Gadis itu ternyata masih curi-curi pandang denganku hingga saat ini. Aku fikir sikapnya akan berhenti dalam jangka yang pendek. Namun semakin hari, dia semakin menunjukkan ketertarikannya kepadaku.
Bukannya aku tidak tahu gadis itu tengah menyukaiku, tetapi aku hanya ingin melihat sejauh mana ia berjuang untuk mendapatkanku. Gadis itu mungkin salah satu perempuan yang pemalu. Hingga untuk mengungkapkan perasaannya ia tak berani. Berbeda dengan perempuan lain yang menyukaiku.
Mereka tanpa malu-malu mendekatiku, mengajakku berkenalan, atau sekedar bergurau denganku. Perempuan seperti itu memang mudah didapatkan. Dan aku tidak suka dengan perempuan yang mudah didapatkan. Tapi Shana berbeda.
Aku tak tahu mengapa setiap kali bertemu dengannya selalu ingin melihatnya. Bagiku, sikapnya yang malu-malu ketika aku pandang membuatku semakin gemas padanya. Kini Shana menjadi siswi aktifis disegala bidang.
Aku pernah mengintipnya didalam kelasnya ketika kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Melihat caranya berpresentasi didepan kelas, dapat menunjukkan kesimpulan bahwa ia siswi yang pintar.
Shana juga aktif didalam organisasi Pramuka yang diikutinya. Aku pernah mendengar dari temanku yang menjadi ketua Pramuka yang juga mengikuti OSIS bersamaku, bahwa Shana gagal lolos masuk OSIS karena ia sudah dipilih lebih dulu untuk menjadi kandidat ketua Pramuka nanti.
"Shana bikin puisi ya, Bas? Buat siapa ya, Bas?" tanya Fajri kepada Bastian ketika kami sedang mengadakan musyawarah OSIS.
"Ya buat Tuan Cokelatnyalah, Fajri. Buat siapa lagi?" jawab Bastian. Ternyata menyindirku. Dan aku pastikan akhirnya mereka akan menggodaku.
"Gimana Tuan Cokelat? Suka gak sama puisinya?" Benar dugaanku, Fajri mulai menggodaku. Aku bersikap setenang mungkin. Jika aku mengakui bahwa akupun tertarik pada Shana, aku juga gengsi. Mungkin teman-temanku semakin menjadi-jadi dalam menggodaku.
"Puisi apaan?" tanyaku setenang mungkin.
"Ah, pura-pura gak tau, Bas! Wah parah, padahal tadi gue lihat sendiri si Tuan Cokelat ini baca puisinya Shana di Mading. Bacanya serius banget loh, Bas!" ucap Fajri kembali hingga membuatku tak bisa menahan tawa.
Tuan Cokelat. Mereka tahu Shana memanggilku Tuan Cokelat dari Laila adik kelasku yang satu kelas dengan Shana. Sebenarnya sebelum Laila memberi tahu, aku sudah tahu sendiri. Tapi aku diam dan pura-pura baru tahu.
"Shan, tuh ada Kak Rangga!" ucap seorang gadis yang ku terka teman dekat Shana. Ketika itu mereka sedang berada di kantin dan aku baru memasuki kantin bersama teman-temanku.
"Syut! Jangan panggil namanya. Panggil aja Kak Cokelat, Lu! Aku malu!" ucap Shana sembari memalingkan wajahnya dariku.
Begitulah aku tahu awal mula Shana memanggilku dengan sebutan Cokelat. Entah apa alasannya mengapa kata Cokelat yang ia pilih untuk menjadi nama panggilan untukku. Lagi dan lagi hal ini membuatku berfikir bahwa gadis itu unik.
Akupun baru tahu bahwa Shana pandai dalam membuat karya sastra seperti membuat puisi. Ya, memang aku membaca puisi Shana yang tertempel di Mading sekolah. Awalnya aku hanya melihat sekilas, namun sebuah nama Shana Aqiba juga tertulis disana yang membuat aku ingin melihatnya lebih jelas.
Tak dapat dipungkiri, ada rasa penasaran sehingga aku membaca puisinya. Namun tidak semua karena teman-temanku lebih dulu menggodaku. Setelah pulang sekolah, aku mengikuti perkumpulan Paskibra terlebih dulu.
Setelah selesai dan sudah tidak ada orang disekolah ini, barulah aku membaca seluruh puisi karya Shana. Berbohong jika aku tidak tersanjung membaca puisinya. Benar saja, gadis ini berbeda dari gadis lain.
