhirnya semua tertawa termasuk Kak Rangga. Namun sebelum semuanya berlalu, disela tawanya Kak Rangga masih sempat melirikku kembali.
Oh Allah. Indah sekali manusia-Mu. Aku suka melihatnya tersenyum. Gigi putih gingsulnya menambah ketampanan Kak Rangga. Siapa yang tidak jatuh hati padanya? Pantas saja banyak perempuan yang mendekatinya.
Bel pertanda jam pelajaran berakhirpun dibunyikan. Kami sibuk berkemas dan bersiap untuk pulang. Namun belum saja aku melewati gerbang sekolah, aku telah dicegat oleh Pak Zain.
"Mau kemana, cantik?" tanya Pak Zain padaku sehingga mampu membuat suasana menjadi gaduh bersiul dari suara teman-temanku.
"Pulang atuh, Pak" ucapku seadanya dengan sedikit risih.
"Mau bapak anterin?" tawar Pak Zain.
"Oh gak usah, Pak. Saya bisa sendiri, kok. Lagi pula saya ada janji dulu sama temen" tolakku dengan segera. Jujur, semakin hari, aku semakin risih dengan Pak Zain apalagi dengan sikapnya yang menurutku tidak sopan meskipun terhadap muridnya. Bukankah tatakrama dan kesopanan itu berlaku bagi umum dan semua umur?
"Oh ya? Ngomong-ngomong itu puisi yang ditempel di Mading asli buatan Shana?" tanya Pak Zain mengalihkan pembicaraan.
"Iya, Pak"
"Puisinya bagus. Baper bapak bacanya. Nanti kalau ada perlombaan menulis puisi, Shana harus ikut, ya? Siapa tahu menang. Selain cantik, kamu juga berbakat, Shan" sahut Pak Zain seraya tersenyum. Dan akhirnya kembali gaduh dengan siulan teman-temanku.