Haripun berganti. Seperti biasa, sebelum aku memasuki kelas pasti ada Shana di depan koridor kelasnya dan melihatiku. Akupun menoleh dan melihatnya. Setelah itu ia berlari atau memalingkan pandangan. Selalu itu yang terjadi ketika pagi hari.
Tak hanya itu, akhir-akhir ini aku melihat penampilan Shana semakin berubah. Kini ia terlihat lebih manis dan lebih feminim dari sebelumnya. Ah, aku terlalu berlebihan memujinya. Tapi memang ini kenyataanya.
Terlebih ketika acara ulang tahun sekolah. Ia tampil dengan menggunakan pakaian khas India dengan riasan tipis khas perempuan India diwajahnya. Tapi ini yang membuatku terpana, ia terlihat cantik waktu itu. Bahkan tak sedikit teman lelakinya dan teman lelakiku yang melihatnya kagum.
Akupun tak sengaja mendengar adik kelas yang memuji penampilannya. Memang, awal bertemu dengannya membuatku risih dan sedikit enggan dengan penampilannya yang berantakan dan bergaya tomboy. Gaya bicaranyapun keras dan kasar. Itu yang membuatku risih.
Tetapi semakin hari, kertertarikanku semakin bertambah sejalan dengan semakin berubahnya Shana. Namun aku hanya diam. Jika orang-orang menggodaku pun aku pura-pura menolak.
"Hay cantik! Ini nih yang akan menjadi jodoh Bapak. Jika tidak di dunia, maka nanti di akhirat nanti. Benar 'kan, Aqiba?" ucap Pak Zain kepada sekumpulan siswi dihadapan Shana dan berhasil membuat kegaduhan karena siulan para siswi itu.
Tetapi aku perhatikan, Shana mencoba untuk menghindari Pak Zain namun masih menunjukkan sikap sopan. Aku tak tahu, ada rasa tak enak menyaksikan pemandangan ini. Tetapi aku mengalihkan fikiranku dengan mengobrol bersama temanku.
Bisa aku maklumi, kini Shana pantas untuk dikagumi pria manapun. Sebab bukan hanya fisik dan penampilannya yang membuat tertarik, sikapnyapun membuat orang-orang langsung menyukainya.
Dua minggu yang lalu setelah pulang sekolah, aku memutuskan untuk istirahat di ruang Paskibra yang bersebelahan dengan ruang UKS. Aku merasa tiba-tiba tidak enak badan. Rasanya seluruh badan terasa lemas. Mungkin tekanan darahku rendah akibat kegiatan Paskibra dan OSIS yang padat hingga aku kelelahan.
Tetapi sebelum aku tiba diruang Paskibra, aku melihat Shana sedang duduk lemas bersama temannya didepan ruang UKS. Mungkin ia juga sedang sakit. Itu terlihat dari wajahnya yang pucat. Aku hanya melihatnya sekilas dan terus berjalan melewatinya.
"Kak Rangga pinjem motor, ya buat nganterin pasien pulang. Kasian dia lemes banget!" seru Laila kepadaku saat aku hendak berbaring dan mengeluarkan ponsel dari saku.
"Kamu yang bonceng? Emang bisa?" ucapku sedikit ragu.
"Bukan! Aku gak bisa nyetir motor. Kak Rivaldi yang nganterin. Dia bagian piket UKS" terang Laila sedikit panik.
"Emang siapa yang sakit?" tanyaku sekedar basa-basi.
"Temen sekelasku, Shana. Atau mau Kak Rangga aja yang nganterinnya? Deket, kok rumahnya" sahut Laila kembali.
"Enggak, ah! Nih, kuncinya. Sekalian beliin obat penambah darah, ya. Ini uangnya" ucapku seraya menyodorkan kunci motor dan uang untuk membeli obat yang kumaksud.
Mendengar Shana yang akan diantar pulang, ada sedikit keinginan untuk mengantarnya pulang. Jika saja kondisiku sedang baik, aku mungkin akan mengantarnya pulang. Lagipula rumah kami satu arah.
Tak lama setelah Laila berlalu aku melangkah keluar dari ruangan Paskibra menuju ruangan UKS.
"Hati-hati! Remnya agak blong, jadi nginjek remnya harus kuat!" teriakku ketika mereka akan berangkat.
Shana dibantu dipapahkan oleh Laila dan satu temannya menuju ke motorku yang sudah ditumpangi oleh Rivaldi. Ada sedikit iba melihat Shana sakit seperti itu.
Ini untuk yang pertama kalinya melihat gadis yang kuat seperti Shana menjadi sakit dan lemah seperti itu.